Antara Lengkuas, Rendang, dan Whatsapp

Beberapa hari terakhir ini, aplikasi whatsapp yang menurut Statista digunakan secara aktif oleh 1.3 milyar penduduk bumi, ramai dibicarakan di Indonesia. Pertama semua ribut ketika ada glitch dan WA (whatsapp) down tidak bisa mengirim pesan beberapa jam, kemudian ribut lagi soal konten porno yang ada di fitur gif (gambar animasi).

Grup WA dari ibu-ibu arisan, bapak-bapak penggemar image (ikatan motor agak gede), grup alumni, kelompok pengajian dan doa, grup kuliner, dan lain sebagainya, tiba-tiba ramai saling meneruskan isi pesan bahwa aplikasi WA mengandung konten porno, berbahaya untuk dilihat anak-anak dan meminta supaya aplikasi WA ini diberi rating jelek.

Yuu…

Kita bareng bareng complain ke perusahaan WA,

Caranya:

Klik link diatas,

Kasih 1 bintang ⭐

Copas ini :

Please remove gif picture search thats not appropriate for children.

Semoga usaha kita membuahkan hasil positif

👍🏻👍🏻👍🏻

save our children

Menkominfo pun segera dikabari, segera bergerak, dan WA pun mendapat ultimatum, 2×24 jam tidak membereskan konten berbau porno-nya, akan di blok. (Setidaknya ini 2x lebih lama dari ultimatum pak RT, 1×24 jam tamu harap lapor)

Dan taraaa…hari ini, gif di WA sudah tidak bisa diakses lagi.

GIF animasi ini sebenarnya buatan pihak ketiga, ada beberapa penyedianya, satu yang paling sohor adalah Giphy. Mau buat sendiri, aplikasi gif juga bertebaran, smartphone Samsung salah satunya, bahkan bisa langsung mengubah video, foto, langsung menjadi gif.

Jadi setelah gif di WA tidak bisa diakses, apakah konten porno gif berhenti? Tidak.

Google keyboard yang banyak digunakan sebagai keyboard default di smartphone android, tetap bisa membuka gif porno di WA dan mengirimkannya. Tidak hanya di WA, bisa di FB, di Twitter, di LINE, dan lain sebagainya.

Blokir tidak pernah menghentikan masalah. Menkominfo pun bilang, blokir terus tidak membuat masyarakat menjadi dewasa, dan saya setuju dengannya.

Blokir ini seperti kita sakit gigi karena berlubang dan meminum obat penahan nyeri. Rasa sakitnya berkurang, tetapi giginya tetap berlubang.

Terus kenapa menkominfo juga setuju segera ultimatum blokir? Karena desakan masyarakat. Biar yang sakit gigi diberi dulu ponstan, agar lebih tenang.

Karena kita dibiasakan untuk reaktif dan segera menunjuk ini kesalahan siapa. Sama reaktif dan sigapnya untuk segera meneruskan pesan jika ada kata “bantu sebarkan” , “info penting”, “hati-hati”, dan lain sebagainya, sehingga berita hoax pun senantiasa mendapat momentumnya. Mungkin juga karena kita dibiasakan, ketika berkumpul dan tiba-tiba ada bau kentut, langsung semua berlomba-lomba menunjuk, karena kalau diam, takut disangka sebagai sang pelepas gas.

Bapak-bapak dan Ibu-ibu, wajar sangat khawatir, anaknya terjerumus dalam pornografi, karena sejak kecil kita ditanamkan pornografi bertentangan dengan nilai moral. Kita pasti berusaha membentengi agar anak-anak kita tidak masuk ke dalam pusarannya.

Pertanyaan berikutnya adalah, meminta blokir, dan menuding, apakah bisa menghentikan pornografi?

Kalau kebetulan, Whatsapp tidak sanggup dalam 2×24 jam membereskan konten pornografi, dan di-blokir pemerintah, terus bapak dan ibu akan menyebarkan beritanya lewat mana?

Besok janjian arisan di rumah siapa bagaimana memberitahunya? Kumpul jalan-jalan image akhir pekan ini bagaimana koordinasinya? Pengajian besok bagian konsumsi bingung mau pilih makanan apa, dan grup alumni ada temannya yang meninggal, mau memberitahu kawan-kawan lewat mana?

Pindah ke Telegram? Wuih bot dengan tanda garis miring / di sana jauh lebih vulgar dibanding gif WA. Pindah ke FB saja, lah memangnya WA itu bukan punyanya FB? Kalau gitu Instagram saja, lah memangnya kalau diketik kata yang sama dengan gif di WA ngga keluar gambar-gambar yang lebih seru di sana? Mau balik lagi ke BBm dan tukeran nomor PIN lagi? Emang di sana… ah sudahlah…

Coba bagi para orang tua menengoklah ke belakang, saat kita muda, internet belum ada, handphone masih konsep film fiksi, PC saja belum musim, siaran TV hanya TVRI, dan berkirim kabar masih lewat kring-kring tukang pos,  apakah jaman itu pornografi tidak ada?

Kalau nama Enny Arrow disebut, bapak-bapak tersenyum simpul. Novel Fredy S, mungkin ibu-ibu ikut mesem-mesem. Nick Carter?

Tidak ada gambar di sana, apalagi animasi, bahkan cetakan cerita Enny Arrow itu (dengan kata khas menggelinjang)  disebut stensilan, bukan seperti buku cetakan Gramedia dengan cover bagus. Huruf-hurufnya saja bisa kabur dan menempel di jari.

Mungkin kata kids jaman now, tidak ada gambar, tidak ada animasi? What the…****

Pornografi sudah lama ada sebelum kita lahir. Mungkin saja dia ini seperti dracula yang tidak bisa tua, sakit, dan mati. Mungkin dia ini seperti shapeshifter di film X-Men, setiap masa dia bisa berubah bentuk.

Dulu dia dalam bentuk stensilan, trus bapak-bapak dan ibu-ibu tahu kan jaman video VHS dan betamax, yang harus di-rewind kalau mau nonton? Kadang kita rewind manual dengan garpu. Si shapeshifter ini hadir dalam bentuk kaset video. Bapak ibu kita pergi kerja, anak-anak cepat pulang, bilangnya mau belajar bersama, yang satu bawa kaset video ini. Anak-anak kost tidak punya pemutar video, ada tuh di gang-gang yang menyewakan lengkap dengan kaset videonya.

Mungkin kata kids jaman now, apa harus di re-wind? Dan gambarnya itu 320×240 ? itu pixelated mamih, film bajakan di youtube aja lebih bagus.

Terus kita masuk jaman analog berubah jadi digital. Dan terbitlah Laser Disc, piringan video CD berdiameter 30cm, dan sang shape shifter juga berubah bentuk ke media digital baru.

Tak lama kemudian hadir VCD, sangat terkenal, bahkan pemutar film-nya saja bisa dibeli dengan harga 250 ribu sudah lengkap dengan remote. Tidak perlu di-rewind dengan garpu tentu saja. Shape shifter kemudian berubah dengan pixel lebih rapat dan suara lebih bagus dalam bentuk DVD. Bapak dan Ibu, mungkin kalau buka lemari dibawah TV, masih punya alat pemutarnya.

Dan masuklah kita ke jaman now, jaman smartphone dan internet. Mencari film si shape shifter tidak perlu bisik-bisik seperti ke tukang dvd dengan kode jari disilang, cukup browsing. Mau di download boleh, mau streaming silahkan, internet kita sekarang sudah cepat. Mau resolusi berapa? Full HD 1080, yang berarti 8x lebih rapat dari DVD, atau bahkan mau 4K?

Teman-teman pun komentar, jaman DVD, Maria Ozawa itu telihat cantik dan mulus, jaman now dengan resolusi video tinggi, ternyata dia banyak jerawatnya.

Bapak dan Ibu juga pasti update dong dengan device yang namanya VR, virtual reality. Ada yang dari plastik dengan bentuk bagus harga jutaan, ada yang sederhana, hanya dari kardus harga belasan ribu. Taruh smartphone kita di sana, kita seolah-olah hadir di dunia 3D yang lain. Si shape shifter juga ada di sana ternyata.

Jaman now, saat pornografi bertemu dengan internet, itu sudah seperti lengkuas di dalam sayur rendang. Kentalnya bumbu rendang bisa membuat lengkuas tampil mirip daging rendang, banyak orang kecele mengambil dan menggigitnya. Tapi walau setiap hari mungkin saja ada yang kecele, tidak bisa kita minta restoran Padang berhenti membuat sayur rendang tanpa lengkuas.

Mari bapak dan ibu menengok lagi sekarang ke dalam diri masing-masing. Apa waktu kecil dan muda dulu sempat asik menjadi pembaca Enny Arrow, atau menonton si shapeshifter di VCD or DVD?

Sekarang bapak dan ibu sudah menjadi orang tua, apa bapak dan ibu menjadi seorang yang adiktif terhadap pornografi? Menjadi seorang yang bejat? Atau porn always in mind? Atau bapak dan ibu merasa sudah menjadi orang tua yang baik, suami atau istri yang bertanggung jawab?

Kalau jawabannya yang terakhir, berarti bapak dan ibu bisa melewati masa muda dengan baik, berarti anak-anak bapak dan ibu juga punya kesempatan yang sama. Percayalah mereka juga mewarisi kebaikan bapak dan ibu.

Coba cari tahu teman-teman sekolah kita yang kelihatan bandel, pasti senantiasa ada beberapa teman kita yang dulu saat bersekolah lebih vulgar bicaranya, lebih porno, suka kita panggil dengan sebutan piktor, pikiran kotor. Jadi apa mereka sekarang? Apakah mereka sekarang ada dibalik jeruji karena memperkosa, atau juga menjadi ayah yang baik?

Bapak dan ibu, jika buku stensil dan novel tanpa gambar, animasi, atau video saja bisa menjadi sarana pornografi, berarti sudah bakatnya-nya pornografi itu ada dalam otak kita.

Pernah mendengar cerita kisah katak dan kalajengking?

Begini ceritanya:

Kalajengking ingin menyeberang sungai, tetapi dia tidak bisa berenang.

Kemudian dia melihat sang katak lewat, dan memanggilnya.

Hi sang katak, tolonglah bawa aku menyeberang sungai dipunggungmu.

Sang katak menjawab, tidak mau! Nanti engkau akan menusuk aku dari belakang dengan ekormu yang beracun.

Kalajengking menjawab, bagaimana mungkin, jika aku melakukannya tentu engkau akan mati dan aku akan tenggelam di sungai.

Katak pun percaya, dan membiarkan kalajengking naik di punggungnya.

Ketika sampai di tengah sungai, sang katak merasakan panas dipunggungnya, ternyata kalajengking menusukkan ekornya yang beracun.

Sebelum mati sang katak bertanya, kenapa kau lalukan…? Bukankah engkau juga akan mati tenggelam?

Kalajengking menjawab, maafkan aku, aku tidak dapat menahannya, itu sudah bawaan sifatku, it’s my nature..

Pornografi dalam otak kita mungkin seperti si kalajengking, sudah bakatnya, sudah bawaannya, it’s our nature dalam arti yang positif. Itu kita perlukan karena kita memang makhluk yang harus berkembang biak. Nah bedanya kita dengan kalajengking, kita diberi kelebihan untuk mempunyai kendali dengan banyak pertimbangan, baik atau buruk, boleh atau tidak untuk dilakukan.

Jadi kalau bapak, ibu, dan saya teriak kencang, blokir whatsapp!, blokir telegram!, meyalahkan facebook, mendorong-dorong menkominfo, sampai akhirnya semua takut diprotes hingga film kartun Doraemon gambar Shizuka di blur karena sedang pakai baju renang, harap ingat lagi soal lengkuas di dalam sayur rendang. Internet hanya akan mentertawakan kita, seperti pak Bondan maknyus akan tertawa ketika ditanya rasa sayur rendang dibuat tanpa lengkuas.

Lah terus anak kita gimana kalau kita ngga teriak blokir? Sebenarnya problem sesungguhnya ada pada diri kita, sebagai orang tua kita sering tidak mau terbuka dan meluangkan waktu menjawab keingintahuan mereka. Kita lebih menyerahkan tanggung jawab kepada pihak ketiga, ya pihak ketiga gampangnya akan blokir-blokir saja.

Pihak ketiga hanya akan seperti ponstan saja pada gigi berlubang, meredakan sebentar sakit gigi, dan nanti rasa sakit itu akan kembali lagi, demikian terus menerus.

Kita juga pernah menjadi anak-anak, pernah muda, dengan keingintahuan sangat besar. Semakin disembunyikan, semakin mereka ingin tahu. Jika ada pelang besar di jalan dengan tulisan “ jangan menengok ke kiri” , orang akan menengok ke kiri, jika dibilang jangan dibuka, anak-anak akan membukanya.  Kids jaman now kalau dibilang tidak boleh, mereka akan bertanya apa alasannya, ketika jawaban kita tidak solid, mereka akan bilang kita orang yang tidak masuk akal.

Jadi ketika mereka membuka otak mereka untuk mencari petunjuk, tugas kita untuk berada di sana dan mengisinya dengan isi yang sehat dan benar.

Jika kita tahu, sayur rendang itu enak, bahkan katanya masakan no1 ter-enak sedunia, tetapi di dalamnya ada lengkuas yang mungkin menyamar jadi daging dan tergigit, ajarkan saja anak kita untuk membedakannya, mana daging dan mana lengkuas, supaya mereka tidak salah pilih.

Terakhir saya sertakan quote terkenal dari aktor Robin WIlliams:

The problem is, God gave man a brain and a p*nis, and only enough blood to run one at a time.”

Tugas kita untuk mengajari anak kita, sebanyak mungkin darah tetap mengalir di otak.
Salam

6 replies on “Antara Lengkuas, Rendang, dan Whatsapp”

  1. Matheus on

    Pak Lucky, tulisannya bagus sekali. Tak bisa dibayangkan bila ternyata pihak Whatsapp tidak memblokir GIF yg diminta untuk diblokir, apa jadinya bila pemerintah terpaksa mengeksekusi ancaman blokir WA setelah 2×24 jam. Sedangkan kalau bicara konten pornografi, masuk aja twiter, bertebaran film film porno teramat banyak dan sampai saat ini kominfo tak sanggup menanggulangi.
    Apa artinya gambar GIF di WA tsb dibanding film porno di twiter. Mungkin lebih baik bila pemerintah tidak selalu mengakomodir permintaan permintaan blokir, boikot dari kelompok sumbu pendek.
    Analogi yg bagus dan lucu hubungan lengkuas dan rendang. Apa jadinya bila sumbu pendek teriak minta blokir dan boikot lengkuas di rendang masakan padang.
    Semoga tulisan ini juga dimuat di harian umum nasional, dan bisa mengingatkan masyarakat dan pemerintah agar tidak terlalu reaktif dengan isue yang beredar di masyarakat

    • Lucky on

      Terima Kasih oom, memang sulit menghadapi pornografi di internet kalau hanya via blokir 😀

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.