Vivo V11 Pro, in-depth review

Brand Vivo sekarang cukup kuat gaung suaranya, baik di market share smartphone dunia dan market share Indonesia.

Saya biasanya hanya mengamati brand ini dari jauh saja, menurut saya produk-produk sebelumnya hanya mementingkan kosmetik yang menarik saja, belum dengan isinya, padahal harganya lumayan premium.

Tetapi belakangan ini Vivo mulai banyak unjuk gigi, meluncurkan banyak teknologi yang bahkan belum diterapkan brand global.

Di tahun 2017 fingerprint di bawah layar yang sebelumnya dipikirkan banyak orang akan di-release brand global, ternyata malah digaungkan oleh Vivo bekerjasama dengan Synaptic, dan dipamerkan pada produk demo di CES 2018.

Tidak lama kemudian teknologi ini yang dikira masih konsep, segera menjadi produk komersial pada smartphone Vivo X20 Plus UD.

Ketika kebanyakan smartphone masih meng-cloning notch, sekali lagi Vivo mengagetkan dengan memperlihatkan smartphone konsep Vivo Apex, dimana hampir semua bagian smartphone adalah layar, dan menunjukkan kamera depan yang bisa pop up.

Vivo Apex – Concept

 

Sekali lagi smartphone konsep ini dikira masih membutuhkan waktu lama untuk menjadi produk komersial, tiba-tiba menjadi produk nyata dalam nama Vivo Nex.

Langkah-langkah berani Vivo ini seperti memperlihatkan strategi baru Vivo yang ingin lebih dilihat oleh dunia, sebagai brand yang memiliki keberanian untuk mencoba dan menawarkan sesuatu yang baru, ditengah persaingan smartphone yang semakin brutal dan teknologi yang semakin “mature” sehingga perkembangannya semakin perlahan.

Bisa jadi keberanian dan strategi ini yang membuat brand ini sekarang ada di 10 besar market share dunia dan menjadi nomor 4 untuk Indonesia. Data IDC Q2 2018 memperlihatkan market share Vivo sedang tumbuh naik 200% dibanding kuartal yang sama tahun lalu.

IDC Q2 2018, Indonesia

 

 

Kita mungkin saja melihat karena keberanian marketing Vivo, seperti beberapa waktu lalu menjadi perbincangan saat launching dan diliput banyak stasiun televisi, menjadi pemicu keberhasilan Vivo, bukan sekedar karena produknya.

Tetapi produk yang di-release kali ini mungkin bisa membuat kita berpikiran lain.

 

Vivo V11 Pro

Desain dan Layar

Smartphone bukan lagi sekedar device untuk saling berhubungan dan dilihat hanya dari fungsinya saja. Karena sudah menjadi device yang menjadi kebutuhan utama banyak orang  dan selalu dibawa serta, maka desain menjadi bagian sangat penting sekarang. Bahkan banyak orang berganti smartphone dengan alasan agar terlihat lebih update, yang sering menjadi tuntutan di pergaulan sosial sekarang ini.

Vivo V11 pro memiliki daya tarik desain yang kuat, terutama karena terlihat banyak membawa elemen baru yang sedang menjadi trend di dunia smartphone. Salah satunya permukaan smartphone yang hampir seluruhnya layar.

 

Smartphone yang hampir semua permukaannya layar menjadi bayangan banyak orang sebagai smartphone yang futuristis.

Secara fungsional, ketika bezel smartphone semakin kecil, pada ukuran yang lebih kompak bisa dibenamkan layar yang semakin besar. Trend layar smartphone yang semakin besar memang terus menaik dan semakin banyak penggunanya. Semua karena fungsi smartphone yang semakin banyak, dari bekerja, media sosial, hingga hiburan.

Smartphone dengan bezel yang tipis menjadi upaya untuk bisa menghadirkan layar besar dengan ukuran yang tetap kompak tanpa melewati kemampuan tangan untuk menggenggamnya dengan nyaman.

Vivo V11 Pro berhasil membenamkan layar 6.4 inci, ukuran layar yang besar, ke body smartphone yang masih tetap kompak. Bezel kiri kanannya tipis hanya 1.76 mm dan bezel di bagian dagu walau tidak setipis bezel di bagian kiri dan kanan, hanya 3.8 mm, ukuran ketebalan dagu yang sama dengan iPhone X. (cat: ukuran bezel Vivo ini diukur sampai batas kaca, bukan ujung frame)

iPhone X Bezel : Sumber GSMArena

 

Untuk perbandingan tambahan bezel kiri kanan Vivo V11 Pro ini setipis apa, bezel kiri dan kanan iPhone X berukuran masing-masing 4.13 mm. Jika diukur sama, bexel Vivo dari ujung layar yang menyala hingga ujung frame, sekitar 3 mm, tetap lebih tipis dari iPhone X.

Dengan layar 6.4 inci rasio memanjang 19.5 : 9,  dan beresolusi FHD+ 2340×1080, ukuran keseluruhan body Vivo V11 pro termasuk kompak di 158 mm x 75 mm dan ketebalan 7.9 mm. Berat yang ringan hanya 156 gr menambah mudah menggenggam device ini, ditambah bagian body belakang yang melengkung di kedua sisi, membuat device lebih nyaman mengikuti kontur lengkungan tangan sekaligus membuat frame terlihat lebih tipis.

Walau Vivo mengklaim screen to body ratio-nya 91.27% tetapi saya lebih suka menggunakan standar dari GSMarena 85.2%, dimana rasio ini juga sudah sangat baik. Vivo memberi nama baru untuk layar penuh ini, bukan lagi full view display, tapi Ultra All Screen.

Kalau sebelumnya dalam seri V9 Vivo hanya menyediakan device dengan body berwarna penuh, pada V11 Pro Vivo sudah menggunakan warna body gradien yang sedang banyak digemari. Tersedia 2 pilihan warna, Nebula purple, warna yang sedang menjadi trend gradasi dari ungu ke biru, dan Starry Black, gradasi dari biru ke hitam dengan tambahan ratusan titik glitter. Kedua warna memiliki keunikan masing-masing dan bereaksi dengan cahaya sekitar sehingga terlihat catchy.

Nebula Purple

Body dan frame dari Vivo V11 pro ini masih terbuat dari polikarbonat, dengan finishing dan build quality yang bagus sehingga terlihat seperti frame dari metal dan body dari kaca. Penggunaan bahan ini yang menyumbang kepada bobot smartphone yang lebih ringan.

Body dengan warna yang menarik dan glossy ini memang agak membingungkan, menggunakan casing silicone bawaannya yang sudah termasuk dalam paket, menjadi kurang cantik karena tertutup, tetapi tanpa casing tambahan, mudah menempel banyak sidik jari (yang juga menjadi problem sebagian smartphone sekarang ini), dan bahan dari polikarbonat ini agak mudah memiliki baret halus jika diperhatikan dengan seksama di bawah penerangan yang cukup kuat.

 

Under Display Fingerprint

Saya menduga, bezel dagu yang kecil pada Vivo V11 pro didapat dengan menggunakan teknik yang mirip dengan iPhone X, dimana layar Super AMOLED buatan Samsung yang digunakan, merupakan layar yang tipis dan fleksibel sehingga bisa ditekuk di bagian bawah, agar tidak perlu menempatkan driver layar di bagian dagu, tetapi di bawahnya sehingga bisa menghasilkan bezel yang tipis.

Lengkungan Layar iPhone untuk mendapatkan Bezel tipis

 

Selain Samsung, jarang smartphone yang masuk kategori mid-end menggunakan layar Super AMOLED, karena layar ini termasuk mahal dibanding layar LCD, tetapi memang menghadirkan kualitas warna dan kontras yang menawan. Salah satu alasan Vivo V11 pro “harus” menggunakan layar ini karena Vivo membenamkan teknologi fingerprint di bawah layar.

Under display fingerprint menjadi kejutan lain dari Vivo, karena pemikiran kita, teknologi ini belum banyak diadopsi, dan kebanyakan baru digunakan smartphone kelas hi-end. Sekarang Vivo sudah membawanya ke smartphone mid-end, dan dengan ini Vivo seperti menaikkan standar (raise the bar) smartphone mid-end dengan teknologi baru. Vivo menamakan teknologi ini screen touch ID.

Screen Touch ID

 

Layar Super AMOLED yang tipis memungkinkan sensor sidik jari khusus diletakkan dibawah layar, dan membaca sidik jari dengan memberikan penerangan untuk membaca polanya saat jari diletakkan di atas layar. Vivo memberikan 3 pilihan animasi di sekeliling jari yang bisa dipilih untuk membuat proses ini lebih bergaya, sekaligus membantu pengguna melupakan bahwa proses pembacaannya tidak secepat fingerprint standar saat ini.

Dibutuhkan sekitar 1 detik lebih sedikit untuk pola jari terbaca sensor sidik jari di bawah layar dan layar membuka. Sama dengan sensor sidik jari biasa, sensor sidik jari di bawah layar ini juga bisa membaca sidik jari 360 derajat, jadi saat meletakkan jari tidak selalu harus tegak lurus.

Animasi saat pemban sidik jari

 

 

Ada 5 sidik jari bisa direkam oleh sensor ini, saat satu jari kotor, kita bisa menggunakan jari lainnya. Karena sensor ini masih menggunakan teknologi optik untuk membaca pola jari, maka ketika jari basah, berminyak atau kotor, sensor ini akan kesulitan membacanya.

Menggunakan tempered glass tambahan untuk pelindung layar bisa jadi hit and miss, jika cukup tebal akan lebih sulit dibaca oleh scanner.

Walau sensor sidik jari di bawah layar masih memiliki sedikit kelemahan dari sisi kecepatan, bagaimanapun juga posisi scanner di depan menjadi solusi kemudahan mengunci dan membuka layar yang menurut saya paling mudah, terutama saat device tergeletak di atas meja, tanpa perlu mengangkatnya untuk scan sidik jari.

Vivo juga memanfaatkan maksimal keberadaan layar Super AMOLED yang setiap pixelnya bisa berpendar sendiri, dengan menambahkan fitur AOD, atau always on display, dimana dalam keadaan standby, smartphone tetap memberikan informasi seperti jam, tanggal, sisa baterai, dan notifikasi.

Always On Display

 

Pengenalan Wajah

Jika dirasa fingerprint kurang cepat, pada Vivo V11 Pro tersedia unlock screen melalui pengenalan wajah. Tidak hanya mengandalkan kamera, kecepatan membaca wajah ini dilengkapi dengan sinar infrared / inframerah yang dikatakan Vivo memetakan 1024 titik muka. Kita mungkin membayangkan teknologi ini seperti dot projector di iPhone X yang memetakan 30rb titik wajah, tetapi sejauh yang saya tahu, teknologi tersebut membutuhkan infrared camera juga, yang tidak ada di Vivo V11 pro.

Jadi kira-kira infrared ini berfungsi lebih seperti flood illuminator, yang saat proses unlock wajah bekerja, sinar inframerah yang tidak kasat mata, tetapi bisa ditangkap kamera depan menerangi wajah kita, dan dikenali oleh software pengenalan wajah yang memetakan 1024 titik wajah saat perekaman.

Dari banyak device yang saya coba, Vivo V11 pro ini salah satu yang tercepat dalam mengenali wajah. Vivo menyebut teknologinya face access.

 

Ada yang menarik dari unlock lewat pengenalan wajah yang menggunakan inframerah ini, posisinya tidak perlu tegak lurus dengan wajah, tidak perlu “melihat” seluruh wajah, bisa parsial, bisa membaca wajah dalam posisi landscape (berguna saat sedang menonton dalam posisi landscape, device ditinggalkan dan mengunci, tidak perlu merubah posisi device). Pengenalan wajah ini juga berfungsi saat device sedang tergeletak di meja, cukup sedikit menyorongkan wajah, mendekati layar dan unlock layar langsung dilakukan.

Keberadaan inframerah ini selain membuat pengenalan wajah sangat cepat, juga bisa bekerja di ruangan yang gelap. Karena tidak terlihat mata langsung, sinar inframerah ini sering ditanyakan, diletakkan di mana. Karena notch yang digunakan Vivo termasuk sangat kecil, hanya cukup untuk kamera depan.

Di bezel bagian kanan atas yang tipis, di atas icon baterai, terletak inframerah untuk membaca wajah. Jika kita lihat lewat kamera smartphone lain di tempat gelap, ada 2 inframerah, satu berbentuk titik selalu menyala berkedip yang merupakan irda based proximity sensor, satu lagi lebih memanjang dan lebih besar yang otomatis aktif ketika akan membaca wajah, inilah inframerah Vivo V11 pro untuk membantu mengenali wajah dengan cepat.

Infrared flood tidak kasat mata, ditangkap dengan kamera

 

Kedua biometric unlock, fingerprint dan pengenalan wajah bisa diaktifkan berbarengan. Mana yang dikenali dulu akan membuka unlock. Fitur ini memudahkan, dan untuk mereka yang ingin segalanya serba cepat, bisa mengaktifkan sensor wake up saat smartphone di angkat, atau double tap layar, sehingga proses unlock langsung dijalankan.

Secara default, pengenalan wajah akan menggunakan mode quick recognition, tetapi dengan peringatan bahwa mungkin saja wajah kita bisa dipalsu dengan gambar atau video. Untuk lebih aman, quick recognition ini bisa dimatikan, tetapi dalam banyak situasi, hampir tidak bisa dibedakan kecepatan unlocknya, semua sama cepat.

 

Kedua biometric unlock ini juga bisa digunakan untuk mengunci aplikasi, ketika akan dibuka, aplikasi yang sudah di-set akan meminta konfirmasi unlock baik sidik jari maupun pengenalan wajah untuk berjalan.

 

Notch

Ada hal menarik juga dari keseluruhan desain Vivo V11 pro, tentang keberadaan notch yang kecil yang sekarang dikenal dengan istilah water drop notch yang ditengahnya hanya berisi kamera selfie. Desain notch seperti ini bukan Vivo yang pertama, brand lain dan masih akan banyak brand lain menggunakannya juga.

Melihat notch kecil ini kemungkinan besar penikmat informasi smartphone akan mengingat Essential phone, yang memulai keberadaan notch di layar smartphone. Melihat dari bentuk notch nya, secara desain, notch pada VIvo ini akan terlihat lebih baik dan mengalir karena banyaknya lekukan lengkung, sedangkan pada Essential phone, bentuk notch menjadi “pematah” aliran, seperti ditempel dan dipaksakan pada layar karena terlihat tegas tegak lurus, dan akan menyita perhatian.

Notch, Essential Phone dan Vivo V11 Pro

 

Jadi dibanding berkiblat ke notch iPhone X, Vivo V11 pro sebenarnya lebih terinspirasi cara yang digunakan oleh Essential phone dan menyempurnakannya, termasuk cara peletakkan sensor-sensor lainnya yang harus ada di bagian depan, seperti proximity sensor, light sensor, speaker, dan lain sebagainya. Penempatan sensor yang “mepet” ke atas ini juga butuh cara khusus yang lebih baru dibanding yang digunakan banyak smartphone sebelumnya.

Notch di Vivo V11 pro yang kecil ini tidak memiliki menu untuk menyembunyikannya, seperti kebanyakan device ber-notch ala iPhone. Beberapa aplikasi terutama yang dibawa oleh Vivo, seperti Vivo browser bisa memanfaatkan tampilan seluruh layar yang penuh, dan secuil tertutup notch, tetapi aplikasi browser yang sama, misal chrome browser dari google otomatis akan menutup bagian notch ini menjadi bar hitam.

Browser Vivo, Full Screen

Chrome Browser, full screen

 

Bermain game, menonton Youtube, hampir pasti otomatis menutup bagian notch ini dengan bar hitam, menyisakan layar tidak lagi full 6.4 inci dengan bagian yang bisa jadi buat sebagian orang yang sangat peka terhadap tampilan asimetris mempersoalkannya, dibagian kiri sudut-sudut layar rata, di bagian kanan melengkung.

 

Beberapa klip film dengan format memanjang untuk bioskop (misalnya format 21:9) baik di Youtube maupun aplikasi video bawaan dari Vivo, jika ditampilkan penuh, ujung-ujung sudut nya akan sedikit aneh, menyisakan sedikit lengkung. Untuk mereka yang protes soal ini bisa menggunakan aplikasi video lain, seperti Mx Pro untuk bisa menampilkan seluruh layar dengan sedikit tertutup notch.

Sudut-sudut yang sedikit melengkung “aneh” dengan Video player bawaan

Full Screen dengan aplikasi Video pihak ketiga

Tetapi saya rasa semua anomali asimetris ini akan segera terlupakan, dan kita akan lebih terhibur menyaksikan tampilan warna-warna yang lebih hidup dan vibrant dari layar super AMOLED-nya.

Perpaduan desain dengan notch yang kecil, bezel yang mepet, layar Super AMOLED, warna body yang menyita perhatian, sukses membuat Vivo V11 pro ini akan sangat mudah menarik perhatian.

 

Performa

Vivo V11 Pro menggunakan prosesor Snapdragon 660. Prosesor octacore ini masuk seri mid-end yang mendekati fitur prosesor flagship. Terbagi 2 cluster, 4 inti dengan CPU semi custom Kryo 260 yang kencang dan 4 inti lagi Kryo 260 yang lebih rendah clock speednya untuk lebih efisien dalam daya. Kemampuannya bisa dikatakan mumpuni untuk menjalankan banyak aplikasi termasuk game berat yang sekarang ada.

Keterbatasannya terkadang hanya pada settingan game yang tidak bisa menggunakan grafis maksimum pada game-game berat tertentu seperti PUBG. Untuk pekerjaan sehari-hari, menggunakan banyak aplikasi untuk dokumen, email, media sosial, kamera, kecepatannya sudah sangat baik, pengalamannya sudah hampir mirip dengan device ber-prosesor hi-end.

Kita akan sering melihat kalau prosesor yang direlease oleh Qualcomm tahun lalu ini (Mei 2017) , sekarang ini akan banyak ditulis oleh smartphone dari China brand sebagai Snapdragon 660 AIE.

Sebenarnya AIE ini singkatan dari Artificial Intelligence Engine. Qualcomm sendiri AFAIK tidak pernah memberi embel-embel AIE ini pada produknya. Kemungkinan pemberian nama ini untuk memberikan kebaruan secara marketing pada prosesor jaman sekarang yang dituntut memiliki chip khusus untuk keperluan AI.

Snapdragon 660 sendiri memiliki kemampuan AI atau Machine Learning, walau tidak memiliki chip neural processing unit tersendiri, kemampuan ini bisa dikerjakan via gabungan DSP, CPU, dan GPU.

Beberapa uji synthetic benchmark bisa memberikan gambaran di mana kategori device ini berada:

Geekbench 4.0

Geekbench mengukur kekuatan CPU Prosesor SD 660, dari kecepatan single core dan multi core.

Secara sederhana ini skor PCMark Work 2.0 untuk penggunaan device sehari-hari yang umum, seperti membaca email, web browsing, mengedit foto, menulis dokumen, dll. Angka hampir 6000 ini sudah sangat baik untuk device mid-end.

PCMark Work 2.0

 

Snapdragon 660 dilengkapi GPU Adreno 512 yang di desain sendiri oleh Qualcomm. Chip grafis Adreno 512 ini sudah mendukung semua API android yang sekarang ada, dari OpenGL ES 2.0, 3.0, 3.1, 3.2, hingga Vulkan.

Game dengan grafis bagus seperti Asphalt 9 terbaru, bisa dimainkan lancar dengan resolusi grafis high, dan warna yang vibrant dari layar Super AMOLED nya membantu bermain game menjadi lebih menarik.

Untuk uji synthetic benchmark yang mencoba lebih dalam kemampuan GPU, ini beberapa hasilnya:

3D Mark Sling Shot

 

Yang menarik adalah uji GFXbench 5.0 terbaru untuk mengetahui skor FPS (Frame Per Second) dimana Vivo bisa dengan lancar menjalankan test lama dengan baik, tetapi tidak untuk test yang baru Aztec Ruins secara keseluruhan 8 test. Tetapi jika test dilakukan parsial, bisa diselesaikan.

GFX Bench

 

Bagi mereka yang hanya terbiasa dengan hasil benchmark AnTuTu, ini hasil yang didapat oleh Vivo V11 Pro

Melengkapi prosesor, disediakan RAM yang sangat cukup, 6GB. Type RAM yang disertakan bukan RAM tercepat saat ini seperti LPDDR4, masih LPDDR3 tetapi sudah mencukupi mengingat kategori device ini ada di mid-end.

Rata-rata dalam penggunaan multitasking, free RAM yang tersedia biasanya diatas 35% di atas 2GB, sangat mencukupi.

Internal Storage yang disediakan 64GB, masih mengusung tipe eMMC 5.1 dan jika dirasa kurang, tersedia dedicated slot untuk memory card tambahan.

Untuk keperluan koneksi tersedia slot Dual SIM Card dedicated, yang berarti salah satu slot tidak perlu bertukar dengan memory card (hybrid). Koneksi kedua SIM Card keduanya bisa 4G LTE

Dual SIM 4G LTE

Baterai 3400 mAh Vivo 11 Pro cukup digunakan untuk seharian. Kapasitas baterai ini sangat cukup untuk dipadukan dengan prosesor Snapdragon 660 yang bertenaga tetapi cukup irit daya, dan layar super AMOLED yang efisien dalam penggunaan daya. Apalagi management baterai yang digunakan cukup ketat untuk mengatur aplikasi yang running di background.

Sayangnya dalam 2 kali percobaan yang panjang dan lama untuk benchmark baterai dengan PCMark battery 2.0 tidak pernah bisa selesai, karena saat menyentuh sisa baterai 20%, otomatis Vivo meng-cut aplikasi yang sudah berjalan lama di background.

Tetapi dari data log baterai selama test PCMark battery dijalankan, layar terkalibrasi 200 nits dan menjalankan test sudah berlangsung 8 jam lebih sedikit yang biasanya menandakan hasil skor akhir PCMark battery yang biasanya cukup tinggi.

Fitur charging cepat yang biasanya hanya dimiliki smartphone kelas hi-end, sekarang sudah dibenamkan pada device ini. Vivo menyebutnya dual engine fast charging, dengan charger 18W untuk charging cepat yang sudah disertakan.

Quick Charging

 

Kinerja charging-nya memang cepat, dalam pengukuran kira-kira untuk charging dari 20% hingga 100% dibutuhkan waktu 1 jam 29 menit dengan suhu baterai tertinggi di 39.3 derajat celcius. Setelah pengisian baterai mencapai 90%, proses charging melambat untuk cooling down.

Walaupun sudah mendukung charging cepat, sayangnya port charging / data yang digunakan Vivo V11 Pro belum USB type-C, masih menggunakan standar lama, micro USB. Tetapi kabar baiknya proses charging cepat ini juga kompatibel dengan menggunakan charger quick charge 3.0, sehingga selain bisa menggunakan charger ber-standar Qualcomm untuk charging cepat, juga bisa menggunakan powerbank QC 3.0 yang lebih umum dibanding charging cepat yang lain.

 

 

Catatan mengenai OS

Vivo V11 Pro hadir dengan android OS 8.1 Oreo dengan tambahan UI dari Vivo sendiri yang sudah cukup lama dikembangkan dan dinamai Funtouch OS.

Funtouch OS ini lebih me-mimik tampilan dari iOS atau iPhone, dengan menu yang tidak di swipe dari atas, melainkan di bawah dan tidak memiliki drawer.

Funtouch OS

 

Menurut saya Funtouch sudah saatnya diremajakan, karena pengelompokkan menunya sudah terlalu panjang dan clutter. Agak sulit menebak menu A bisa diakses dimana, menu B dimana.

TKDN yang menjadi keharusan dari pemerintah, membuat semua device android resmi di Indonesia harus menambahkan bloatware, aplikasi buatan anak bangsa dan toko aplikasi. Vivo memilih aplikasi agregator berita yang sejenis, Babe dan Baca.

Kedua aplikasi ini tidak bisa dihapus, dan sangat intrusif. Pada halaman depan notifikasi walaupun kita sudah berusaha untuk aplikasi ini di force close dan tidak muncul di notifikasi, senantiasa muncul notifikasi di depan lengkap dengan gambar dan judul berita yang receh. Ini yang membuat saya sedikit tidak respek dengan aplikasi yang bersembunyi dengan nama aplikasi anak bangsa, dan sayangnya tidak bisa dihapus.

Notifikasi Babe dan Baca intrusif, selalu muncul bahkan pop up

 

Saya tidak tahu aturan sebenarnya apakah aplikasi bloatware ini memang harus permanen dan tidak bisa dihapus, karena di brand lain aplikasi seperti ini bisa dihapus, tetapi tidak di Vivo.

Vivo juga menyertakan asisten pintar yang dinamai Jovi, singkatan dari enJOy VIvo . Banyak orang akan mengira asisten ini seperti Ok Google, Siri, atau Bixby yang bisa diajak bicara. Sayangnya belum sampai sana. Jovi ini masih seperti agregator pada halaman khusus yang menyatukan informasi cuaca, calendar, berita, dll, juga settingan untuk menggunakan AI pada kamera. Mungkin suatu saat akan ke arah asisten pintar yang sesungguhnya.

Jovi Smart Scene

Vivo V11 pro juga menyertakan Game Assistant, fitur yang sekarang banyak terdapat di smartphone yang membantu saat kita bermain game untuk tidak terganggu dengan telepon, notifikasi dan mengoptimalkan penggunaan CPU dan RAM untuk dipusatkan pada game.

Game Mode Menu

 

Mirip Pocophone F1, Vivo V11 pro juga baru memiliki kelas L3 untuk widevine DRM. Sertifikat digital rights management ini membatasi resolusi layanan resmi streaming film dari beberapa sumber, misalnya Netflix. Jadi walau resolusi layar Vivo V11 Pro sudah full HD+ dan kita memiliki koneksi data kencang sekalipun, streaming film hanya dibatasi di bawah kualitas HD.

Cukup disayangkan, karena layar Vivo V11 Pro yang sudah Super AMOLED sebenarnya menarik untuk menikmati konten streaming resmi dari film-film HD (bahkan 4K dan HDR) yang disiapkan oleh Netfix dan layanan streaming lainnya. Tetapi setidaknya layar Super AMOLED yang lebih kaya warna menutupi kekurangan ini.

 

Kamera

Fitur kamera sekarang menjadi salah satu fitur paling dikedepankan banyak vendor smartphone. Terkadang fitur kamera ini jualannya saat marketing atau launching terlalu memberi ekspektasi tinggi bagi calon pengguna. Bagaimana dengan Vivo V11 pro yang taging saat booting smartphone-nya menyertakan kata: camera & music ?

Hasil kamera yang bagus ini bisa jadi sangat beragam penilaiannya bagi kebanyakan orang, karena cukup subjektif. Pengalaman dan pengetahuan tentang teknologi kamera bisa jadi membuat banyak orang berbeda pendapat tentang sebuah hasil foto.

Saat ini hasil kamera dari beberapa smartphone mid-end sudah bisa sejajar atau bahkan melebihi hasil kamera smartphone hi-end 1-2 tahun lalu. Teknologi kamera smartphone memang sedang terus berkembang dengan pesat, sensor kamera yang lebih baik, chip ISP (Image Signal Processor) yang lebih bertenaga, hingga algoritma post processing software yang semakin canggih, juga disematkan pada smartphone mid-end untuk menghasilkan foto digital yang bagus.

Main Camera

Kamera utama Vivo V11 Pro dilengkapi dual camera beresolusi 12 MP f/1.8 dan 5MP f/2.4 untuk membantu potrait mode yang menghasilkan efek bokeh atau background blur. Kedua kamera belum dilengkapi OIS (Optical Image Stabilization)

Menggunakan fokus cepat dengan teknologi dual pixel seperti yang digunakan Samsung, hasil kameranya bisa dinaikkan hingga 24 MP, karena setiap pixel sensor kamera terdiri dari 2 bagian.

Cara ini bisa ditempuh karena teknologi fokus dual pixel bekerja seperti mata kiri dan kanan yang sebenarnya masing-masing pixel menangkap objek yang sama dengan sedikit sudut berbeda, dan interpolasi keduanya mendapatkan bagian fokus objek yang tepat dengan cepat.

Data yang berjumlah sama di tiap pixel jika digunakan semuanya berarti menjadi 2 x 12MP = 24 MP.  

 

Walau terkesan menarik bisa menjadi 2 kali lipat lebih banyak data, sebenarnya cara ini tidak akan membuat foto 24 MP lebih baik dari hasil asli 12 MP nya, karena semua data yang digunakan dari setiap pixel, selain data objek yang fokus, juga objek yang tidak fokus. Secara ukuran file 24MP foto memang lebih besar dan bisa di zoom in lebih dalam, tetapi secara kualitas tidak terlihat perbedaan yang signifikan dengan 12 MP.   

Sesuai dengan jamannya, kamera Vivo V11 pro juga memiliki fitur pengenalan scene dengan AI, saat kamera melihat gedung, makanan, wajah, tanaman, malam hari, binatang, dan lain sebagainya. Pengenalan scene ini kadang cepat, kadang lambat atau sama sekali tidak keluar.

Hal yang wajar karena AI atau machine learning ini sering bergantung dengan seberapa banyak pengenalan sample diberikan saat training. Biasanya bisa membaik seiring update. Jika scene dikenali, maka akan keluar lambang icon yang sesuai di pojok kiri.

AI Scene

 

Untuk melihat lebih dekat bagaimana hasil fotonya, kita coba bahas langsung dengan sample nya.

Terkadang kamera Vivo terlalu peka dengan cahaya ambien sekitar, sehingga objek yang sama, tempat yang sama, cahaya yang sama, bisa menghasilkan tone white balance yang berbeda, contohnya foto di bawah ini. Kebanyakan kamera smartphone lain akan memilih tone dengan warna putih. Tetapi kejadian seperti ini cukup jarang. Kalau bertanya mana white balance yang benar, objek dan pencahayaan aslinya ada di antara keduanya, sedikit kekuningan.

HDR (High Dynamic Range) pada Vivo V11 Pro tidak lagi menjadi bagian fitur mode khusus kamera, tetapi bisa berjalan setiap saat. Ada pilihan untuk di set auto dan mengenali sendiri scene kapan HDR harus on atau off, atau kita bisa memilih selalu on atau selalu off. HDR pada kamera Vivo ini mumpuni, dengan contoh gambar di bawah ini, dimana walau berhadapan dengan neon sign di bagian depan, pada bagian belakang kita masih bisa jelas membaca neon sign lain, yang biasanya tanpa HDR salah satunya akan  terlalu di blow up.

Di bawah ini salah satu lagi contoh ketika kamera dihadapkan dengan cahaya matahari alami yang terang dari atas void, yang biasanya tanpa HDR akan membuat ruangan di bawahnya gelap. Fitur auto HDR dari Vivo V11 pro bisa membuat hasilnya menjadi balance.

Fitur Bokeh atau bacground blur (potrait) menjadi berkat tersendiri pada teknologi kamera smartphone sekarang walau masih artifisial. Dengan bantuan 2 kamera, fitur ini lebih mudah dieksekusi, dan Vivo memanfaatkannya untuk bisa juga mengatur fokus belakangan setelah foto diambil, misalnya bagian objek di depan fokus dan di belakang blur, atau dibalik, belakang fokus dan di depan blur.

Vivo juga memberikan fitur pengatur tingkat blur, sehingga dengan menggeser slider kita bisa me-mimik aperture kamera, dari f/16 hingga f/0.95. Dengan f/0.95 yang dalam dunia fotografi asli lensanya sangat-sangat mahal, tingkat blur sangat tinggi.

Slider Pengaturan tingkat blur

 

Ini beberapa contoh hasil mod potrait (blur) di Vivo V11 Pro, untuk foto makanan warna-warna yang dihasilkan juga sangat pop-up.

 

Karakter foto yang dihasilkan kamera Vivo mudah membuat kebanyakan orang suka, karena warna-warna yang dihasilkan cenderung pop up, sharpness yang kuat dan detail yang memadai.

 

Hal penting lain yang dituntut dari smartphone sekarang ini adalah kemampuannya menangkap gambar di malam hari. Dalam hal ini Vivo V11 Pro cukup mampu menangkap foto lowlight tanpa menghasilkan banyak noise. Sebagai mid-range smartphone, bisa dikatakan foto lowlight yang dihasilkannya mumpuni, bisa menangkap objek dan ambien sekitarnya dengan cukup baik, walau belum sekelas kamera-kamera hi-end yang sering bisa melewati kemampuan “melihat” dari mata sendiri saat kondisi pencahayaan sangat rendah.

 

Selfie Camera

Kamera depan Vivo V11 Pro 25 MP dengan f/2.0 dilengkapi segudang fitur khusus untuk selfie, dari pengenalan gender, berbagai macam efek pencahayaan, grup selfie, hingga AI Face Beauty. Untuk mereka yang belum puas, hasil foto selfienya masih bisa di edit lebih dalam, dari pemutihan kulit, menghilangkan jerawat, mengecilkan hidung, dan lain sebagainya. Fitur-fitur ini memang disukai millenials dan para wanita. Untuk mereka yang ingin tampil apa adanya dalam selfie, misalnya para pria yang bukan tipe pesolek, agak sulit mendapatkan foto selfie apa adanya, karena proses “beautification” tetap berlangsung.

Hal yang menonjol dalam kemapuan foto selfie di Vivo V11 pro adalah selfie HDR, dimana biasanya saat kamera fokus ke wajah, bagian background sering terlalu di blown-up atau terlalu terang. Fitur ini bisa mengatasi hal tersebut.

Ini beberapa contoh hasil foto selfie dari Vivo V11 Pro.

 

Hasil crop foto selfie di atas

 

Background tetap jelas dengan HDR (Pinjam wajahnya ya AA Gogon)

 

Music, bagian yang hilang

Tag Vivo yang kuat, Music and Camera, kali ini sedikit kehilangan dibagian music. Biasanya device-device Vivo diperkuat dengan hi-fi yang mumpuni, tetapi entah mungkin kali ini Vivo cukup bersandar dengan DAC bawaan prosesor Snapdragon aqstic.

Di dalam paket Vivo masih setia menyertai earphone tetapi kualitas suaranya standar saja. Mengganti earphone dengan kualitas yang lebih baik, suara musik yang dihasilkan Vivo V11 Pro lebih baik, tetapi tetap kurang powerful. Sementara suara langsung yang dihasilkan speaker Vivo masih single speaker, cukup lantang tetapi kurang dalam.

 

Penutup

Vivo V11 Pro ini seperti arah baru untuk Vivo, menawarkan desain yang menarik, spesifikasi yang bagus, dan teknologi baru yang cepat dibawa untuk device mid-end, dan harga yang menurut saya sepadan. Untuk Indonesia saat launching harga yang dipatok 4.99.

Fingerprint di bawah layar, face unlock yang cepat, layar Super AMOLED yang bagus, bentuk yang kompak, prosesor yang mumpuni, baterai yang cukup dengan kemampuan fast charging, kamera yang bagus untuk kelasnya, desain dan warna yang menarik , dan harga yang pas, benar-benar membuat Vivo V11 pro ini memiliki kelengkapan untuk mudah disukai banyak orang.

Dengan gaya seperti ini, Vivo mempunyai daya saing yang lebih kuat dari sekedar marketing jor-jor an, tetapi kedodoran pada kualitas produknya sendiri. Menarik untuk melihat kiprah Vivo selanjutnya, yang semoga bisa mempertahankan gaya barunya ini.

Well done Vivo.

 

7 replies on “Vivo V11 Pro, in-depth review”

  1. Aditya Kumara on

    Mungkin ke depannya bisa ditambah pembahasan mengenai aftersales & update OS untuk jangka panjang penggunaannya Om. Mengingat Vivo ini sejak dulu terkenal “pelit” dalam hal memberikan pembaharuan OSnya. Trims.

  2. Sanfranki on

    Kalau dengan spesifikasi di atas, apakah worthed jika HP ini menjadi pilihan pengganti HP. Samsung S7?

    Thanks

  3. 4nthon1u5 on

    Mau tanya, apakah ada pelindung layar / tempered glass di vivo v11 pro ini??

    • Lucky on

      Tempered glass bisa dibeli terpisah.
      Waktu launching disarankan menggunakan pelindung bawaannya, tetapi saya tidak menemukan di unit yang saya gunakan. Mungkin terlewat 😀

  4. Pingback:Vivo V15, in-depth review - Lucky Sebastian

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.