Intro
Persaingan brand smartphone untuk jadi papan atas sekarang bisa dikatakan brutal, dengan cepat susunan 10, bahkan 5 besar bisa berubah. Brand global yang dulu selalu ada di list 5 atau 10 besar, kini banyak yang tersingkir saking tidak cepatnya mengantisipasi perubahan.
Tidak kita lihat lagi nama Sony, HTC, Motorola, bahkan LG ada di sana. Semua brand besar dengan pengalaman puluhan belasan tahun itu tergantikan oleh banyak pemain baru yang lebih agresif, terutama brand-brand dari Tiongkok. Dua brand global yang masih bertahan adalah Samsung dan Apple, dan keduanya masih berada di jajaran paling atas.
Setelah banyak brand global besar tumbang, terjadi pergeseran tentang produk flagship. Kalau dulu brand-brand global berangkat dengan pandangan yang sama, flagship adalah smartphone terbaik mereka dengan segala kelengkapan fitur dan penggunaan hardware terbaik, sekarang pemahaman ini sedikit berubah.
Gelombang pertama brand-brand baru seperti Xiaomi dan Oneplus, menawarkan flagship dengan harga terjangkau. Gelombang berikutnya sekarang brand-brand seperti Huawei, Oppo dan Vivo menawarkan flagship dalam desain baru dan permainan warna pada finishing.
Intinya dari dua gelombang baru ini, benang merahnya penggunaan latest processor dan RAM yang cukup besar, dan tidak lagi mementingkan kelengkapan fitur, yang satu fokus ke harga murah, yang satu fokus ke desain yang lebih baru dan dianggap lebih futuristik.
“Pengalihan” persepsi tentang flagship ini membuat Samsung Galaxy Note 9 mendapat banyak sorotan dari sebelum resmi diperkenalkan, karena dari segi bentuk, sejak bocorannya keluar, banyak orang menganggap Samsung tidak melakukan lompatan.
Banyak yang mengira, Samsung Galaxy Note 9 hanya sedikit perbaikan dibanding Galaxy Note 8 sebelumnya. Mungkin saja anggapan ini bisa jadi benar, atau bisa jadi terlalu meremehkan.
Untuk itu dalam review kali ini kita akan menguji dan coba membuktikan, apakah flagship Samsung tetap layak memimpin, atau para penantangnya sudah jauh lebih baik.
Pada review kali ini kita akan membahas lebih dalam satu topik besar saja, tentang performa, dan mencoba membuktikan, apakah Galaxy Note 9 lebih baik dari flagship Samsung sebelumnya dan flagship dari brand lain, atau Samsung hanya mahir dalam marketing?
Menguji Performa Galaxy Note 9
Dibanding pendahulunya, Galaxy Note 8, tentu saja banyak peningkatan di sisi performa, karena sudah berganti prosesor (SoC) dari Exynos 8895 ke Exynos 9810. Walaupun keduanya menggunakan fabrikasi 10nm, tetapi secara arsitektur baik CPU maupun chip grafis sudah berbeda kelas dan mengalami peningkatan, dari A-73 dan Mali G71, ke A75 dan Mali G72.
Pertanyaan berikutnya yang sering ditanyakan apakah ada perbedaan performa antara Note 9 ini dengan Galaxy S9 series, karena keduanya menggunakan SoC yang sama.
Ada 2 hal yang dilakukan Samsung pada seri Note 9 ini dalam memberikan performa yang lebih untuk SoC yang sama agar kinerjanya lebih baik.
Pertama, memperbaharui cooling system, dengan menggunakan water carbon cooling system dan copper heat pipe yang 3 kali lebih besar dibanding pendahulunya ( Note 8 dan S9) , agar kinerja SoC bisa bertahan lebih maksimal.
Kedua, menggunakan algoritma AI (Artificial Intelligence) pada prosesor grafisnya, agar dapat merender gambar lebih stabil hingga 40%, yang salah satu fungsinya akan memberikan pengalaman bermain game (berat) yang lebih baik.
SoC octacore Exynos 9810 menggunakan custom CPU generasi ketiga, M3 (Mongoose), modifikasi dari Samsung berdasarkan arsitektur Arm Cortex A-75 4 inti untuk workload berat, dan Cortex A-55 4 inti untuk kinerja prosesor dengan penggunaan daya yang lebih efisien.
Sebagian lagi Galaxy Note 9, seperti untuk negara Amerika, Jepang, dan China, menggunakan prosesor Snapdragon 845. Dengan tingkat awareness yang lebih besar karena lebih banyak di mention dan digunakan smartphone flagship, SoC Snapdragon ini lebih sering dianggap more powerful dibanding Exynos, walau sebenarnya belum tentu, karena masing-masing memiliki keunggulan.
SoC Exynos 9810 ini memang tidak mudah dimengerti, terutama saat reviewer ingin melihat kinerjanya dalam angka benchmark. Berbeda dengan banyak smartphone flagship baru yang “peka” terhadap benchmark dan berusaha mendapatkan skor setinggi-tingginya bahkan dengan melakukan cheat, Exynos 9810 ini seolah cuek dan tidak banyak bereaksi terhadap kebanyakan benchmark.
Salah satu penyebabnya prioritas scaling pada SoC. Kebanyakan SoC atau prosesor menggunakan governor scaling interactive, dimana kinerja prosesor langsung bereaksi ketika ada beban kinerja meningkat, bahkan ketika layar disentuh. Sementara Exynos 9810 menggunakan scaling schedutil, tidak akan menambah kinerja prosesor segera sebelum sampai titik beban tertentu yang ditetapkan.
Big Cores M3 dari Exynos 9810 juga akan berbeda clock saat bekerja hanya dengan 1 core, 2 core, dan 4 core, jadi saat di benchmark tergantung berapa cores / inti yang bekerja, semakin banyak cores yang bekerja, semakin tidak mencoba menyentuh clock tertinggi seperti yang di push banyak smartphone lain untuk mencapai nilai tertinggi.
Saat di-benchmark, hanya satu benchmark yang memperlihatkan kinerja CPU Exynos 9810 yang maksimum, dan hasilnya melebihi banyak prosesor hi-end smartphone android lain, yaitu geekbench 4, dimana kinerja single prosesornya jauh di atas prosesor lain 50-60%
Kinerja single processor yang kencang, bagus untuk membuat loading aplikasi, browsing, dan menjalankan script java yang lebih cepat. Single processor yang lebih kencang juga lebih hemat baterai.
“Anomali” SoC Exynos M3 ini baru lebih terang saat acara Hot Chips 2018, simposium yang membahas high performance chips. Menurut Anandtech, desain custom CPU M3 sudah menyamai atau melampaui arsitektur cortex A-76 yang baru saja akan jadi arsitektur dasar SoC tahun depan.
Untuk lebih memahami apakah dengan bantuan water carbon cooling system dan AI, betul Galaxy Note 9 bisa dirasakan manfaatnya atau hanya sekedar gimmick, harus dilakukan beberapa test. Semoga serangkaian test ini yang melibatkan banyak angka, bisa dicerna dengan mudah:
Karena SoC tidak berubah dibanding dengan latest flagship smartphone Galaxy S9 series, sama-sama Exynos 9810, secara teori keberadaan cooling system tidak akan membuat kinerja smartphone melonjak, tetapi lebih ke arah kestabilan, misalnya saat digunakan untuk bermain game berat dengan waktu yang cukup lama.
Secara teori musuh dari performa SoC atau prosesor adalah suhu yang panas, ketika prosesor bekerja berat dan suhu prosesor menjadi terlalu panas, prosesor akan menurunkan kinerjanya untuk tetap bisa berjalan, dan jika melebihi batas panas yang aman, prosesor akan overheating dan berhenti bekerja.
Penurunan kinerja ini saat bermain game akan terasa misalnya gambar menjadi stutter atau lag. Semakin tinggi FPS bisa dihasilkan dan stabil, semakin baik dan halus gambar yang dihasilkan.
– Pengujian 1, GFXBench 5.0 Aztec Ruins
GFX, benchmark untuk menguji FPS (frame per second) yang bisa di-render smartphone dalam berbagai uji API grafis, OpenGL 3.1 , 3.0, dan 2.0 sekarang menambahkan 8 uji baru yang dikatakan lebih cocok dengan device modern dan dinamakan Aztec Ruins, test yang lebih kompleks dan menambahkan API Vulkan, API grafis yang lebih baru dan lebih baik.
Ada 8 test dalam Aztec Ruins, semakin panjang test dilakukan semakin berat smartphone diuji karena kinerja prosesor di-push terus dan menghasilkan panas. Uji ini cocok untuk melihat seberapa panas dihasilkan smartphone dan seberapa besar daya baterai digunakan.
Untuk uji panas dan baterai ini kita menggunakan data yang direkam smartphone dan panas yang tercatat adalah panas yang diberikan oleh sensor baterai internal, bukan menggunakan FLIR.
Penting untuk dicatat, untuk pengujian ini suhu udara sekitar, ruangan ber-AC, bahan meja tempat smartphone diletakkan, akan sangat berpengaruh terhadap hasil uji panas.
Misalnya smartphone diletakkan di meja marmer yang cenderung dingin, tanpa casing, di ruangan ber-AC, maka panas yang dihasilkan smartphone bisa segera berpindah ke meja dan lonjakkannya tidak terlalu besar.
Tetapi ruangan tidak ber-AC, sore hari yang cukup gerah, dan smartphone diletakkan meja beralas kulit, bisa menjadi contoh yang mendekati uji saat kita bermain game dengan intense saat smartphone dipegang oleh tangan, dan test di bawah ini mostly dilakukan dengan cara ini.
Uji ini kita lakukan terutama untuk melihat, apakah betul water carbon cooling dan heat pipe yang lebih besar di Galaxy Note 9 memang berguna atau sekedar gimmick, dan seberapa besar daya digunakan dalam workload yang intense.
Untuk membandingkannya, ujicoba dilakukan dengan 2 device lain, Galaxy S9+ yang memiliki SoC yang sama hanya berbeda di sistem pendinginan yang lebih kecil, dan smartphone flagship lain dengan prosesor Kirin 970 dengan teknologi GPU Turbo yang tidak dilengkapi heat pipe, hanya berupa graphite / carbon sheet.
Uji pertama hanya menjalankan serangkaian uji Aztec Ruins yang terdiri dari 8 test yang berlangsung sekitar 12 menit. Hasilnya sebagai berikut:
Dari test tersebut hanya ditampilkan FPS dari setiap API dengan on screen mode, jadi gambar benar-benar ditampilkan di layar. Hasil uji yang tidak ditampilkan dalam list adalah offscreen mode, ketika ujicoba grafis tanpa menampilkan rendering sesungguhnya di layar.
Dari hasil test pertama ini bisa ditarik kesimpulan, antara Galaxy Note 9 dan Galaxy S9+ pada rendering GPU di layar tidak ada perbedaan berarti, hanya saja kenaikan suhu di S9+ lebih tinggi 3 derajat celcius dan menguras daya baterai lebih banyak.
Sementara itu smartphone dengan Kirin 970 bukan berada di kelas yang sama dengan Exynos 9810, dikarenakan pilihan arsitektur pada CPU yang memang tertinggal 1 tahun (A-73 dan A-53 dibanding A-75 dan A-55) dan GPU yang walaupun sama Mali G-72, konfigurasi yang dipilih Samsung lebih menguntungkan, clock lebih rendah tetapi inti lebih banyak (MP18 572 MHz), dibanding clock lebih tinggi tetapi inti lebih sedikit (MP12 756 MHz) yang dipilih Kirin 970.
Panas yang dihasilkan SoC Kirin 970 ini cukup mengejutkan, dalam waktu 12 menit naik 20 derajat celcius pada sensor panas baterai, hampir 2x lebih tinggi dari panas yang dihasilkan S9+ dan lebih dari 2x Galaxy Note 9.
Kenaikkan panas ini juga berimbas jika kita pegang unitnya, panasnya sudah tidak nyaman mengenai kulit tangan. Dalam ujicoba ini , Kirin 970 juga menggunakan daya yang paling besar dibanding kedua device lainnya. Petunjuk ini memberikan gambaran, prosesor hi-end sekarang dan game-game berat, benar membutuhkan bantuan cooling pipe.
– Pengujian 2, High-Level Test
Sebelum Aztec Ruins muncul di GFXBench 5.0, pada GFXBench 4.0 juga terdapat test yang kira-kira sejenis, dari Car Chase hingga T-Rex untuk menguji semua API grafis. Gabungan antara Aztec Ruins dan test sebelumnya masuk dalam High-Level Test, 17 rangkaian test yang titik beratnya pada performa GPU.
17 Test ini memakan waktu 22 menit, dimana workload besar diberikan untuk menguji SoC seperti digunakan untuk menjalankan game dengan grafik kelas atas. Hasil dari kerja berat ini akan segera menaikkan panas, lebih cepat dibanding main game seperti PUBG grafik tertinggi sekalipun.
Hasil dari test ini, untuk performa FPS, Galaxy Note 9 dan Galaxy S9+ tidak berubah, dapat melewati test dengan baik, kedua heat pipe yang berbeda ukuran masih bisa mengimbangi kinerja test grafik ini.
Sayangnya Kirin 970 tidak bisa melewati test ini, pada menit ke 17, keluar warning bahwa smartphone overheating, dan harus mematikan aplikasi yang sedang dijalankan. Suhu baterai menunjukkan angka 60 derajat celcius, yang kira-kira suhu di SoC lebih tinggi lagi sekitar 80-an derajat.
Kegagalan Kirin di test ini memperlihatkan betapa pentingnya heat pipe atau perangkat penyalur panas yang cukup ada di smartphone kelas atas, selain aplikasi-aplikasi semakin berat, juga untuk bisa menjalankan game-game berat jaman sekarang dengan waktu lama.
Yang cukup mengherankan mengapa SoC Kirin 970 tidak segera throttling dan menurunkan kinerja SoC nya agar tidak sampai overheating. Sepertinya Kirin 970 ini “mengenali” aplikasi benchmark saat dijalankan, dan membuat batasan suhu lebih di-loss untuk mendapat skor yang baik, tetapi tetap tidak mencukupi untuk test yang baru ini.
Pada Galaxy Note 9 dan S9+ walau hasil FPS tetap seimbang dan sama, yang membedakan sekali lagi kenaikan suhu dan daya yang dibutuhkan. Suhu Note 9 naik 14 derajat celcius, sementara S9+ naik 15 derajat celcius, sementara pemakaian daya Note 9 lebih irit di 480 mAh dan 560 mAh di S9+.
Dari kedua percobaan ini workload test terlihat tidak cukup berat untuk memperlihatkan perbedaan water carbon cooling heat pipe di Note 9 dibanding S9+. untuk itu diperlukan percobaan lanjutan.
– Pengujian 3, High Level Test 2x
Untuk mendapatkan beban workload saat prosesor panas, test ketiga ini mengulang test seperti yang dilakukan pada test kedua, hanya kali ini 2x tanpa jeda. Sehabis 17 test pertama, kemudian dilanjutkan test yang sama kedua kali saat suhu SoC sedang tinggi-tingginya.
Test ini hanya dilakukan untuk Galaxy Note 9 dan S9+, karena smartphone dengan Kirin 970 sudah tidak bisa meneruskan test yang gagal sebelumnya karena overheating.
Hasil test FPS sekarang memperlihatkan perbedaan. Galaxy Note 9 tetap berhasil mempertahankan kinerja, dengan FPS yang dihasilkan di kedua test yang berlangsung 44 menit ini sama, tidak menurun.
Sementara Galaxy S9+ mencapai suhu limit dan throttling, terlihat dari angka FPS yang berkurang di sesi kedua, tetapi pada akhirnya memperlihatkan angka FPS yang semakin sedikit selisihnya yang menunjukkan setelah throttling dan kinerja SoC diturunkan, segera setelah suhu turun bisa lagi mengangkat lagi performa.
Test terakhir ini memperlihatkan water carbon cooling system dan heat pipe yang lebih besar memang berguna dan berfungsi untuk workload yang besar dan lama.
Jadi untuk pemain game berat dengan grafis yang tinggi seperti game PUBG, Fortnite, akan bisa menikmati benefit dari cooling system yang baru di Galaxy Note 9, atau bisa membantu kinerja smartphone saat digunakan di area lingkungan yang cenderung panas.
Jika banyak test di-luaran yang tidak memperlihatkan benefit cooling test baru ini, sepertinya test yang dilakukan kurang panjang atau berat, sehingga tidak terlihat benefitnya, apalagi bila dibandingkan dengan smartphone dengan konfigurasi serupa yang hanya berbeda cooling system seperti Note 9 dan S9+.
Real World Test FPS and Stability
Kalau ketiga test di atas disebut synthetic benchmark, bagaimana sebenarnya benchmark sesungguhnya saat kita menggunakan smartphone tersebut, misalnya untuk bermain game berat ?
Sebenarnya Galaxy Note 9 hadir pertama dengan game Fortnite, salah satu dari sekian banyak game berat di android. Tetapi karena kita membutuhkan data dari perangkat lain untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan device baru Samsung ini, pada real world test ini kita menggunakan game berat yang populer, PUBG Mobile.
Supaya hasil benchmark-nya real, saya tidak bisa menggunakan hanya sekedar istilah lancar, bagus, tidak ada lag, smooth, karena kata-kata tersebut tidak ada patokan dan hanya based on pengamatan mata kita saat bermain game.
Saya terkadang cukup dibuat bingung ketika menyaksikan uji dan ada yang bilang smooth, tetapi terjadi drop frame, tanpa ada petunjuk angka FPS di layar game yang dimainkan, karena menurut saya mata kita tidak mudah menangkap perbedaan FPS kecuali saat terjadi stutter, dimana gambar game bergerak terpatah-patah. Dan seberapa turun naiknya tidak bisa kita ketahui.
Untuk itu saya menggunakan bantuan Gamebench untuk merekam real FPS saat kita bermain game, dan aplikasi ini berjalan di background menganalisa.
Synthetic benchmark mementingkan FPS tertinggi yang bisa dicapai SoC, dan ini menjadi gengsi banyak pengguna smartphone. Tetapi sebenarnya real world benchmark adalah se-stabil apa SoC bisa memberikan FPS yang konstan tidak naik turun dengan FPS yang cukup. Karena dengan FPS yang stabil bisa didapat performa dan pengalaman bermain game yang baik, dibanding FPS yang naik turun sangat sering.
Uji realworld FPS ini juga baik untuk melihat seberapa jauh fungsi heat pipe dan cooling system sebuah perangkat, karena FPS yang kencang didapat saat pertama SoC bekerja dengan kekuatan penuh, tetapi biasanya segera menurun ketika SoC panas beberapa saat kemudian.
Untuk uji realworld FPS ini mendapat gambaran seberapa baik, saya membandingkan Galaxy Note 9 dengan Flagship ber-prosesor Kirin 970 dengan teknologi GPU turbo yang diklaim bisa memberikan kinerja GPU 60% lebih baik dan 30% irit daya untuk bermain game PUBG, Mobile Legends, dan Asphalt 9. Dari ketiga game tersebut kinerja game PUBG paling berat.
Sementara Note 9 juga meng-klaim menggunakan AI untuk memantau kinerja GPU agar bisa menghasilkan frame rate yang stabil hingga 40%, dan tidak terbatas dengan game tertentu. Sehingga kedua klaim ini menarik untuk diujicoba.
Test dilakukan dengan konfigurasi grafik game terberat yang bisa dipilih, grafis HDR, frame rate Ultra, style Realistic.
Hasil dari test ini:
Galaxy Note 9 mendapatkan Median FPS 37, dan stability 96%.
Kirin 970 mendapatkan Median FPS 27, dan stability 33%.
Hasil ini menarik dan unik, karena kedua SoC menggunakan GPU yang sama Mali G-72. Pada uji yang menyangkut waktu cukup ini, Galaxy Note 9 bermain game selama 20 menit sementara Kirin 970 selama 16 menit. Dalam waktu tersebut, device kirin 970 sudah tidak nyaman digenggam karena panas, sementara Note 9 masih sekedar hangat.
Panas ini juga yang menyebabkan kinerja device Kirin 970 drop dan mendapat Median FPS dan stability yang rendah, karena ketika sekedar di test pada sesi lain yang hanya 5 menit, didapat stability yang jauh lebih bagus di 80 persen-an.
Sekedar catatan, Median FPS adalah nilai FPS rata-rata dari FPS tertinggi dan terendah yang didapat saat test. Stability menunjukkan rata-rata FPS yang didapat mendekati atau sama dengan median FPS, semakin banyak FPS yang sama, semakin stabil.
Tingkat stability 80% sudah mendapat nilai good, sementara dengan skor 96% stability, Galaxy Note 9 masuk penilaian excellent.
Dari beberapa test di atas, membuktikan Samsung tidak sekedar omong kosong atas klaim water carbon cooling system – heat pipe dan AI pada GPU, dan sekali lagi bisa membuktikan Note 9 bisa sekaligus menjadi device flagship untuk range pengguna yang besar, dari mereka yang mementingkan produktivitas, hingga mobile gamer.
Performa Daya Tahan Baterai.
Layar bagus, performa hebat, tetapi baterai yang cepat habis membuat banyak orang berhati-hati saat men-set device agar baterainya sedikit tahan lama.
Samsung dengan baterai 4000 mAh meng-klaim bisa bertahan seharian, atau all daya battery.
All day battery ini memang sulit batasan jelasnya, karena sangat bergantung digunakan oleh siapa, dimana, operator apa, dan untuk aktivitas apa. Tetapi kira-kira ini bisa diartikan, untuk kebanyakan orang, baterai yang cukup dari pagi berangkat kerja, hingga malam hari pulang ke rumah.
Mengukur kekuatan baterai ini cukup sulit, karena walau setiap device bisa jadi memiliki ukuran baterai yang sama, tetapi daya tahannya bisa jadi berbeda cukup banyak, karena selain angka besaran daya baterai, masih ada faktor lain, seperti ukuran besar layar, resolusi, SoC yang digunakan, dan manajemen daya di belakang setiap device yang bisa berbeda.
Pengalaman pribadi menggunakan device Galaxy Note 9, menembus angka SOT 5 jam mudah didapat di Galaxy Note yang baru ini, bahkan 7 hingga 8 jam, tergantung posisi kita dan untuk apa smartphone digunakan.
Pengalaman ini memberikan kebiasaan yang berubah, dimana biasanya flagship Samsung, siang atau sore hari perlu men-charge lagi device, sekarang tidak lagi.
Untuk benchmark yang lebih bisa dibandingkan antara perangkat, kita menggunakan PCMark 2.0 Battery benchmark. Uji ini menggambarkan penggunaan device untuk pekerjaan sehari-hari yang umum dilakukan orang banyak, seperti browsing, menulis dokumen, email, edit foto dan lain sebagainya.
Benchmark ini bagusnya memberikan standar yang sama tentang kemampuan baterai pada device, dengan catatan kondisi pengetesan yang sama. Dalam hal ini kecerahan layar yang sama, 200 nits, tidak diganggu oleh perbedaan sinyal dan notifikasi, hanya workload dan menghitung kemampuan kinerja baterai.
Hasil test ini memberikan Galaxy Note 9, daya tahan baterai 11 Jam 22 Menit, hal yang tidak didapat dari flagship Samsung sebelumnya.
Sebagai perbandingan, saya sertakan hasil test yang sama dengan konfigurasi yang sama kecerahan layar 200 nits, device yang sama dengan baterai 4000 mAh dan spesifikasi flagship juga, Xiaomi Pocophone F1 dan Huawei P20 Pro.
Sebagai catatan, pada penggunaan sehari-hari, walau test benchmark baterai membuktikan daya tahan Galaxy Note 9 lebih baik, bisa saja daya tahannya tidak sehebat kedua device pembanding di atas, karena beberapa faktor.
Faktor pertama biasanya karena masing-masing device akan men-setting auto brightness yang berbeda di setiap ambient cahaya sekitar, dimana kebanyakan Galaxy Note 9 akan men-set layar lebih terang dibanding keduanya (nits lebih tinggi), menurut standar Samsung yang lebih nyaman untuk mata pengguna, apalagi saat memutar video / streaming, yang menaikkan brightness 10%.
Faktor kedua, manajemen aplikasi yang berjalan di belakang, dimana Samsung biasanya sesuai standar android google, akan membiarkan aplikasi penting untuk berjalan di belakang walau device sedang standby, sementara smartphone dari China biasanya memiliki standar yang berbeda dan lebih ketat, semakin device lebih lama standby, semakin banyak aplikasi yang berjalan di belakang ditutup, termasuk penggunaan sensor seperti GPS.
Makanya bagi mereka yang pernah mencoba smartphone brand global dengan brand China, mungkin pernah mengalami, ketika device disimpan dalam waktu standby yang lama, baterai Samsung lebih banyak penurunannya dibanding device brand China.
Bedanya setiap ada notifikasi, smartphone Samsung selalu update walau sedang dalam posisi standby, dan ketika dibuka langsung ada isi pesannya, sementara C-brand biasanya baru segera bereaksi ketika smartphone dihidupkan, dan langsung menampilkan berbagai notifikasi.
Pengalaman ini juga terjadi saat kita mendownload aplikasi yang besar, misal game dalam besaran gigabyte, walau layar mati dan standby, akan berjalan terus hingga selesai di device global, sementara di device C-brand, ketika layar tak lama otomatis mati, download ini juga di pause.
Performa Pengisian Baterai
4000 mAh adalah ukuran baterai yang besar. Ditengah pengguna yang semakin lama semakin banyak menyalakan smartphonenya dan menatap layar, diharapkan proses chargingnya juga cepat. Tanpa charging cepat, kapasitas baterai sebesar ini baru bisa penuh di atas 3 jam charging.
Samsung walaupun menjadi pionir dalam mengadopsi charging cepat, sudah bertahun-tahun ini tidak berganti teknologi charging, masih di versi quick charge 2.0. Sementara Qualcomm sendiri yang memiliki teknologi ini sudah sampai tipe quick charge 4.0 .
Sementara ini sebagian brand lain dibanding mengadopsi teknologi charging cepat dari Qualcomm, mengembangkan sendiri versi charging cepatnya, seperti VOOC dari Oppo seragam dengan Dash charger dari One Plus, dan Huawei menggunakan istilah Super Charge.
Semua menonjolkan diri dengan kecepatan chargingnya, siapa yang paling efisien dan tercepat.
Sebenarnya yang saya perhatikan, sepertinya Samsung di belakang teknologi charging ini walau nama teknologinya sama, melakukan perubahan, tanpa merubah charger bawaannya. Beberapa charger lain yang dulu kompatibel dengan Galaxy series, mulai S9 tidak lagi kompatibel, dan waktu pengisian juga terlihat semakin efektif.
Untuk membuktikan apakah teknologi charging Samsung ini masih bisa mengikuti teknologi charging yang baru, dilakukan percobaan langsung dengan bantuak battery log dan membandingkan dengan teknologi charger lain.
Pengisian dimulai dari 20% ke 100%, pemilihan ini hanya masalah kepraktisan, karena dilakukan setelah melakukan benchmark ketahanan baterai lewat PCMark Battery, yang selesai pada level baterai 20%.
Kondisi device tetap flight mode, standby, unit tidak digunakan selama proses charging, dan di charge dengan charger bawaan.
Hasilnya Samsung Galaxy Note 9 untuk mengisi 80% baterai hingga penuh membutuhkan waktu 1 Jam 34 Menit.
Untuk mengetahui apakah waktu pengisian dengan teknologi quick charge ini masih bisa bersaing dengan teknologi baru, saya bandingkan dengan kondisi yang sama dengan 2 device lain, Pocophone F1 dengan teknologi Quick Charge 3.0 dan Huawei P20 Pro dengan teknolologi Super Charge. Kebetulan kedua device lain ini juga memiliki kapasitas baterai yang sama, 4000 mAh, dan ini hasilnya:
Yang penting diperhatikan saat proses charging cepat adalah suhu baterai, dan konstannya pengisian untuk menjaga keawetan umur baterai dan keamanan.
Adaptive charging pada Galaxy Note 9 memungkinkan proses pengisian daya berubah sesuai kondisi unit. Misalnya sedang kita taruh dan standby, pengisian akan maksimum. Saat unit dinyalakan dan digunakan sambil di charge, pengisian daya akan lebih kecil untuk menghindari panas berlebih.
Semua proses charging cepat akan melakukan cooling down saat daya hampir penuh, sehingga saat device penuh, kondisinya tidak lagi panas. Pengisian saat cooling down ini akan berlangsung lebih pelan. Pada Galaxy Note 9 dan Huawei P20 Pro, cooling down ini berlangsung saat baterai mencapai 90% kapasitas, sementara Pocophone F1 sudah mulai di 85%, yang menyebabkan device ini walau memiliki teknologi lebih baru, lebih lama proses chargingnya.
RAM dan ROM
Kejutan di Galaxy Note 9 adalah ukuran RAM dan ROM yang bisa dikatakan naik tingkat. Flagship Samsung kali ini meninggalkan standar ROM 64 GB, dan memulai dengan 128 GB. Yang lebih seru, kali ini Samsung langsung melompat menyediakan juga versi ROM (Internal Storage) 512 GB.
Biasanya ROM 512 GB ini dijadikan edisi spesial pada brand lain dan dihargai jauh lebih mahal, yang kalau dirupiahkan rata-rata di atas 20 juta rupiah, sementara Samsung untuk Indonesia menetapkan harga spek Galaxy Note 9 tertinggi dengan RAM 8 GB dan ROM 512 GB “hanya” 18 juta rupiah. Satu kelebihan lagi, walau sudah memiliki internal storage sedemikian besar, Note 9 masih dilengkapi dengan slot memory card yang support hingga 2TB, cuma sekarang ini micro SD card ukuran terbesar di pasaran baru ada 512 GB. Jadi dengan tambahan memory card ini, pemilik Galaxy Note 9 bisa memiliki smartphone dengan kapasitas storage 1 TB.
Memang saat ini banyak yang mempertanyakan, untuk apa storage sebesar itu. Pengalaman saya menggunakan android smartphone dari awal, kejadian ini akan selalu berulang, apa yang dulu dibilang sudah cukup besar dan mencukupi, akan segera menjadi tuntutan standar biasa di tahun-tahun berikutnya.
Besarnya RAM dan ROM, akan menjadi percuma jika kecepatannya tidak tidak cukup cepat, karena salah satu alasan orang memilih internal storage besar karena kecepatannya bisa berkali lipat dibanding eksternal storage tercepat sekalipun. Alasan orang-orang memilih RAM besar, agar multitasking bisa berjalan dengan lancar dan cepat, karena berbagai aplikasi bisa dijalankan bersamaan dan selalu standby berada di RAM, untuk instan berjalan saat diperlukan.
Spesifikasi RAM tercepat untuk smartphone android saat ini LPDDR 4 atau 4x. Sementara internal storage tercepat berstandar UFS 2.1.
Untuk mengetahui apakah Samsung Galaxy Note 9 menggunakan standar tersebut kita bisa mengujinya dan juga membandingkannya dengan smartphone flagship lain.
RAM Speed:
ROM (Internal Storage) Speed:
Dari data benchmark yang terukur, diketahui memang Galaxy Note 9 menggunakan hardware RAM dan ROM dengan spesifikasi terbaru, sesuai dengan standar yang harusnya memang digunakan oleh smartphone flagship. Sebagai tambahan data seberapa cepatnya internal storage ini dibanding memory card, Sandisk UHS-I memiliki kecepatan baca Seq Read di 60 MB/s dan Write di 40 MB/s, yang berarti kira-kira 13 x lebih lambat untuk membaca dan 6x lebih lambat untuk ditulis.
Untuk pengalaman sehari-hari RAM 8 GB ini cukup berlebih. Dalam standar pemakaian biasanya free RAM berkisar 40-50%. Kalaupun dicoba menjalankan banyak aplikasi bahkan dalam 2 layar sekalipun, satu di Samsung DeX untuk browsing dan menjalankan beberapa aplikasi di layar besar, dan unit Galaxy Note 9 nya sendiri digunakan untuk menjalankan game PUBG resolusi tinggi, free RAM tidak pernah menyentuh 30%.
Catatan Akhir
Performa tidak bisa hanya ditebak melalui spek di atas kertas, untuk memastikannya kita perlu mengujinya. Pengujian ini juga bisa bermacam-macam , dari synthetic benchmark hingga real world benchmark.
Beberapa test di atas, membuat kita mendapat gambaran bahwa Galaxy Note 9 dibuat untuk memiliki performa device hi-end yang stabil untuk penggunaan berat yang lama, bukan sekedar device yang hanya kencang saat di benchmark.
Prosesor, RAM, ROM, Baterai, Cooling system yang digunakannya memang dibuat untuk menjadi satu kesatuan untuk saling bekerjasama dan memberikan performa terbaik, kira-kira seperti team sepakbola dunia yang masing-masing lini memang dipilih dari pemain terbaik. Sebenarnya ada satu pendukung performa lagi yang tidak sempat kita bahas, kecepatan internet yang bisa dicapainya, CAT 18 yang sudah masuk kecepatan Gbps. Walaupun operator kita belum memiliki network untuk bisa mendukung kecepatan ini, tetapi powerful modem yang dimilikinya tetap akan bermanfaat untuk mendapatkan kecepatan data yang optimal.
Memang akhirnya benchmark ini hanya angka-angka semata, user experience saat menggunakannya selalu lebih penting, dimana salah satu yang penting untuk menghadirkan user experience terbaik adalah performa yang tidak pernah kendor.
Pertanyaannya adalah, apakah yang kita cari dari sebuah smartphone flagship, apakah seperti membeli mobil hanya dengan mesin yang bisa berlari kencang, atau mobil mewah yang bisa berlari kencang sekaligus nyaman digunakan?
Sampai saat ini setiap kali menggunakan smartphone flagship dari Samsung, kita mendapatkan pengalaman flagship yang lengkap, dari build quality, performa, kualitas layar, fitur, UI, kemampuan kamera, dan lain sebagainya, yang semoga tetap dipertahankan oleh Samsung sebagai sebuah contoh bagaimana seharusnya sebuah smartphone flagship dibuat, sepadan dengan harga yang kita bayarkan.
I’ll be back, dengan review lanjutan bagian lain dari Galaxy Note 9.