Truth about Redmi Note7
Awal Kisah
Artikel ini mungkin tidak bisa dibilang review, tetapi lebih menyoroti isu, teknologi, di balik Redmi Note 7 yang kehadirannya sempat mengundang banyak reaksi yang seru, terutama pertikaian pendapat tentang kamera barunya 48MP
Sejak awal saya ingin menuliskan hal ini, sempat membantu membahasnya untuk komunitas gadtorade, tetapi setelah berbulan-bulan baru sempat teringat untuk menulisnya lebih jelas, terdorong kehadiran penerusnya Redmi Note 8 series. Anggap saja artikel ini sebagai pengantar kehadiran Redmi Note 8 series yang baru di Indonesia.
Sampai sekarang saya yakin, banyak sudah yang memiliki Redmi Note7, atau mereka yang mengikuti beritanya sejak awal, bahkan sebagian Mifans, masih memiliki pemahaman yang kurang tepat tentang kamera 48 MP nya, dimana artikel ini semoga cukup bisa memberikan insight baru, apa yang terjadi sebenarnya, fake 48 MP atau bukan.
Saat artikel ini sekarang ditulis, sudah banyak brand dan tipe smartphone yang mengusung kamera 48 MP, tetapi Redmi Note7 adalah smartphone komersial pertama yang memperkenalkannya
Perseteruan para Boss
Waktu Redmi Note7 diperkenalkan pertama kali sebagai smartphone yang mengusung kamera 48MP, kabarnya ada keributan dari Boss Xiaomi dan salah satu Senior Product Manager brand Honor. Ini menjadi bumbu seru kisah kehadiran smartphone 48 MP pertama.
Memang perebutan atau klaim siapa yang pertama mengeluarkan teknologi baru tertentu, masih menjadi gengsi dari para vendor, dan kita masih akan melihatnya di depan, dan yang akan terjadi lagi klaim antara Redmi dan Realme, siapa yang pertama menghadirkan kamera 64MP pertama.
Redmi Note7 sendiri mengusung sensor 48 MP buatan Samsung, Isocell GM1. Kehebohan terjadi karena SoC atau prosesor mobile yang digunakan adalah Snapdragon 660, dimana di dalam spesifikasinya, kamera terbesar yang bisa diusungnya adalah 25MP. Bagaimana mungkin?
Boss Honor mengambil kesempatan dari konsumen yang kebingungan dengan teknologi baru ini, menggiring kalau yang benar adalah produk Honor View 20, mengusung juga kamera 48MP tetapi menggunakan sensor kamera buatan Sony, IMX586.
Dari situ banyak orang berpikir bahwa kamera 48MP dari Redmi Note7 adalah fake, tidak asli 48MP. Ada yang mengatakan interpolasi dari 12MP, bahkan ada yang asbun dengan mengatakan tugas ISP untuk mengolah hasil gambar yang ditangkap sensor, digantikan oleh CPU yang sanggup hingga 100MP.
Boss Xiaomi dikabarkan meradang, dan mengatakan di media sosial kepada boss Honor jangan “bermain api”, atau akan dia beberkan kelemahan-kelemahan teknologi smartphone Honor.
Seru!
48MP Samsung Camera Sensor GM1, Fake?
Keyakinan bahwa sensor kamera Samsung 48MP GM1 adalah fake ditambah oleh adanya varian Redmi Note 7 Pro, yang kebetulan menggunakan SoC Snapdragon 675 yang lebih baru, dan menggunakan sensor kamera Sony IMX586 yang 48 MP juga.
Karena ISP SD675 memang di desain untuk 48 MP, jadi kemudian orang2 bilang, ini yg real yg sensor Sony 48 MP.
Padahal sebenarnya kalau sensor Samsung Isocell GM1 dipakai di Snapdragon 675 juga, hasilnya akan mirip2 saja raw datanya, karena kedua sensor ini sebenarnya spesifikasinya sama.
Karena sensor MP besar ini baru berulang lagi setelah legenda Nokia pureview, dan sebagian dari kita baru mulai mengerti besaran MP tidak menjamin hasil foto lebih baik, kita mengira masih bicara teknologi kamera MP besar dan tujuan yang sama dengan jaman Nokia pureview.
Setelah Redmi Note7 dicoba kamera 48 MP-nya, apalagi dipakai foto makanan jarak dekat, pemandangan, hasilnya malah lebih gelap dibanding saat menggunakan kamera standar 12MP-nya, lengkaplah sudah cap gimmick ini disematkan kepada sensor MP besar jaman sekarang. Padahal sekarang kita akan ke 64MP kamera sensor, bahkan 108MP.
Saya simpan penjelasan kenapa kita ke sensor MP besar kembali ini untuk nanti ya, kalau engga tulisan ini nanti bisa jadi skripsi.
Kita bahas hal pendek saja disini yang jd awalan pembahasan, apakah sensor 48 MP Samsung ISOCELL GM1 itu bukan asli 48 MP, dan yang asli hanya SONY IMX586 ?
Sebenarnya untuk mengerti lebih jauh bisa menangkapnya dengan benar, kita perlu mengerti bagaimana cara kamera smartphone ini bekerja, dari lensa sampai ke sensor, diolah ISP dan DSP, post processing, menjadi gambar yang kita bisa nilai bagus atau tidak bagus..
Tapi nanti saya bikinkan saja artikel lebih runutnya atau malah buatkan youtubenya, biar lebih gampang dimengerti.
Kita balik ke pertanyaan di atas ya. Saya attach spesifikasi kedua kamera sensor ISOCELL GM1 dan SONY IMX586, diambil dari website resmi keduanya, dan saya tambahkan kotak berwarna sebagai bagian penting yang sama yang bisa diperhatikan.
Yang patut disadari di sini adalah terminologi atau istilah yang sebenarnya sama, tetapi punya beberapa bahasa marketing:
Terminologi umum : Pixel Binning
Terminologi Samsung : TetraCell
Terminologi Sony : Quad Bayer
Ketiganya adalah bicara hal yang sama, dan teknologi yang sama, menggabungkan beberapa pixel kecil terdekat, menjadi satu pixel besar, kalau istilah tetra dan quad, biasanya 4 pixel (2×2) kecil jadi satu pixel besar.
Lihat di gambar keterangan sensor yang saya sertakan, MP keduanya 48 MP, ukuran sensornya sama persis diagonal 8mm, besar pixel nya sama persis 0.8 micron, dan keduanya pakai teknologi yang sama, Pixel Binning, hanya Samsung bilang teknologinya sebagai tetracell, sony bilang sebagai quad bayer.
Jadi aslinya sensor ini memang 48 MP tidak tipu-tipu, jumlah pixel keduanya memang segitu banyak, 48 juta pixel, dengan setiap pixel ukurannya 0.8 micron.
Saya gambarkan juga bahwa besar sensor 48MP ini lebih besar daripada sensor 12MP 1.4 micron yang dipakai flagship seperti Samsung dan Google Pixel, diagonal 8mm vs diagonal 7,06mm.
Kalau Samsung ISOCELL GM1 hanya tipu-tipu aslinya 12MP, maka besar sensornya yang setiap pixel hanya 0.8 micron, akan hanya jadi sebesar 1/4 sensor yang tertulis, atau diagonal 4mm saja, tidak akan sama besarnya dengan sensor SONY IMX586. Masa vendor bisa dibohongi atau mau sepakat dengan cara-cara seperti itu?
Sensor yang sama ISOCELL GM1, dipakai oleh Oppo F11 pro dan Vivo V15 Pro, di kedua smartphone ini tidak banyak keluhan soal sensornya, seperti di Redmi Note 7, kenapa?
Karena sensor hanya satu bagian dari proses hasil foto kamera, masih banyak lagi faktor lain, seperti lensa, ISP, DSP, dan sekarang ditambah AI plus algoritma post processing (software).
Setelah beberapa saat waktu berlalu, kemudian Qualcomm memperbaharui informasi spesifikasi Snapdragon 660 dengan keterangan bisa maksimal mengambil 1 snapshot 48MP. Sebenarnya dengan keterangan ini, sudah menjawab bahwa walau “mentok” ,SoC SD660 memang bisa mengambil foto 48MP.
Kurang cemerlangnya foto 48 MP Redmi Note 7, karena ISP Snapdragon 660 untuk 48 MP hanya bisa 1 “snapshot”, tidak bisa MFNR ZSL (Multi Frame Noise Reduction, Zero Shutter Lag), makanya mode 48 MP ini adanya di mode pro.
Multi Frame Noise Reduction itu, dalam satu kali klik shutter button, walau kita hanya melihat hasil 1 buah foto, sebenarnya kamera mengambil beberapa foto dan kemudian menggabungkannya menjadi satu buah foto yang lebih jelas, lebih tajam, lebih kontras, lebih tidak noise. Karena ISP Snapdragon 660 “tidak mampu” atau tidak didesain untuk menangkap beberapa foto 48MP sekaligus, maka proses ini tidak bisa dilakukan, sehingga foto 48MP nya hanya hasil dari 1 foto saja. Jadi ini bukan kesalahan sensor 48 MP yang digunakan sebenarnya.
Saat dia Tetra Cell atau Pixel Binning, 48MP sensor ini dengan teknologi tetracell, bergabung setiap 4 pixel kecilnya menjadi 12 MP. Dengan besaran 12MP, maka bisa menggunakan MNFR ZSL, setiap rana ditekan, sebenarnya diambil beberapa gambar sekaligus 12 MP, digabungkan oleh ISP untuk mendapat noise yang terjaga, distorsi lensa dibetulkan, gamma correction, hingga dynamic range yang lebih baik.
Coba saja lihat Huawei P20/P30 Pro yang kameranya bagus itu, saat dipakai foto 40MP, apakah hasilnya sebagus 10 MP nya? Teknologinya sama loh, pixel binning. Hasil akhir 10 MP nya optimal, tetapi tidak dengan 40 MP nya.
Jadi apakah Sensor Sony IMX586 juga output standarnya 12 MP karena quad bayer? jawabnya iya, karena teknologinya sama-sama saja dengan ISOCELL GM1.
Jadi diantara keduanya tidak ada yg palsu 48 MP nya, hanya karena penggunaan color filter array quad bayer atau tetra cell, maka 48 MP ini di merge jadi 12 MP.
Kedua sensor juga bisa menghasilkan foto 48MP dan bukan interpolasi? Bisa, karena asli pixelnya memang 48MP, 12MP itu hasil merge pixel atau pixel binning.
Istilah gampangnya ada 48 murid dalam satu kelas, diberi tugas kelompok dengan masing2 kelompok terdiri dari 4 orang, maka nanti hasil tugasnya akan ada 12 buah laporan.
Jadi kalau satu laporan itu nilainya A, ini hasil brilian dari pekerjaan 4 orang murid.
Jumlah muridnya ya tetap 48 orang, dan masing-masing murid memiliki data sendiri-sendiri, sehingga kalau diperlukan dari 12 laporan yang @4 orang murid tersebut, bisa saja diminta menjadi 48 laporan, yang diekstrak dari setiap murid.
Mastering Snapdragon 660
Entah berapa banyak tipe smartphone Xiaomi yang menggunakan chipset Snapdragon 660. Sampai saya kadang mengira ada deal khusus antara Xiaomi dengan Qualcomm 😅.
Dengan pengalaman menggunakan SoC Snapdragon 660, saya bisa katakan bahwa Xiaomi adalah brand yang paling mastering atau menguasai tuning SoC ini.
Walau di atas kertas banyak brand yang menggunakan SoC yang sama, tetapi hasil berbagai benchmark, memperlihatkan skor yang diraih smartphone Xiaomi senantiasa lebih tinggi.
Di setiap keluaran device Xiaomi terbaru yang menggunakan Snapdragon 660, ada saja peningkatan skor walau kecil, dan puncaknya memang ada di Redmi Note7 ini. Xiaomi all out dengan tuning Snapdragon 660, dan men-set clock speed CPU nya mentok di 2.2 GHz.
Bisa dikatakan SoC Snapdragon 660 adalah SoC mid-range terbaik 2 tahun lalu, performanya bagus hanya dari sisi efisiensi daya belum sebaik SoC Snapdragon seri 6 yang baru, yg sudah dibuat dengan fabrikasi yang lebih kecil dan efisien. Snapdragon 660 misalnya masih menggunakan fabrikasi 14nm, sementara Snapragon yang lebih baru dengan fabrikasi 10nm atau 11 nm, dan konfigurasi arstitektur SoC nya masih lumayan menggunakan banyak daya.
Karena itu di Redmi Note7, Xiaomi melakukan beberapa setting di sisi kecerahan layar agar tetap terjaga konsumsi dayanya.
Kecerahan layar standar Redmi Note7 di set standar cenderung lebih dim, dan ini bukan masalah besar sebenarnya, karena tinggal drop down menu dan set bar kecerahan, lama-lama standsrnya juga mengikuti.
Kamera juga saat digunakan akan memakan banyak daya, biasanya kebanyakan smartphone mencerahkan layar saat menjalankan kamera, agar pengguna tahu kira2 akan seperti apa hasil fotonya. Tetapi Redmi Note7 ini tidak.
Layar Redmi Note7 akan tetap dim sesuai settingan ambien walau akan mengambil foto di tempat temaram, sehingga terkadang kita mengira hasil fotonya akan gelap, padahal tidak.
kedua cara tersebut sepertinya ditempuh Xiaomi untuk tetap bisa menjaga daya tahan baterai yang tetap baik, agar dengan Snapdragon 660 walau bertenaga tetapi tidak terlalu boros.
Hasil Kamera
Smartphone mid-range sekarang sudah seperti smartphone flagship, bertarung di sisi kamera. Banyak fitur-fitur kamera yang dulunya hanya privilege milik smartphone flagship, sekarang diturunkan juga ke smartphone mid-range, seperti fitur foto malam hari atau night shot, bokeh yang lebih baik, dan lain sebagainya.
Ini disebabkan juga karena mid-range SoC juga semakin baik kemampuan ISP (Image Signal Processor) nya, untuk mengolah data foto yang ditangkap, dan sekarang juga dibantu fitur AI atau artificial intelligence. Bahkan SoC Snapdragon 660 yang dulu hanya itu saja namanya, sekarang diberi tambahan Snapdragon AIE (Artificial Intelligence Engine)
Secara umum, untuk smartphone seharga 2 jutaan, hasil kamera Redmi Note7 bisa dikatakan bagus. Sudah meningkat jauh dibanding beberapa seri terjangkau sebelumnya.
Lebih banyak contoh hasil foto aslinya bisa dilihat disini, tanpa edit dan kompresi:
Walaupun secara harga jual, dan kemampuan kameranya tidak perlu ada yang diprotes, ada beberapa hal dari hasil kamera ini yang bisa kita soroti untuk belajar lebih banyak, hubungan antara kemampuan SoC, parts, dan software kamera.
Pseudo Night Mode
Setelah mode foto malam ini dikenal, terutama karena kemampuan smartphone dari Google Pixel, sekarang ini smartphone mid-range juga kebanyakan memiliki fitur ini, tidak terkecuali Redmi Note 7.
Sebenarnya teknologi night mode ini seperti kita menggunakan mode kamera pro, dengan bukaan rana atau shutter yang lebih lama untuk menangkap lebih banyak cahaya. Tetapi biasanya membuka lebih lama rana, kemungkinan foto akan menjadi blur atau goyang kalau tidak menggunakan tripod, dan disinilah AI bekerja mengantisipasi setiap pergerakan tangan dengan sensor yang ada, kemudian memilah-milah serangkaian foto yang diambil, digabungkan, dan menjadi foto night mode yang lebih terang.
Biasanya foto dengan fitur night mode akan memiliki metadata shutter speed yang lebih lama dan ISO yang lebih kecil untuk membuat foto malam hari yang tidak grainy atau noise.
Tetapi Redmi Note 7 berbeda.
Sepertinya kemampuan ISP dan AI di Snapdragon 660 untuk mengolah data night mode, memang belum dirancang untuk optimal. Jadinya selama dibandingkan antara foto standar dan night mode pada objek foto malam hari atau temaram, tidak banyak ditemukan pada night mode bukaan atau shutter speed yang lebih lama. Kebanyakan metadata-nya sama, walaupun hasil foto malam harinya sedikit lebih terang.
Paling berbeda pada beberapa situasi, pada night mode, tingkat foto lebih terang didapat dari ISO yang meningkat. Saat sesekali shutter speed benar bekerja lebih lama, didapat perbedaan yang lebih kentara antara foto standar dan mode malam hari.
Dengan data ini saya berpikir, kemungkinan mode foto malam hari di Redmi Note 7 ini walau saat ditekan shutter tetap harus menunggu lebih lama seperti mode malam hari pada smartphone lainnya, sebenarnya lebih banyak hanya olah software yang membuat foto standar menjadi lebih terang yang bekerja, bukan seperti teknologi night mode yang biasa.
Dibanding dengan foto malam hari smartphone flagship yang bisa memiliki bukaan hingga ¼ detik, memang pada smartphone mid-range belum bisa shutter speednya selama itu, biasanya paling 1/15, dan belum terlalu tajam, juga masih memiliki noise yang lumayan.
Untuk hasil video sendiri, Redmi Note 7 ini, cukup baik jika tidak banyak bergerak. Ini wajar, kadang sebagian smartphone flagship saja lebih banyak memperhatikan hasil gambar diam atau foto dibanding dengan video. Suatu saat smartphone mid-range juga akan lebih seimbang hasil kamera foto dan video nya.
Sedikit kekurangan di perekaman video Redmi Note 7 ini belum ditunjang dengan kemampuan Mic yang bagus, jika ingin merekam live music. Walaupun belum hingar bingar seperti konser rock atau seribut di diskotik, terasa mic pada Redmi Note 7 ini tidak bisa menangkap frekuensi tinggi dan rendah sekaligus. Hasilnya suara rekamannya terasa “rebek” atau pecah.
Contohnya di video ini: https://flic.kr/p/2hvkmTn
Untuk bisa menjadi andalan para Youtuber pemula, sepertinya Xiaomi harus mengganti part mic nya. Memang untuk smartphone yang affordable atau terjangkau, terkadang harus ada trade-off, mana bagian yang dibuat bagus, dan mana bagian yang harus tetap menggunakan komponen murah agar harga tetap terkontrol.
Belum lagi berganti part mic belum tentu hanya berkenaan dengan part mic nya saja, bisa juga menyangkut paten, seperti mic yang bisa menjangkau frekuensi tinggi dan rendah sekaligus dulu pernah menjadi paten teknologi Nokia, dan vendor lain penggunanya bisa jadi harus membayar izin penggunaan kepada pemilik paten.
Selain persaingan dengan brand lain, Xiaomi juga sebenarnya tarik ulur dengan para Mifans, terutama karena price point yang sensitif. Diberi harga murah dan minta timbal balik dengan iklan untuk mendapat margin lebih, para fansnya tidak terima, tetapi minta harga sedikit naik, fans merujuk pada harga India atau China, tetapi selalu mendorong seolah-olah device affordable ini sanggup menyaingi device flagship. Semoga para penggemar Xiaomi memberi sedikit ruang agar brand ini bisa memberikan teknologi yang tidak banyak trade-off. Peace✌😁.
Perkembangan Digital Copyright
Sekitar tahun lalu atau sedikit sebelumnya, kebanyakan smartphone brand Tiongkok tidak dilengkapi sertifikasi digital copyright yang bagus, sehingga walaupun smartphonenya menggunakan layar resolusi tinggi, tata suara Dolby Atmos, tidak bisa streaming film dari layanan seperti Netflix, HBO, Google Movie, dll dengan resolusi tinggi, semuanya dibawah resolusi HD. Ini bukan hanya menimpa brand Xiaomi, tapi juga Huawei, Vivo, Oppo, dll.
Tetapi sepertinya tahun ini sebagian besar smartphone brand Tiongkok sudah mendapatkan lisensi Widevine L1, bukan lagi L3, sehingga bisa streaming dengan resolusi yang proper. Termasuk Redmi Note 7 ini.
Saat saya terpotong menulis artikel ini, Alvin Tse yang menjadi Country Director Xiaomi Indonesia mengatakan dalam peluncuran Redmi Note 8 series, bahwa Redmi Note 8 menjadi smartphone Redmi pertama yang memiliki sertifikasi widevine L1. Tetapi sebenarnya Redmi Note 7 sudah memilikinya, dan ini langkah bagus agar pengguna bisa menikmati hiburan yang lebih baik tampilannya dari layanan streaming resmi seperti smartphone global lainnya.
Penutup
Redmi Note 7 sekarang sudah hadir penerusnya Redmi Note 8 series. Tapi saya berharap tulisan di atas bisa menambah insight untuk mereka yang telaten membacanya.
Saya teringat saat peluncuran perdana Redmi Note 7 akan digelar, salah satu petinggi Xiaomi bertanya pada saya, apakah Redmi Note 7 ini akan berhasil?
Saya mengatakan, melihat spek di atas kertas dan harganya, tidak usah banyak pusing, tanpa harus iklan-pun produk ini akan booming. Dan kemudian banyak yang menyebutnya sebagai barang ghoib karena susah ditemukan.
Tetapi melihat presentasi Alvin Tse pada peluncuran Redmi Note 8 series, diperlihatkan bahwa Redmi Note 7 diklaim sebagai smartphone paling laris di Indonesia. Dari sini bisa disimpulkan memang barang menjadi langka karena banyak diperebutkan, dan pastinya stok nya cukup banyak untuk bisa menjadi smartphone paling laris di Indonesia.
Sepak terjang Xiaomi tahun ini berbeda dengan tahun lalu yang me-release begitu banyak tipe smartphone, tahun ini Redmi Note 7 series berjalan lama tanpa ada pengganti. Bisa bertahan sedemikian lama dan tetap diminati, dan menjadikannya di posisi ke-4 market share Indonesia adalah sebuah prestasi tersendiri.
Siap-siap, penerusnya si angka 8, bisa jadi akan meneruskan estafet smartphone yang banyak dicari, dan mungkin juga estafet ke-ghoib-an nya 😀
Peace!