Redmi Note8 Pro
“Produk Terbaik, Harga Sebenarnya”, begitu sekarang tag yang dikumandangkan sekarang setiap launching Xiaomi dimulai.
China atau Tiongkok, sekarang memang menjadi pemain utama dalam produksi dan perakitan smartphone, sehingga bisa menghasilkan smartphone yang secara spesifikasi harusnya dijual lebih mahal, tetapi dengan berbagai cara, seperti efisiensi dan profit yang lebih tipis, bisa membawa harga smartphone jauh lebih terjangkau atau murah, dan Xiaomi adalah salah satu pencetus ide ini.
Dibandingkan membawa teknologi baru yang rumit dan mahal, membuat smartphone dengan harga lebih murah sepertinya lebih mudah, karena sekarang banyak brand juga sanggup menghadirkan smartphone sekelas dengan pertarungan harga yang kompetitif. Tetapi ternyata membuat smartphone murah yang kompetitif itu ada “seni”-nya
Sebagai orang awam, mungkin kita berpikir, ketika banyak brand juga bisa menghadirkan harga murah, pertarungan ini mungkin berhenti. Ternyata tidak.
Xiaomi mengatakan, boss mereka, Lei Jun, malah mem-push untuk memutar otak supaya bisa membuat smartphone dengan spesifikasi bagus dan harga semakin kompetitif.
Inilah yang menjadi dasar dari Redmi Note8 Pro.
Bagaimana bisa? Padahal keduanya selalu bersaing dengan diferensiasi harga yang ketat.
Jawabannya karena pemilihan spesifikasi.
Pertama untuk Mi Fans di Indonesia dan India, sebenarnya mungkin memilih prosesor atau SoC dari Qualcomm Snapdragon. Tetapi Xiaomi memilih menggunakan Mediatek.
Sepertinya dari sisi harga, Mediatek ini lebih murah dibanding Qualcomm yang sama dengan kinerja atau spek yang setingkat.
Belum lagi, kabarnya di proyek SoC upper mid-range Mediatek yang dirancang untuk gaming ini, Xiaomi turut bekerjasama dalam pengembangannya.
Kedua, pilihan layar tetap LCD, bukan OLED yang sekarang mulai lebih diminati.
Kedua kompenen hardware tersebut, layar dan SoC, adalah komponen paling mahal pada smartphone, jadi pilihan logis untuk cermat memilihnya untuk menjaga harga jual.
Pilihan ini tentu saja melahirkan konsekuensi, yang akan kita bahas lebih detail.
Performa Mediatek di Redmi Note8 Pro
Pertama kita bahas soal chipset Mediateknya, chipset yang sering dilihat sebelah mata oleh Mi Fans.
Di satu sisi baik, tentu saja menggunakan Mediatek didapat kinerja upper mid-range smartphone yang bersaing, dan harga bisa ditekan lebih murah.
Membandingkan chipset antara Mediatek G90T yang digunakan Redmi Note8 Pro dengan Snapdragon 712 di Realme XT sendiri sebenarnya bukan lawan dalam 1 tingkatan arsitektur.
Mediatek G90T menggunakan arsitektur Arm yang lebih baru A76, sementara Snapdragon 712 masih berdasarkan arsitektur Arm tahun lalu, A75.
Kalau ingin lebih seimbang dalam kinerja, Snapdragon 730G lebih pantas disandingkan dengan Mediatek G90T karena arsitekturnya sama.
Jadi kebayangkan, dengan Snapdragon 712 saja harga Realme XT sudah di atas Redmi Note 8 Pro, apalagi dengan Snapdragon 730G.
Dalam presentasinya Xiaomi memperlihatkan dalam benchmark Mediatek G90T ini bahkan lebih unggul dalam jumlah skor dibanding Snapdragon 730G, dan Xiaomi memang tidak mengada-ada dalam hal ini.
Walaupun kerja SoC bukan hanya ditinjau dari satu sisi saja kecepatan, kinerja G90T memang tangguh, cocok disebut upper mid-range SoC, dan cocok untuk gaming.
Kenapa sih Mi Fans agak alergi dengan Mediatek? Padahal Xiaomi pertama yang masuk resmi Indonesia menggunakan Mediatek.
Memang saat awal-awal mediatek hadir, ada beberapa persoalan yang menonjol, seperti panas, boros, dan GPS nya tidak cepat.
Menurut pendapat yang lebih baru, SoC Mediatek lebih sulit diutak-atik misalnya supaya bisa menggunakan aplikasi kamera dari Google atau G-Cam.
Kemudian Xiaomi dengan SoC mediatek dianggap lebih lama untuk mendapat upgrade OS nya.
Xiaomi dan beberapa brand lalin yang menggunakan Mediatek sendiri sering seperti menganaktirikannya dalam spesifikasi, misalnya kalau menggunakan SoC Snapdragon akan menuliskannya SoC: Snapdragon xxx, sedangkan kalau SoC nya Mediatek tidak disebut nama, hanya dikatakan Octacore Chip.
Kebiasaan ini sepertinya turut andil membuat pengguna merasa chip Mediatek sebagai chip kalah kelas.
Sebenarnya Mediatek sendiri sudah berbenah, cuma memang terkadang dosa lama diingat terus.
Pertama penerimaan GPS sudah lama bukan jadi masalah lagi untuk Mediatek.
Kedua soal update OS, Xiaomi sudah menjadwalkan kalau Redmi Note8 Pro ini untuk naik ke OS 10 android, dan saat ini untuk MIUI nya sendiri sudah update ke MIUI 11 dari MIUI 10.
Masalah panas sebenarnya kita harus punya ukuran dan batasan. Mediatek sebelum G90T ini cenderung tidak panas, karena digunakan untuk mid-range.
Sementara Mediatek G90T ini masuk upper mid-range, setingkat di bawah chipset flagship. Chipset flagship dan yang mendekati flagship wajar panas, karena kinerjanya tinggi, tetapi seberapa panas dan apakah panas ini memberikan efek ketidaknyamanan dan throttling, atau penurunan kinerja yang besar, ini yang menentukan.bagus atau tidaknya.
Ada dua komponen yang suhunya berubah-ubah dalam smartphone, chipset dan baterai. Baterai lebih mudah terukur dan cenderung lebih stabil panasnya dibanding suhu chipset yang terdiri dari banyak inti. Tergantung beban, saat beberapa inti bekerja, maka suhu chipset akan segera naik dengan cepat, kemudian turun lagi.
Ketika prosesor terlalu panas, otomatis prosesor akan menurunkan kinerjanya untuk mengurangi panas, jika tiak maka prosesor akan overheating dan berhenti bekerja.
Redmi Note8 Pro sebagai device mid-range, sebenarnya keren , karena sepertinya tidak ada smartphone 3 jutaan yang punya thermal cooling berupa pipa tembaga dengan pendingin liquid di dalamnya. Fitur ini biasanya hanya digunakan flagship device.
Dugaan saya keberadaan liquid cooling ini selain menjadi nilai tambah untuk prosesor yang memang didesain untuk gaming, juga untuk mempertahankan kinerja dari Mediatek G90T agar bisa dipacu tetap dalam clock tinggi dalam waktu yang lama.
Selain bekerja untuk mendinginkan prosesor, liquid thermo cooling ini juga digunakan untuk mendinginkan IC charging.
Sebagai ujicoba, sebenarnya selain bermain game dalam waktu yang lama, kita bisa melakukan high-level benchmark dengan GFXbench.
Benchmark ini menyita sekali kinerja GPU dan mendorong prosesor bekerja selama mungkin dalam clock tinggi, mensimulasikan kita bermain game berat, terutama saat level Aztec Ruins.
Hasilnya adalah angka FPS atau frame per second setiap level.
Test yang panjang ini dilakukan 2x test high-level berulang untuk mengukur suhu dari prosesor yang teraba jari, sekaligus melihat hasil kinerja prosesor yang biasanya akan menurun pada test kedua.
Test ini saya bilang bagus, karena flagship prosesor seperti Kirin 970 tidak berhasil menyelesaikannya dan over heating.
Jadi kita bisa melihat apakah Mediatek G90T ini sebenarnya mumpuni, dan apakah cap panas yang disematkannya membuat prosesor ini akan overheating.
Sebagai pembanding, untuk mendapat gambaran utuh, dalam waktu bersamaan sekaligus saya test prosesor Snapdragon 730G dari Galaxy A80, dengan test yang sama.
Hasilnya Redmi Note8 Pro bisa menyelesaikan 2x high-level test ini tanpa overheating dan berhenti bekerja. Suhu di area prosesor saat test pertama menunjukkan kenaikkan panas yang lumayan, tetapi tetap terjaga di bawah 40 derajat, di sekitar 39 derajat.
Suhu dengan angka ini sebenarnya tidak membuat jari atau tangan tidak nyaman ketika memegang smartphone, hangatnya memang terasa, tetapi tidak membuat kita tidak nyaman. Apalagi jika kita menggunakan casing.
Dalam waktu yang tidak lama, suhu terpanas ini juga turun sekitar 1-2 derajat menandakan cooling system sangat membantu.
Dalam presentasinya Xiaomi mengatakan cooling system ini membatu suhu prosesor lebih dingin 4 sampai 6 derajat.
Dibanding Prosesor Snapdragon 730G, memang didapat angka kenaikan panas yang lebih rendah, hanya 34 derajat, berarti 5 derajat di bawah Mediatek G90T.
Pada test kedua, ternyata SoC Mediatek G90T tidak meningkat suhunya saat diukur dengan infrared thermometer, tetap seperti test pertama.
Dan skor FPS yang dihasilkan hampir tidak berubah, paling ada perbedaan hanya 1 fps di test awal dan akhir offscreen, yang bisa dikatakan prosesor ini stabil dan ok digunakan untuk bermain game lama.
Mengingat Snapdragon 730G di Galaxy A80 tidak menggunakan thermo cooling, pada test kedua, suhunya naik ke 37 derajat.
Dari data ini bisa disimpulkan dibanding prosesor Snapdragon 730G yang satu kelas, Mediatek G90T memang lebih panas 2 derajat di hasil akhir.
Kalau melihat lebih jauh di grafik GFXbench , dari sisi temperatur memang Mediatek belum sebagus Snapdragon yang bisa menjaga temperaturnya tetap, sementara Mediatek ketika dipakai semakin lama tetap naik turun.
Tetapi ini tidak berarti Mediatek overheating atau kelewat panas sehingga tidak nyaman digunakan, perbedaan 2 derajat dari Snapdragon bisa dikatakan sangat baik.
Nah kesimpulannya dari test ini bisa juga dibaca, kehadiran liquid thermo cooling di Redmi Note8 Pro adalah langkah yang bijak untuk meredam panas dari prosesor Mediatek G90T, kalau tidak ada bantuan hardware ini, mungkin saja prosesor Mediatek akan kelewat panas.
Kalau gamer yang suka sekali dengan hitungan FPS bertanya, jadi bagus mana antara Mediatek G90T dengan Snapdragon 730G?
Secara keseluruhan sebenarnya Mediatek yang bisa menjadi otak dari smartphone seharga 3 jutaan ini impresif, kinerjanya mendekati Snapdragon di kelasnya walau dengan beberapa kekurangan yang boleh saja diabaikan.
Dari beberapa test FPS di GFXbench ini saat diambil best result, hasilnya FPS yang dihasilkan oleh Snapdragon 730G sedikit lebih tinggi
Buat yang penasaran test FPS real saat bermain game, kita coba benchmark Game Bench, yang bisa mengukur banyaknya Frame per Second yang dirender selama bermain game.
Kita gunakan game Asphalt 9, yang hanya ada 2 versi setting grafis, default dan high. Setting disini digunakan default.
Asphalt 9 ini rendernya menurut saya lebih berat dibanding game seperti PUBG, jadi cocok digunakan untuk test Game Bench.
Sebagai acuan, hasil test game FPS yang baik itu bukan seberapa tinggi FPS bisa dijangkau benchmark, melainkan hasil median, dimana prosesor bisa mempertahankan FPS rata-rata selama bermain game dengan konsisten. Semakin tinggi dan stabil hasil mediannya semakin baik pengalaman bermain gamenya.
Saat digunakan bermain game Asphalt 9 ini, tanpa casing tambahan, terasa di bagian belakang pojok kiri atas device memang cepat menghangat, tetapi bagian paling hangat hanya di titik bagian atas prosesor. Bagian terpanas ini saat diukur infrared thermometer bisa mencapai 47 derajat, tetapi tidak naik lagi.
Hasil dari benchmark GameBench, median yang didapat 30 fps dengan stability 83%. Hasil yang sangat baik dan membuktikan panas yang dihasilkan masih bisa ditoleransi untuk menjaga performa game yang bagus dalam waktu yang lama. Saya kira ini juga hasil dari fitur game turbo yang otomatis berjalan saat game dijalankan
Kiranya sedikit benchmark tersebut bisa memberikan gambaran bagaimana performa SoC Mediatek G90T. Untuk hasil benchmark yang lebih lengkap bisa saya sertakan di sini:
Sekarang kita beralih ke komponen kedua yang dipilih oleh Xiaomi untuk Redmi Note8 Pro, yaitu layar.
Layar LCD tentu saja lebih murah dibanding AMOLED, tetapi mungkin tidak lama lagi layar AMOLED yang semakin banyak digunakan dan semakin banyak pabriknya, akan lebih terjangkau dan menggantikan LCD.
Efek penggunaan layar LCD ini terhadap desain adalah ketebalan yang tidak bisa setipis device dengan AMOLED. Sebenarnya tebal Redmi Note8 Pro masih ok, 8.8 mm, dan jika dihitung dengan tonjolan kamera menjadi kira-kira 1 cm.
Kemudian tanpa layar AMOLED, berarti fingerprint sementara ini tidak bisa menggunakan in-display fingerprint, sehingga Redmi Note8 Pro menempatkan fingerprint standar di belakang di bawah kamera.
Layar LCD Redmi Note8 Pro memiliki kecerahan 500 nits, tidak terlalu terang untuk device jaman sekarang, tetapi sudah bisa dikatakan cukup untuk banyak situasi umum.
Kecerahan yang tidak terlalu tinggi ini bisa jadi juga untuk mengimbangi efisiensi baterai, karena layar LCD memang lebih boros karena menggunakan backlight, juga tidak terlalu menghasilkan panas.
Untuk cakupan warna masih menggunakan color space NTSC 84%, semoga Xiaomi segera beralih ke color space yang lebih diakui global seperti sRGB atau DCI-P3.
Efek ketebalan ini selain karena menggunakan layar LCD, juga karena Redmi Note 8 mengusung baterai yang besar, 4500 mAh.
Secara angka kapasitas kita akan berpikir bahwa Redmi Note8 Pro ini akan bisa digunakan lama.
Tetapi sama seperti mobil dengan cc besar, dibutuhkan juga kapasitas tangki bahan bakar yang besar untuk berjalan lebih jauh, demikian juga kompensasi dari Redmi Note8 yang menggunakan Mediatek G90T dan layar LCD.
Benchmark ketahanan baterai terukur dengan kalibrasi layar 200 nits PCMark 2.0, Redmi Note8 Pro dengan baterai 4500 mAh mendapat skor 7 Jam 8 Menit.
Sebagai pembanding Galaxy A80 dengan baterai yang lebih kecil, 3700 mAh dan SoC Snapdragon 730G mendapat skor sedikit lebih lama 7 jam 32 menit.
Untuk digunakan seharian, Redmi Note8 Pro sangat cukup, bahkan lebih, karena manajemen baterai dari Xiaomi yang ketat, terutama mendeteksi device sedang tidak digunakan untuk waktu yang cukup lama dan membatasi aplikasi di background.
Jika digunakan bermain game berat, memang data dari gamebench memperlihatkan penggunaan daya yang 33% lebih besar di Redmi Note8 Pro dibanding Redmi Note 8 standar. Ini karena Mediatek G90T memang di push untuk bekerja lebih maksimal.
Jadi dari test ini kita bisa mendapat kesimpulan, memang secara efisiensi daya, Mediatek G90T yang dibuat dengan fabrikasi 12nm , cenderung lebih boros baterai dibanding kelas Snapdragon.
Untuk itu langkah Xiaomi membenamkan baterai besar 4500 mAh memang benar, untuk mengimbangi sedikit borosnya prosesor Mediatek G90T sekaligus juga penggunaan layar LCD, dan men-set layar untuk tidak over terangnya.
Baterai kapasitas besar tentu butuh charger yang cepat juga, kalau tidak pasti lambat dan mengesalkan saat dibutuhkan.
Redmi Note8 Pro ini sudah dibekali charger cepat 18watt. Dengan menggunakan chipset Mediatek, tentu mendukung Pump Express, teknologi charging cepat kepunyaan Mediatek.
Tetapi serunya, kalau device ini dibongkar, akan didapati chipset charging cepat dari Qualcomm yang support Quick Charge 3.
Untuk waktu charging sendiri, dari 17% hingga 100% membutuhkan waktu 1 jam 48 menit, jadi jika dari 0% kira2 charging cepat ini mebutuhkan waktu 2 jam untuk mengisi 100% baterai 4500 mAh nya menggunakan charger 18 watt bawaannya.
Kamera
Setelah performa, Redmi Note8 Pro tentu saja mengunggulkan Quad 64 MP kameranya.
Memang sekarang pertempuran smartphone ini titik berat tertingginya adalah kamera, dan mid-range phone semua berlomba-lomba menghadirkan kualitas kamera hi-end pada device mid-end.
Selain kamera utama 64 MP, Redmi Note8 Pro dilengkapi juga kamera ultra-wide sudut lebar 120 derajat 8MP, 2MP lensa depth fokus untuk foto bokeh, dan 2MP lensa makro dengan jarak ke objek sedekat 2cm.
Mengenai alasan kenapa sih para vendor smartphone sekarang bergerak lagi ke kamera megapixel besar, akan saya bahas tersendiri nanti, sementara ini yang difokuskan Xiaomi untuk menarik perhatian kamera dengan MP besar, dengan membuat cetakan poster besar 3.26m x 2.44m.
Sekarang kita coba lihat performa kamera dari Redmi Note8 Pro.
Untuk kamera 64 MP Redmi Note8 Pro menggunakan sensor buatan Samsung ISOCELL GW1 atau lengkapnya S5KGW1. Ukuran pixel sensor ini 0.8 micron, dan memiliki teknologi tetracell, mengumpulkan 4 pixel kecil menjadi 1 pixel besar saat foto lowlight, menjadi 16MP
Mediatek G90T sendiri memiliki 3 ISP atau Image Signal Processor, chip yang menerima data dari sensor kamera dan mengolahnya.
3 ISP ini berarti setiap ISP bisa menerima dan mengelola data dari 1 lensa. Tidak ada informasi apakah ketiga ISP ini bisa bekerja simultan bersamaan, jika bisa maka dengan software yang tepat, bisa didapat gambar dengan perpaduan informasi dari 3 lensa sekaligus, seperti deep fusion yang dibuat iPhone terbaru.
Tapi seperti yang ditulis pada spesifikasinya, ISP ini mendukung 1 single camera 64MP, atau 2 kamera 24MP plus 16MP.
Jadi beda dengan Redmi Note7 dan Redmi Note8, dimana ISP dari SoC nya pas-pas an hanya di-push menangkap 1gambar 48 MP, ISP di Mediatek G90T ini memang di desain untuk bisa menangani foto dengan resolusi 64MP.
Dengan menu yang lebih mudah untuk berganti mode photo standar (16MP) ke mode 64 MP, hasil dari foto 64 MP nya sendiri lebih detail daripada 48 MP di Redmi Note8. Tetapi aturannya tetap sama, foto 64 MP baru lebih jelas saat cahaya sangat cukup, misalnya di outdoor dan sinar matahari cukup. Besaran file yang diambil juga cukup besar, 20 MB, dibanding saat menggunakan standar 16 MP di 6MB.
Saat kondisi lebih temaram, dan memaksakan menggunakan mode 64 MP, hasil foto akan kehilangan banyak detail.
Kalau kita perhatikan, dari 4 lensa kamera di belakang Redmi Note8 Pro, tidak ada lensa telephoto untuk mengambil gambar lebih dekat. Tetapi Redmi Note8 Pro memiliki mode pembesaran 2x ini dengan hasil sama dengan pembesaran 1x, yaitu 16MP. Pembesaran 2x ini didapat dari cropping lensa 64 MP ini, dan hasilnya lumayan, sudah mirip pembesaran optikal, yang berarti kehadiran lensa 64 MP ini bisa menggantikan kebutuhan akan lensa optikal telephoto 2x.
Saat main camera digunakan standar dengan tetra cell yang menggabungkan 4 pixel berdekatan menjadi satu pixel besar, foto-foto yang dihasilkan bagus, saat cahaya cukup. Warna-warna yang dihasilkan juga tidak over atau pop up, dan cenderung natural. Yang cukup terlihat dari olah post processing adalah ketajaman gambar atau sharpness.
Foto yang memerlukan detail lebih seperti bulu binatang pada foto jarak dekat, akan terlihat ketajamannya, demikian juga garis-garis pada gedung.
Untuk foto malam hari, Redmi Note8 Pro juga sudah dilengkapi dengan fitur night mode. Sebenarnya fitur night mode ini bekerja dengan cara yang sedikit berbeda dengan fitur nigh mode di smartphone flagship, yang biasanya pada fitur night mode akan mengecilkan ISO dan membuat bukaan lensa lebih lama.
Sepertinya pada Redmi Note8 Pro ini menggunakan teknologi night mode bawaan dari sensor Samsung ISOCELL nya yang dinamai Smart ISO, lebih memberikan ukuran ISO yang dianggap cocok dengan kondisi pencahayaan saat pemtretan, dan sangat kuat di post processing hasil foto sesudah ditangkap.
Tetapi bagaimanapun juga night mode tetap bisa memberikan detail yang sedikit lebih, seperti noise yang lebih terjaga dan foto yang lebih tajam. Selama tidak dilakukan pixel peeping dan foto dilihat di layar smartphone atau tablet di media sosial, foto night mode ini bisa dikatakan bagus. Kecuali kalau diperbesar maka masih terlihat banyak detail yang hilang, dan noise masih cukup terasa pada bagian yang kurang cahaya, belum sebaik hasil dari smartphone flagship.
Satu yang patut di apresiasi adalah HDR yang terlihat bekerja baik pada foto-foto malam hari yang banyak bertaburan lampu atau neon sign. Biasanya foto malam hari ini jika cukup terang hasilnya, akan membuat bagian neon sign berlebihan cahayanya. Pada hasil foto di Redmi Note8 pro ini, tulisan-tulisan di neon sign terlihat rapi dan terbaca baik.
Yang cukup menarik walau detail mudah hilang saat lowlight photo, tetapi untuk momen-momen tertentu misalnya foto dedaunan yang mendapatkan cahaya lebih, bisa terlihat detailnya dengan baik, tidak blur. Sepertinya ini hasil sumbangan dari resolusi besar.
Untuk foto bokeh, atau background blur, saat mulai terasa banyak perbaikan di Redmi Note 5 beberapa waktu lalu, walau masih hit and miss, di Redmi Note 8 Pro ini sudah jauh lebih baik. Foto bokeh bisa memimik banyak bukaan untuk efek blur yang semakin kentara, baik saat foto akan diambil, atau di-adjust kemudian saat hasil foto sudah diambil.
Untuk foto super makro sendiri yang bisa tetap fokus walau jarak objek dari lensa hanya 2cm , Redmi Note8 Pro memberikan nilai lebih dengan bisanya lensa ini digunakan untuk menjadi video. Walau hanya 2MP, jika digunakan untuk merekam video, ini berarti sudah resolusi Full HD 1080.
Memang tidak mudah memotret dalam posisi sangat dekat ini, karena sedikit saja guncangan atau getaran tangan akan terasa, dan sulit fokus.
Untuk foto diam sendiri, dengan resolusi hanya 2MP hasil foto yang diambil berarti tidak cukup lagi untuk dilihat lebih detail dengan zoom in. Terkadang fungsi ini bisa digantikan dengan foto 16 MP biasa yang kemudian hasilnya di zoom. Hanya untuk beberapa detail, memang lensa makro ini bisa menghasilkan foto yang lebih dekat untuk melihat detail lebih jelas.
Lensa makro ini menghasilkan juga file yang kecil, hanya sekitar setengah MB. Kadang-kadang lensa ini berguna untuk membaca huruf-huruf pada label barang yang kecil-kecil tanpa menyita banyak storage, selain untuk foto yang lebih serius seperti foto serangga atau renik.
Redmi Note8 Pro juga dilengkapi fitur edit foto dan manipulasi. Salah satu yang unik manipulasi gambar langit atau sky. Dengan mudah setiap foto yang memiliki gambar langit akan terdeteksi oleh AI, dan kita bisa menggantinya. Misalnya foto langityang mendung diganti dengan langit cerah biru beserta awan, bahkan diganti senja hari. Mungkin manipulasi ini cocok untuk mereka yang pergi liburan tetapi foto-fotonya terlihat kurang menarik karena langit mendung, untuk diganti dan dipamerkan di media sosial 😄
Untuk contoh foto-foto dan video yang lebih lengkap, tanpa edit dan berukuran asli dari ke empat lensa, bisa dilihat di LINK INI
Wrap Up
Dari Redmi Note8 Pro ini kita belajar bagaimana Xiaomi memang mastering dalam membawa smartphone berkinerja tinggi tetapi dengan harga yang tetap terjangkau.
Cara ini tentu memang selalu ada trade off, dan disini kita melihat kepiawaiannya, melakukan trade-off yang terjaga.
Terjaga di sini berarti tetap memberikan apa yang dibutuhkan konsumen utama Xiaomi, dan memangkas atau mengganti bagian-bagian yang dianggap membuat smartphonenya menjadi terlalu mahal. Jadi kira-kira smartphone ini saat dirancang mungkin menetapkan dulu budget akan dijual ke konsumen dengan harga berapa, dan kemudian baru menentukan part nya se-efisien mungkin.
Menggunakan Mediatek G90T memberikan device ini sesuai tujuannya, kinerja yang tinggi. bersaing dengan prosesor Qualcomm upper-mid-end seperti Snapdragon 730G.
Trade off panasnya dari penggunaan SoC Mediatek ini dengan memberikan Liquid Thermo Cooling, agar tidak overheat dan bisa dipacu maksimal, sekaligus keberadaan perangkat pendingin ini malah membeli nilai lebih dari sebuah mid-end smartphone yang terjangkau, bahkan bisa diberi embel-embel smartphone yang siap untuk gaming.
Trade off lebih borosnya SoC Mediatek dengan memberikan baterai yang besar, Xiaomi tahu bahwa konsumen senang melihat angka-angka, lebih besar lebih baik. Keberadaan kapasitas baterai yang besar ini selain menyelesaikan problem boros, juga marketing spesifikasi yang terlihat lebih baik.
Demikian juga dari sisi kamera, konsumen sedang menyukai banyaknya lensa kamera dan trend megapixel besar. Dengan pertama kali mengadopsi quad camera 64MP, membuat Redmi Note8 Pro memiliki nilai lebih, keuntungannya dengan 1 lensa ber megapixel besar tersebut tidak perlu lagi membenamkan lensa telephoto yang lebih mahal, dan trade off nya untuk tetap menjadi 4 kamera, bisa menggantinya dengan kamera makro dan bokeh 2MP yang lebih murah dari sisi biaya. Dan hasil kameranya juga bisa dikatakan baik secara umum.
Untuk sisi layar, Xiaomi tau untuk mid-end phone, pengguna tidak rewel soal ketebalan device dan bump kamera. Beda 1-2 mm dan berat beberapa gram tidak akan membuat penggunanya keberatan, sehingga tidak perlu membenamkan layar AMOLED yang lebih tipis dan mahal, tetap bisa menggunakan layar LCD.
Untuk menambah “kegantengan” layarnya disematkan sertifikasi dari TUV Rheinland, yang sebenarnya lebih kepada setting blue light atau mode layar malam hari saat diaktifkan, yang menurunkan tingkat cahaya biru yang dianggap mengganggu kemudahan untuk tidur.
Xiaomi tahu bahwa para penggunanya lebih memilih model dan tampilan smartphone, maka memilih membenamkan kaca gorilla glass depan belakang dan efek warna menarik, agar terlihat lebih premium.
Dan sebagai bonus, Redmi Note8 Pro ini menyematkan NFC, fitur yang sekarang banyak dicari orang-orang kota untuk kartu e-money. NFC ini bukan hardware yang mahal, bahkan harganya mungkin kurang dari 1 dollar saja.
Kalau terus kita bertanya kenapa kalau murah tidak banyak device menggunakannya, skala produksi dan timbal balik dari spend atau pengeluaran 1 dollar ini. Kalau 1 dollar ini dikalikan misal 1 juta unit Redmi Note8 Pro yang dibuat, jika ditiadakan maka akan hemat 1 juta dollar, alias 14 miliar rupiah. Angka yang cukup berpengaruh untuk Xiaomi sendiri yang menargetkan keuntungan hanya 5%.
That’s it, buat saya device ini menarik dari sisi seperti dipaparkan di atas, bahwa sering waktu memang kita bisa belajar melihat Xiaomi ini mastering dalam mengendalikan budget dan memberikan spesifikasi yang bagus.
Pertanyaan terakhir yang sering saya terima, apakah Redmi Note8 Pro ini recommended?
Dengan sebuah device yang harganya “hanya” 3 jutaan, kinerjanya kencang, kamera overall baik, baterai cukup dengan kombinasi fast charging, punya NFC, trade off yang cerdik, apalagi yang harus diminta lebih?
Mungkin yang harus ditanya kebalikannya, bagaimana bisa mendapatkan barangnya yang kabarnya sulit didapat karena demandnya yang tinggi.😁
Peace!