Apa yang sebenarnya terjadi pada Galaxy Note 7
Hari ini, 23 Januari 2017, Samsung mengadakan press con dan menyiarkan langsung ke seluruh dunia, hasil investigasi, mengungkap kenapa Galaxy Note 7 terbakar.
Artikel ini merangkum dan mencoba menjelaskan kembali isi press con, yang semoga lebih mudah dimengerti.
Tanggal 2 Agustus 2016, Galaxy Note 7 diluncurkan di New York, device yang mengusung teknologi dan fitur terbaru dari Samsung. Masa depan device ini terlihat cerah, respon pasar sangat menggembirakan, bahkan untuk Indonesia sendiri, Pre Order yang dijadwalkan dalam waktu beberapa minggu, habis dalam waktu 3 hari saja.
Penjualan pertama dilakukan di beberapa negara mulai 19 Agustus, Amerika termasuk negara pertama. Pada bulan September 2016, laporan pertama masuk, Galaxy Note 7 terbakar dan diikuti laporan-laporan lain.
Samsung dengan cepat melakukan investigasi, dan menghentikan sementara penjualan, kemudian menyimpulkan baterai yang digunakan Galaxy Note 7 buatan perusahaan baterai Samsung SDI ditenggarai ada batch yang bermasalah.
Sementara itu Galaxy Note 7 yang dijual di China dilaporkan aman, menggunakan baterai buatan pihak ke-3 dari ATL, Amperex Technology Limited, yang juga membuat baterai untuk Apple. Untuk itu, semua device Galaxy Note 7 yang sudah terjual ditarik kembali untuk kemudian ditukarkan dengan Galaxy Note 7 baru yang menggunakan baterai buatan ATL.
Ternyata beberapa waktu setelah penukaran, device Galaxy Note 7 yang sudah menggunakan baterai buatan ATL juga dilaporkan ada yang terbakar.
Karena berita berkembang dengan besar, berujung maskapai penerbangan melarang Galaxy Note 7 dibawa ke pesawat, walaupun hanya sebagian kecil nol koma nol sekian persen Galaxy Note 7 yang benar terbakar, Samsung akhirnya memutuskan untuk menarik semua Galaxy Note 7 yang sudah terjual, memberikan ganti rugi, dan memutuskan untuk tidak menjual lagi Galaxy Note 7.
Dari laporan Samsung terakhir, ada 3 juta unit yang sudah terjual, dan sampai saat ini 96% nya sudah berhasil di recall. Jadi kira-kira masih ada 120 ribu unit masih berada ditangan pelanggan, yang tidak mau atau mungkin tidak rela mengikuti program recall dan memutuskan untuk terus menggunakannya, walau Samsung sudah bekerjasama dengan provider dan banyak pihak untuk melakukan penarikan atau recall, bahkan terpaksa memberikan update yang membuat device tidak bisa di charge 100%.
Masalah dengan Galaxy Note 7 ini menyebabkan kerugian puluhan triliun rupiah untuk Samsung, walaupun jumlah tersebut luar biasa besar, masalah yang lebih besar lagi adalah kepercayaan. Samsung perlu dengan seksama mencari penyebab yang pasti, dan jika sudah diketahui, harus mengambil langkah preventif supaya kejadian ini tidak terulang dan mengembalikan kepercayaan konsumen.
Untuk membuat investigasi ini sungguh-sungguh objektif dan benar-benar bisa diterima, Samsung tidak mekukan investigasi ini sendiri. Samsung juga meminta 3 pihak swasta lain yang kredibel untuk melakukan investigasi terpisah.
Samsung meminta pihak UL, Exponent and TÜV Rheinland untuk melakukan investigasi.
UL sendiri akan sering kita temukan logonya pada baterai atau charger, berlogo lingkaran dengan huruf U dan L di dalamnya, karena perusahaan mereka dipercaya untuk menetapkan standar.
Exponent perusahan konsultan dibidang teknik dan kajian ilmiah, yang dikenal juga ahli dalam menginvestigasi kesalahan dan kecelakaan pada bidang tersebut, termasuk memberikan solusi untuk problem teknikal yang komplek.
TÜV Rheinland, perusahaan ini berpusat di Jerman, bergerak dibidang test produk dan dipercaya memberi sertifikasi kualitas produk.
Keseriusan investigasi dimulai dari team internal Samsung, melibatkan 700 insinyur, 200 ribu unit device, dan 30 ribu pcs baterai. Jumlah yang mungkin pertama kita pikir, apa tidak salah sampai butuh sedemikian besar untuk melakukan test? Ternyata test yang dilakukan sangat menyeluruh, dimulai dari investigasi baterai (yang paling dicurigai), kemudian hardware smartphone, algoritma dan software, fabrikasi, bahkan sampai logistik.
Melihat video dan fotonya saat ujicoba dan test dilakukan untuk mereplika kejadian yang dialami pengguna sehingga devicenya bisa terbakar, kita baru sadar bahwa skala test ini luar biasa besar.
Test ini meliputi ribuan device di charge dan discharge menggunakan fast charging, charge dan discharge menggunakan wireless charging, plug dan unplug konektor. Charging dengan kondisi baterai tertutup, charging dengan kondisi back casing terbuka, dilakuan sekaligus pada ribuan device.
Karena titik berat dicurigai pada baterai, baterai mendapat test khusus lagi terpisah, dipasang, dilepas, dicharge, discharge. Di cek voltage nya, di cek suhunya, dll. Lihat ruangan “supermarket baterai”, berisi ribuan baterai Galaxy Note 7 yang sedang di test
Test kemudian dilakukan pada faktor komponen hardware lain, apakah chip pengatur arus dan suhu baterai bekerja dengan baik. Apakah penggunaan iris scanner menyebabkan suhu meningkat dan baterai terbakar, apakah ada pengaruh dari casing yang tahan air, dll. Test juga dilakukan pada kemungkinan faktor pemicu dari luar, seperti elektrostatik, dll.
Selanjutnya test dilakukan pada software, OS, dan algoritma. Apakah software berfungsi untuk menjaga suhu tetap pada batasan saat charging, adakah kesalahan algoritma yang membuat security prevention tidak berfungsi, dll.
Akhirnya ditemukan tidak ada masalah pada hardware dan software, selain pada baterai, yang menyangkut desain baterai, pemilihan bahan dan proses fabrikasinya.
Walau tidak spesifik dibilang mana baterai buatan Samsung SDI dan mana baterai pengganti dari ATL, hanya disebut baterai A dan baterai B, dari penjelasan pihak swasta kedua dari Exponent membuat kita bisa memastikan bahwa baterai A adalah buatan Samsung SDI, dan baterai B adalah baterai pengganti buatan ATL.
Bagan penampang baterai Li-iOn:
Prinsip dasarnya, baterai Li-iOn terdiri dari berlapis-lapis (layer) bahan penyimpan elektroda, anoda (-) dan katoda (+). Diantara lempengan ini terdapat bahan membran separator yang menjaga supaya lempengan – dan + ini tidak saling bersentuhan. Jika mereka saling bersentuhan ini yang kita sebut sebagi korslet. Saat digunakan, elektron berpindah dari anoda dan katoda, melewati membran separator dan menghasilkan daya listrik.
Kesalahan desain pada baterai A atau baterai pertama buatan SDI, terletak pada bentuk pojok kanan baterai bagian atas yang (terdesak) melengkung. Lengkungan ini membuat layer anoda tertekan dan memungkinkan bertemu dengan layer katoda sehingga terjadi korslet.
Baterai A ini juga dikabarkan memiliki membran separator yang terlalu tipis. Kemungkinan untuk mengejar bentuk baterai yang lebih tipis tetapi memiliki kapasitas yang lebih tinggi, karena semakin banyak layer elektroda bisa disisipkan pada baterai, semakin besar kapasitas baterai.
Saat pertama beberapa device Note 7 terbakar, Samsung segera menyimpulkan ada masalah dengan baterai dari SDI dan menggantinya dengan baterai dari ATL. Sebenarnya langkah ini sudah tepat, tetapi (sialnya) ternyata baterai buatan Amperex ini juga ternyata bermasalah.
Tidak ada bending layer anoda di baterai B buatan amperex, tetapi baterai ini memiliki problem pada bagian lain. Setiap baterai harus punya kutub positif dan negatif yang nantinya akan tersambung pada perangkat sebagai ujung aliran arus listrik. Pada baterai B ini, pe-nyolderan pelat kutub ke lapisan baterai terlalu dalam, sehingga merobek lapisan insulasi dan menembus layer baterai anoda. Juga pada beberapa baterai ditemukan tidak adanya lapisan insulasi. Ini yang menjadi penyebab walaupun baterai sudah diganti ternyata problem masih sama, baterai terbakar karena korslet, walaupun keduanya penyebabnya berbeda.
Team swasta dari UL melakukan pengujian di labnya sendiri. Device yang dilaporkan terbakar dan berhasil dikumpulkan team Samsung di bedah oleh team ini. Hasilnya untuk baterai A menunjukkan kesimpulan yang sama dengan team internal Samsung, ada bending pada layer anoda, dan membran separator yang terlalu tipis.
FYI, membran separator ini sebenarnya memlilki banyak lubang2 yang sangat kecil, yang tidak bisa ditembus substansi elektrolit baterai, tetapi cukup besar untuk elektron berpindah antar elektroda.
Untuk baterai B, dilakukan ujicoba dengan 40 unit Galaxy Note 7 baru pada segala kondisi lingkungan. Kemudian sebanyak 354 unit Galaxy Note 7 baru di “abuse” pemakaiannya setinggi mungkin untuk melihat kemungkinan failure / kegagalan pada baterai.
Hasilnya menurut team UL, baterai B ini sama problemnya dengan temuan team Samsung, kutub positif yang menembus lapisan insulasi dan mengenai layer anoda, juga pada beberapa baterai ditemukan lapisan insulasi yang hilang. Team UL juga menambahkan poin kekurangan paa baterai B, yaitu bentuk yang tidak konsisten dan tidak presisi, dan antar baterai tidak sama status chargingnya.
(Pabrikan baterai B ini sama dengan pembuat baterai untuk iPhone, entah ada hubungannya apa tidak cacat baterai ini, karena kita juga mendengar beberapa laporan tentang iPhone 7 yang terbakar. Bisa juga baterai untuk Samsung ini karena dikerjakan dalam kondisi waktu yang mepet, karena harus digunakan untuk penggantian, menjadi kurang QC.)
Team Exponent sudah ikut terjun sedari awal ketika kasus terbakarnya Galaxy Note 7 terjadi. Team ini menitikberatkan perhatian pada desain baterai dan melakukan investigasi dengan mengamati struktur baterai melalui x-ray. Hasil yang didapat menguatkan investigasi dari team internal Samsung dan UL, pada baterai A ada masalah layer yang tertekuk dan pada baterai B ada masalah pada pengelasan/solder kutub positif.
Team ini menambahkan hasil ujicoba pada sistem proteksi baterai yang berjenjang yang digunakan Samsung berjalan dengan baik dan tidak memiliki andil yang menyebabkan baterai terbakar. Sistem proteksi ini berhasil mencegah baterai menjadi rusak atau gagal, walau menggunakan berbagai charger buatan pihak ketiga. (ini bisa menjadi catatan penting bagi kita, kalau device Samsung, khususnya sekelas Note 7, tidak perlu takut rusak karena charger yang tidak jelas :-p)
Team TÜV Rheinland pendekatan investigasinya berbeda, bukan pada desain, bahan dan fabrikasi baterai, tetapi kepada bagaimana baterai ditangani dari pabrik baterai sampai digunakan. Jadi team ini mengawasi perpindahan baterai dari pabrik Samsung di Gumi Korea sampa ke Vietnam untuk dipasang ke dalam Note 7. Mengamati bagaimana setelah baterai di proses disimpan, dikirimkan, dipindahkan, dll, sampai akhirnya dipasangkan. Apakah dari semua proses ini ada penanganan yang bisa memperlemah kualitas baterai. Pengawasan yang sama juga dilakukan pada baterai produksi dari pabrik di China hingga tiba ke pabrik Samsung di Vietnam.
Mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa pengawasan logistik baterai ini ternyata penting, diamati sampai pada faktor temperatur, percepatan, kelembaban dan geolokasi, apakah bisa jadi faktor logistik ini memicu kerusakan baterai sebelum sempat dipasangkan. Bahkan secara serius mereka memperhatikan sampai detail bagaimana setiap palet baterai diangkat dan dipindahkan, guncangan saat transportasi, disimpan dalam gudang, dan lain-lain.
Setelah mengetahui dengan pasti penyebab korslet pada Galaxy Note 7, Samsung menetapkan standar baru untuk mencegah peristiwa serupa terulang, dengan menetapkan 8-points battery safety check. Kira-kira begini test pada baterai yang diproduksi untuk mengetahui apakah baterai bisa tetap bertahan:
1. Baterai akan ditest diatas standarnya, seperti overcharging, ditusuk baik dengan kuku dan paku, dicoba pada suhu ekstrim. Pada videonya, terlihat satu pengujian device tetap berjalan pada suhu minus 20 derajat C.
2. Visual inspection, memperhatikan kemungkinan ada cacat pada baterai yang terlihat pada setiap baterai yang akan digunakan.
3. Melakukan X-ray pada baterai, untuk melihat struktur di dalamnya setelah di produksi, untuk mengetahui jika ada anomali.
4. Test baterai di charge dan discharge berulang-ulang.
5. TVOC (Total Volatile Organic Compund), apakah ada kebocoran.
6. Disassembling test, baterai dibongkar untuk dilihat apa terjadi perubahan, kelengkapan insulasi, penyolderan kutub dll.
7. Accelerated Usage Test, test secara intensif mensimulasi bagaimana para konsumen menggunakan smartphone.
8. Delta Open Circuit Voltage, apakah ada perubahan tegangan (v) dari fabrikasi baterai hingga digunakan.
Selain baterai, Samsung juga menetapkan multi-layer safety measure meliputi hardaware dan software, dimana setiap desain dan penggunaan bahan untuk smartphone dikaji ulang apakah akan memiliki dampak bagi keselamatan, termasuk memperbaharui algoritma software untuk menjaga temperatur, arus dan durasi charging pada baterai.
Terakhir Samsung juga menetapkan pihak luar dari beberapa Universitas ternama dan perusahaan lain sebagai penasehat, yang akan memberikan masukan pada produk Samsung, dimana mereka dianggap pakar dibidangnya, seperti ahli kimia dari universitas Cambridge, ahli bahan/material dari universitas Barkeley dan Stanford dan perusahaan konsultan teknologi yang ahli dalam R&D baterai.
Yang menarik, Profesor dari Barkeley saat diminta pendapatnya ketika dilibatkan menjadi penasehat Samsung, berkomentar sangat kagum dengan ujicoba yang dilakukan Samsung, dia mengatakan tidak pernah melihat skala ujicoba sebesar ujicoba yang telah dilakukan untuk Galaxy Note 7.
Dengan mengadakan press con dan memperlihatkan skala test, juga tindakan yang akan dilakukan Samsung untuk mencegah kejadian ini terulang, Samsung mengharapkan kepercayaan konsumen bisa dipulihkan. Samsung juga akan membuka dan membagikan hasil ujicoba skala besar ini kepada pihak lain, untuk kedepannya bisa membantu pihak R&D dan pabrikan mengembangkan standar keamanan dan teknologi yang lebih baik.
Saatnya melihat penerapannya di next Galaxy S8 🙂
keputusan tepat untuk dipublikasikan karena user smartphone flagship seperti ini rata2 bukan orang “biasa” seperti saya :p… makin besar sebuah perusahaan makin besar pula tanggung jawabnya, begitu mahalnya sebuah kepercayaan