Pocophone F1, The Truth
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir kita sudah dibuat kaget dengan sepak terjang Xiaomi. Brand ini memperkenalkan cara berjualan yang lain dari biasanya, salah satunya dengan metode flash sale yang menghasilkan riak yang besar untuk mendongkrak namanya.
Smartphone affordable mid dan low spec banyak digelontorkan Xiaomi dengan harga yang sangat-sangat murah dibanding kompetitor yang ada. Tidak cukup disana, smartphone hi-end nya juga dijual dengan harga murah jika dibandingkan dengan harga smartphone hi-end brand global.
Tetapi jangkauan smartphone hi-end Xiaomi bagaimanapun masih terbatas penyebarannya, dan masih kalah tenar dari brand OnePlus, yang secara jumlah sebenarnya tidak terlalu banyak, tetapi karena bisa memasuki pasar Amerika, namanya lebih dikenal luas dan di-cap sebagai brand yang berhasil membuat smartphone hi-end dengan harga terjangkau. Apalagi tag mereka “flagship killer” sepertinya berhasil menjadi bahasan marketing yang ramai.
Brand OnePlus ini berhasil menjadi pilihan para techno geek yang tidak berkantung dalam, sebagai “penyelamat” bagi mereka, untuk menikmati smartphone flagship dengan harga terjangkau. FYI, OnePlus ini masih satu saudara dan satu induk dengan brand Oppo dan Vivo.
Di negara India, dimana pertumbuhan smartphone Xiaomi sangat hebat dan dikabarkan menguasai pasar, ternyata untuk smartphone hi-end, OnePlus menjadi pilihan paling banyak digunakan konsumen India, bukan Xiaomi.
Kondisi inilah yang membuat Xiaomi membuat sub-brand yang dinamai Pocophone, dengan tujuan membuat smartphone hi-end low budget. Target pertamanya mengungguli OnePlus, sehingga orang-orang menyebutnya “ flagship killer- killer “.
Membuat sub-brand memang sedang ramai dilakukan smartphone Tiongkok, misalnya Huawei dengan Honor, Oppo dengan Realme, bahkan OnePlus sendiri sebenarnya sub-brand dari grup Oppo dan Vivo, dan sekarang Xiaomi membuat sub-brand Pocophone.
Harga Pocophone F1 produk pertamanya dibanderol 4.5 juta rupiah, harga yang fantastis murahnya, melihat spesifikasi berdasarkan prosesor yang diusungnya, Snapdragon 845, prosesor kelas teratas dan terbaik dari Qualcomm sekarang ini.
Di Indonesia lawan terdekatnya yang mengusung prosesor sama adalah Asus Zenfone 5z, seharga 6.7 juta rupiah, yang berarti Pocophone F1 dalam segi harga lebih murah sekitar 30%.
Sebenarnya jika memperhatikan saingannya seiring waktu, semakin OnePlus terkenal, harga device terbarunya juga merangkak naik. Pertama device OnePlus keluar pada tahun 2014, harganya $299 atau sekitar 4.5 juta rupiah. Tetapi OnePlus seri 6 sekarang sudah $529 atau 8 juta rupiah.
Harga 8 juta rupiah ini dianggap tetap lebih murah karena smartphone hi-end sekarang sudah menembus harga di atas 10 juta rupiah, termasuk smartphone dari negeri Tiongkok sendiri seperti Oppo Find X, Huawei P20Pro, Vivo Nex, dan lain sebagainya.
Latar belakang versi Xiaomi
Pada saat memperkenalkan Pocophone pertama kali di India dan di Indonesia, Alvin Tse, Head of Pocophone Global bercerita begini.
Smartphone hi-end sekarang sudah sampai harga $1000, dengan harga setinggi itu tentu saja hanya sebagian orang yang bisa menikmatinya. (Sebagai perbandingan jika melihat harga smartphone induknya, Xiaomi Mi 8 dimulai dari harga 5.9 juta rupiah, dan Mi Mix 2s 7.2 juta rupiah)
Karena smartphone hi-end semakin tidak terjangkau banyak orang, maka Pocophone dibuat untuk bisa menghadirkan smartphone flagship dengan harga terjangkau tetapi dengan beberapa syarat.
Pertama dengan pintarnya Alvin Tse bercerita tentang smartphone flagship mahal yang mau menjadi “ jack of all trades , master of none “, ungkapan yang sering digunakan bagi orang yang menguasai banyak kemampuan, tetapi tidak satupun yang benar-benar dikuasainya.
Untuk itu Pocophone mau memusatkan perhatian pada bidang khusus saja, yaitu pada kecepatan smartphone, dan menjadi “ master of speed “. Ia menambahkan hal ini yang krusial bagi pengguna smartphone, dan mereka mau mengesampingkan fitur-fitur yang menurut mereka bukan fitur utama.
Sebenarnya sejak android global muncul dan android brand Tiongkok belum muncul, seri flagship senantiasa berkejaran untuk memberikan kelengkapan fitur dan terbaik di semua sisi.
Smartphone flagship global yang sekarang ada di puncak sebenarnya cocok dikatakan jack of all trades, tetapi bisa dikatakan master of all, karena biasanya mereka baik di semua sisi.
Ketika brand Tiongkok mulai muncul dan masuk ke area smartphone flagship, banyak fitur dan kelengkapan yang biasanya ada pada smartphone flagship mulai dipangkas, dan pandangan tentang smartphone flagship mulai bergeser, dialihkan lebih fokus hanya kepada prosesor, RAM, dan kamera.
Kali ini pocophone melakukan pemangkasan yang lebih jauh lagi demi mengejar harga yang lebih terjangkau.
Tentu kita bertanya, bagaimana caranya Pocophone bisa membuat smartphone dengan prosesor hi-end Snapdragon 845, dengan RAM yang sangat cukup, 6 GB, dan bisa dijual dengan harga yang sangat murah? Karena smartphone bukan hanya masalah membuat hardware saja, masih harus bereskan bugs sotfware, harus update, layanan purna jual, distribusi, marketing dan lain sebagainya.
Ini jawaban kedua dari Pocophone. Kalau sub-brand lain sering tidak mau dikaitkan dengan induk mereka, berbeda dengan Pocophone, mereka dengan jelas menyatakan kalau mereka bergantung dari Xiaomi, dari supply chain, service, dan quality.
Bahasa mudahnya mungkin begini, salah satunya untuk bisa mendapatkan harga prosesor Snapdragon 845 yang lebih murah, tentu ada kuantitas yang harus disepakati dengan Qualcomm sebagai pemilik prosesor, brand Pocophone yang masih baru dan masih mencoba pasar, pasti belum langsung bisa memasan dengan kuantitas banyak. Dengan menebeng kepada Xiaomi dimungkinkan membelinya dengan bulk order.
Fabrikasi dan perakitannya, juga menggunakan jalur yang sama yang sudah dimiliki atau dijalani Xiaomi. Demikian juga distribusi, pemasaran, dan service atau after sales, sehingga Pocophone tidak harus memasukkan banyak komponen biaya.
Nah sekarang mari kita lihat lebih mendalam dan melakukan uji coba, sebaik apa flagship baru Pocophone F1 ini.
Desain dan Layar
Melihat desain Xiaomi akhir-akhir ini yang lebih memilih menyerupai iPhone, Pocophone mengambil gaya desain yang berbeda untuk bagian belakangnya, terutama terlihat dari cara penempatan dual camera bukan di pinggir , tetapi di bagian tengah. Garis desainnya menyerupai OnePlus 6.
Kabarnya memang cara terbaik untuk bersaing dengan lawan yang dituju, bergaya-lah seperti target.
Berbeda dengan smartphone hi-end yang mementingkan bentuk dan bahan yang premium seperti menggunakan metal atau kaca, Pocophone kembali ke masa kala semua smartphone masih menggunakan plastik yang diperkuat atau polikarbonat. Bahan polikarbonat ini memang secara harga lebih murah, terkesan tidak mewah untuk smartphone jaman sekarang, apalagi merujuk ke kategori hi-end.
Tetapi bahan ini juga memiliki beberapa keunggulan seperti bobot yang ringan, durable atau tahan lama, lebih tahan terhadap benturan, dan tidak menghalangi sinyal keluar masuk seperti pada bahan metal.
Desain Pocophone F1 termasuk bagian yang paling lemah dan cukup banyak flaw, dan mungkin memang menjadi bagian yang dianggap tidak perlu mendapat banyak perhatian. Dibanding lawan yang disasarnya, OnePlus, desain OnePlus walau sama sudah tidak punya orisinalitas garis desain lagi dan banyak berubah model saat keluar seri baru, tetapi secara keseluruhan desain, rapi dan makin mengesankan smartphone hi-end mahal.
Misalnya kita lihat bagian depan Pocophone F1, lengkung layar di bagian bawah dengan radius yang cukup besar, agak terlihat janggal, karena memiliki dagu yang masih tebal. Dengan lengkungan radius besar ini pada layar, malah membuat dagu atau bezel bagian bawah Pocophone F1 terlihat semakin besar, berbeda dengan arah desain smartphone kekinian yang mencoba membuat bezel terlihat sekecil mungkin.
Ini bisa dimaklumi karena layar LCD yang digunakan Pocophone F1, masih menggunakan driver layar di bagian bawah.
Saya mencoba membuat skala perbandingan dan menebak dari mana ide Xiaomi membuat radius lingkaran layar sedemikian besar, dan melihat jawabannya pada iPhone X, yang desainnya serupa dengan iPhone Xs dan Xs Max yang lebih baru. Karena flagship Xiaomi yang lain seperti Mi 8 dan Mi Mix 2s, tidak memiliki radius lingkaran sebesar itu pada ujung-ujung layarnya.
Apple sangat berhati-hati dan banyak aturan dalam desain, dan bisa menjadi contoh bagus untuk membandingkannya dengan Pocophone F1. Karena kalau mengikuti semangat Xiaomi membuat flagship, walau terkadang desainnya tidak orisinil, tetapi banyak mengikuti kehati-hatian dari Apple, sementara Pocophone F1 ini seperti tidak mengikuti pakem dalam desain seperti Xiaomi.
Dari gambar di atas saya membut radius di setiap lengkungan layar dan body dari Pocophone F1, dan membandingkannya dengan iPhone Xs Max (yang sama saja mewakili iPhone X). Jika diperhatikan, titik pusat radius baik lengkungan layar dan body pada iPhone Xs Max, pusatnya sama (A dan B) , hanya berbeda ukuran diameter.
Sedangkan pada Pocophone F1, pada layar bagian bawah titik pusat radiusnya berbeda (A dan C), apalagi bagian atasnya (A dan B) , sehingga hasilnya lengkung layar dan lengkung Body di bagian sudut atas tidak seirama dan tampak “benjol”.
Saya juga mengukur bahwa radius lengkung body di atas dan di bawah, selain tidak memiliki titik pusat yang sama dengan titik lengkung layar, ternyata juga berbeda diameter. Jadi lingkaran pada Pocophone F1 baik A, B, dan C, semuanya berbeda diameter, hal yang tidak kita temui di desain iPhone.
Saya menambahkan sebuah lingkaran warna hijau dengan titik pusat sama dengan lingkaran A pada Pocophone F1 untuk memberi lengkung dan garis maya. Seharusnya pada garis tersebut body Pocophone F1 berada untuk terlihat lebih rapi seperti desain iPhone.
Memperthatikan desain brand lain yang memimik iPhone seperti Vivo, Oppo, Nokia, dan lain sebagainya, Pocophone F1 ini menjadi cloning yang cukup keluar pakem.
Dengan garis desain yang cukup berantakan, bisa dimengerti jika device ini tidak fokus pada desain yang baik, sehingga saat implementasi kita juga mendengar beberapa keluhan, seperti light bleeding dari layar, yang saya pikir bukan karena kualitas layarnya yang kurang, karena layar LCD nya dibuat oleh Tianma, -salah satu pabrik LCD terbesar dan terkemuka di Tiongkok-, tetapi lebih kepada kepresisian desain.
Bukti yang lebih lagi saya coba capture dari device kepunyaan saya yang mungkin tidak banyak disadari orang (dan belum tentu semua mengalami), seperti gambar di bawah ini.
Pada gambar terlihat selain antara lengkung layar dan body terlihat seperti benjol karena perbedaan titik pusat, juga terlihat di antara layar yang menyala dan bezel, terdapat bagian celah hitam yang seharusnya tidak ada jika desain presisi, termasuk pada bagian notch, sehingga perakitan terlihat tidak rapi.
Tidak semua Pocophone F1 mengalami ini, contoh di bawah ini hasil perakitan yang lebih baik.
Menyambung kebagian layar, kualitas layar LCD Pocophone F1 bisa dikatakan baik, hanya terkadang settingan auto brightness nya dalam mengkompensasi ambien cahaya sekitar agak terlalu gelap, mungkin ditujukan lebih untuk menghemat daya.
Tetapi di bawah matahari atau cahaya terang, kecerahannya mudah mengikuti untuk layar bisa dilihat dengan baik dengan teknologi sunlight display.
Terkadang dalam situasi tertentu, terasa tingkat reflektif dari layar Pocophone F1 sedikit tinggi sehingga pantulan cahaya pada layar sedikit menghalangi display di bawahnya.
Layar ini sudah dilindungi kaca anti gores Gorilla Glass walaupun tidak diketahui seri berapa. Pada saat awal kemunculan Pocophone, banyak media luar mengatakan device ini tidak dilengkapi dengan lapisan oleophobic atau anti minyak, tetapi setelah saya tes, pernyataan tidak benar, lagipula biasanya penggunaan Gorilla Glass senantiasa sudah dilengkapi lapisan oleophobic.
Layar Pocophone F1 berukuran 6.2 inci dengan resolusi Full HD+ 1080 x 2246, dan rasio 18.7 : 9. Kalibarasi warna layarnya masih seperti kebanyakan smartphone produksi Tiongkok menggunakan standar NTSC, color gamut 84%, spektrum warna yang lebar, tetapi agak tidak akurat untuk standar device jaman ini, misalnya menampilkan warna hasil kamera profesional maupun printer.
Warna dan kontras cukup terlihat baik, walau belum menyamai layar OLED. Jika dibandingkan bersebelahan akan terasa saat menonton film atau video yang banyak menyajikan scene gelap, sebagian detail tidak terlihat jelas di Pocophone F1 dibanding smartphone dengan layar OLED yang memiliki kalibrasi baik.
Pada layar bagian atas terdapat cut out notch atau poni yang cukup lebar. Pada notch ini berderet beberapa instrumen seperti
Infrared camera, untuk unlock dengan wajah (face unlock)
Infrared lighting, berfungsi seperti flood illuminator pada iPhone yang memancarkan sinar inframerah untuk menerangi wajah saat gelap agar bisa dibaca oleh kamera inframerah
Earpeace, speaker kuping
Irda based proximity sensor
Kamera selfie 20 MP.
Pada bagian belakang di bawah dual camera, masih ada backup biometric berupa fingerprint sensor.
Fingerprint unlock yang bisa merekam 5 jari ini proses unlocknya termasuk sangat cepat, demikian juga dengan face unlocknya. Jika kita mengaktifkan wake up sensor, yang langsung mengaktifkan proses unlock saat device diangkat atau dikeluarkan, proses unlock segera berlangsung tanpa harus menekan tombol power, dan secara instan smartphone langsung terbuka.
Face unlock ini hanya berfungsi saat posisis potrait, tidak saat landscape. Dengan infrared lighting yang tidak kasatmata, -tetapi bisa ditangkap kamera smartphone-, sinar inframerah ini menerangi wajah dan dibaca oleh kamera inframerah sehingga proses unlock saat gelap sekalipun tidak menjadi kendala.
Pada bagian bawah, Pocophone F1 sudah menggunakan tipe port yang baru USB-C, bersebelahan dengan lubang speaker dan mic. Device ini sudah mendukung suara stereo, satu dengan speaker di bagian bawah, dan satu lagi dari earset atau speaker kuping. Hanya saja suara dari earset ini tidak cukup besar, sehingga jika ditutup sekalipun tidak memberikan perbedaan berarti. Sementara suara speaker di bagian bawah lantang, hanya tidak dalam, jadi terkadang kita menyebutnya “cempreng” .
Performa, Master of Speed
Bagian yang paling diunggulkan Pocophone F1 adalah performa, dengan cara menggunakan prosesor smartphone Qualcomm kelas tertinggi saat ini, Snapdragon 845, dipadukan dengan RAM 6GB dengan kelas tertinggi pula LPDDR4x, plus liquid cooling, untuk lebih cepat melepas panas dan mendinginkan SoC smartphone agar bisa bekerja lebih maksimal dalam waktu yang lama. Agar tidak bottleneck dalam kecepatan, memory internal yang digunakan sudah yang tercepat saat ini, UFS 2.1.
Ada 3 varian Pocophone F1 yang di-release untuk Indonesia, RAM/ROM 6/64 GB, 6/128 GB, dan 6/128 GB dengan casing berbahan beda, armoured edition, atau kevlar aramid fibre.
Beberapa uji dilakukan dengan synthetic benchmark, dan real fps test untuk melihat apakah sungguh Pocophone F1 memiliki kinerja sesuai yang dijanjikan. Apalagi ada cukup banyak keraguan saat smartphone ini diperkenalkan dengan prosesor tertinggi tetapi harga murah, apakah menggunakan komponen hardware kelas dua. Mari kita lihat
Synthetic Benchmark
Geekbench 4.
Benchmark ini mengukur kinerja CPU dari Snapdragon 845. Ada 8 cores atau inti CPU dengan fabrikasi 10nm pada SD845, dibagi dalam 2 cluster, 4 inti kecepatan tinggi upto 2.8 GHz, 4 inti lebih efisiensi dalam daya, dengan clock hingga 1.8 GHz.
Kedua cluster ini sama-sama semi custom, jadi Qualcomm memodifikasinya untuk lebih baik dalam performa tetapi lebih irit dalam daya. Cluster yang cepat sering disebut Kryo 385 Gold, based on arsitektur Arm Cortex A-75, dan cluster yang lebih efisien dinamakan Kryo 385 Silver, based on arsitektur Arm Cortex A-55.
Hasil single-core 2406
Hasil multi-core 8621
Angka ini menunjukkan, jika hanya menghitung kinerja CPU, hasilnya rata-rata sama dengan smartphone yang diperkuat Snapdragon 845 lain, dan bukan diantara yang tertinggi dibanding prosesor lain. Hasilnya memang lebih tinggi dibanding SoC Kirin 970, tetapi lebih rendah dibanding Exynos 9810 atau A11 Bionic dari Apple yang satu generasi.
Tetapi dengan hasil angka skor CPU sebesar ini, bisa dipastikan kinerja CPU akan sangat baik.
GFX Bench
Benchmark ini menitikberatkan pada kinerja GPU atau graphic processing unit.
Snapdragon 845 terkenal dengan GPU Adreno 630 yang terkenal berkinerja baik. GPU khusus rancangan in-house Qualcomm ini biasanya mengungguli kinerja grafis dari GPU arsitektur asli bawaan Arm Mali yang biasanya digunakan oleh SoC Exynos maupun Kirin.
GFX Bench yang baru, versi 5, menyertakan tambahan 8 uji grafis yang lebih mendukung device-device baru dengan nama Aztec Ruins. Sebelumnya sudah ada 9 uji grafis awal dari Car chase hingga T-rex.
Saat seluruh 17 set uji grafis high-level test ini dijalankan langsung, jika bukan smartphone hi-end, hampir sulit menyelesaikan semua uji dengan sempurna, karena SoC smartphone di push untuk bekerja maksimal dan menghasilkan panas yang tinggi.
Bahkan smartphone dengan SoC Kirin 970 sekalipun menyerah dengan uji ini karena panas berlebih.
Karena Pocophone F1 sudah menyediakan pipa pendingin liquid cooling, uji grafis yang juga menghasilkan panas yang hebat ini cocok untuk digunakan dan melihat apakah liquid cooling di Pocophone F1 bekerja dengan baik.
Untuk memastikan, uji 17 high-level test ini dilakukan 2x langsung selama 22 menit. Dan ini hasil dari Pocophone F1.
Dari hasil uji di atas, baik 17 high-level test pertama dan test kedua berikutnya secara langsung, tidak ada drop frame, menandakan liquid cooling di Pocophone F1 memang bisa mengatasi naiknya suhu prosesor dengan baik dan tetap memberikan kinerja yang optimal.
Berdasarkan sensor suhu baterai, saat uji dimulai suhu baterai 36 derajat, setelah uji pertama selesai suhu naik 6 derajat ke 42 derajat celcius, dan saat uji kedua yang dilangsungkan segera, suhu baterai tetap di 42 derajat.
Uji yang berlangsung sekitar 22 menit ini menghabiskan baterai 25%.
Apakah kinerja GPU “Master of Speed” ini optimal ? Mari kita bandingkan dengan data referensi dari smartphone contoh milik Qualcomm sebagai patokan. Karena kedua smartphone berbeda dalam resolusi layar, kita mengambil data offscreen agar cocok perbandingannya.
Saat awal Qualcomm reference phone di test untuk memperkenalkan kinerja Snapdragon 845, test GFXBench belum ada versi Aztec Ruins, jadi kita bandingkan bagian yang ada dari Car chase hingga T-Rex.
(Untuk reference SD 845 benchmark dari Qualcomm bisa dibaca di sini: https://luckysebastian.gadtorade.com/2018/02/qualcomm-snapdragon-845-benchmarking-preview/ )
Hasil test GFXBench Pocophone F1 yang ditampilkan di atas hasil terbaru setelah ada beberapa kali update firmware, hasil dalam tanda kurung hasil sebelumnya. Sepertinya setelah update ini ada sedikit penurunan kinerja grafis.
Melihat hasilnya, hasil sebelumnya lebih mendekati referensi yang diberikan Qualcomm, cuma hasil yang sekarang, apalagi pada test API OpenGL ES 3.0 (1080 Manhattan offscreen), terlihat perbedaan FPS yang cukup jauh.
Dengan standar ini, Pocophone F1 sebenarnya masih bisa di push untuk benar menjadi Master of Speed, karena hasil ini belum sebaik smartphone yang dikejarnya, OnePlus 6.
Liquid Cooling and Heat Dissipation
Ada yang menarik bagaimana trik cerdik Xiaomi dengan Pocophone F1 mengatasi cara membuang panas dari prosesor, padahal body Pocophone terbuat dari plastik atau polikarbonat, dimana bahan ini tidak bagus dalam melepas panas.
Prinsipnya saat bekerja berat, permukaan SoC akan sangat panas, liquid cooling membantu mendinginkan permukaan SoC, yang kemudian air di dalam pipa cooling segera menguap, menjauh dari permukaan SoC kemudian dingin dan mengembun, dan mengalir lagi. Untuk menjalankan proses tersebut, panas yang dibawa harus segera disebarkan, atau istilahnya heat dissipation.
Penggunaan body metal paling baik untuk menyebarkan panas dengan cepat, karena metal adalah konduktor panas yang baik, tetapi tidak demikian dengan body plastik. Jadi kemana Pocophone F1 membuang panasnya?
Ada 2 hal yang disadari team Pocophone, pertama walau body metal baik dalam segera menyebarkan panas, tetapi panas yang merambat pada body metal dan mengenai tangan saat digenggam, akan membuat tidak nyaman saat suhu terlalu panas jika tidak menggunakan casing tambahan.
Saat review ini ditulis, banyak pengguna Pocophone F1 mengatakan device ini tidak panas saat diajak bermain game berat dalam waktu lama. Ini rahasianya:
Di atas layar, Pocophone F1 menempatkan satu lapisan metal plate, dimana liquid cooling menempel, lapisan metal ini memiliki 2 kegunaan, pertama menyebarkan panas dari heatpipe, kedua menjadi rangka yang lebih kokoh untuk device ber-body plastik ini.
Pipa liquid cooling ini membelok, dari pinggir tempat di mana permukaan prosesor berada, ke bagian tengah metal plate , agar penyebaran cepat merata ke semua bagian metal.
Kedua, team Pocophone sadar kalau bermain game-game berat yang menghasilkan panas, unit biasanya dipegang dalam posisi landscape, posisi tangan pemain selalu dalam kondisi yang sama di sebelah kiri dan kanan smartphone, dan lebih banyak jari memegang punggung smartphone.
Game-game tersebut juga memiliki standar menempatkan posisi navigasi (game control) dan tombol eksekusi, di bagian bawah kiri dan kanan layar yang senantiasa mudah digapai jari jempol.
Hasilnya dengan body plastik, jari tangan yang memegang punggung smartphone tidak terlalu merasakan panas yang dihasilkan, karena daya rambat panas plastik yang buruk, dan dengan plat metal heat dissipation menempel ke layar, arah panas lebih banyak disebarkan ke arah kaca layar, dan posisi terpanas dimana prosesor berada (di kiri atas), jarang terjangkau jari. Solusi dan trik yang menarik.
Storage dan RAM yang cepat.
Banyak orang senantiasa hanya berpikir kapasitas RAM yang besar dan internal storage yang besar yang terpenting. Padahal jika RAM dan Storage sekedar besar tetapi tidak cepat, akan menjadi bottleneck untuk kinerja prosesor hi-end.
RAM dan Storage juga ada bermacam-macam tipe, yang standar kinerjanya berbeda. Pocophone meng-klaim bahwa mereka tidak menggunakan hardware standar kelas dua. Jadi benchmark kali ini kita akan coba membuktikan apakah betul kedua bagian hardware ini menggunakan tipe RAM dan Storage mobile yang tercepat saat ini di pasaran.
Benchmark kecepatan internal storage memperlihatkan sequential read Pocophone F1 728 MB/s. Kecepatan ini di atas 600 MB/s yang biasanya dipatok sebagai kecepatan yang hanya bisa dicapai oleh storage dengan tipe UFS 2.1.
Ini kecepatan copy dari RAM 6 GB Pocophone F1, menunjukkan konsistensi kecepatan RAM setingkat LPDDR4.
*Catatan dari Internal Storage yang cepat
Di atas sudah diceritakan, internal storage dan RAM yang tidak cepat akan jadi bottleneck dari SoC atau prosesor yang cepat, dan Pocophone F1 tidak mengabaikan hal ini. Tetapi ternyata ada bottleneck lain untuk internal storage yang cepat pada Pocophone F1, yaitu port USB Type-C.
Walaupun banyak smartphone sudah menggunakan port USB-C, tetapi port ini walaupun sama dalam bentuk, belum tentu sama dalam kecepatan data transfer. USB-C bisa berteknologi USB 2.0 dengan kecepatan 480 Mbps, USB 3.0 dengan kecepatan 5Gbps, atau USB 3.1 dengan kecepatan 10 Gbps.
Hasil uji memperlihatkan USB-C dari Pocophone F1 belum mendukung teknologi kecepatan data terbaru.
Sebuah file berukuran 2 GB, single file, coba di-copy dari eksternal SSD ke internal storage Pocophone F1 melalui port USB-C, dan membutuhkan waktu 4 menit 11 detik.
File yang sama coba di copy kembali dari internal storage Pocophone F1 ke SSD, membutuhkan waktu 3 menit 20 detik.
Sebagai perbandingan uji yang sama dilakukan pada hi-end smartphone dari Samsung, Galaxy Note 9, hasilnya copy dari SSD ke internal storage Samsung hanya membutuhkan waktu 10,9 detik yang berarti 23 kali lebih cepat, dan arah sebaliknya 11,2 detik yang berarti 18x lebih cepat.
Jadi bottleneck di Pocophone F1 walaupun memiliki internal storage UFS 2.1 adalah pada port USB-C nya, yang berdasarkan test di atas hanya mendukung kecepatan transfer USB 2.0.
Hal ini berpengaruh kalau pengguna sering melakukan backup atau transfer data dari dan ke eksternal HDD atau ke laptop/PC. Dengan kecepatan transfer masih USB 2.0, koneksi perpindahan data membutuhkan waktu yang cukup lama, walau portnya sudah USB-C.
Real FPS test
Dengan bantuan aplikasi Gamebench yang berjalan di background, kita bisa menghitung real FPS dari game yang kita mainkan.
FPS test ini memperlihatkan kemampuan chip grafis Adreno 630 dari Snapdragon 845 di Pocophone F1. Game yang di test PUBG Mobile, dengan settingan tertinggi, HDR-Ultra-Realistic.
Dalam uji coba minimal (15 menit) hasil median FPS yang dihasilkan bagus di 40 FPS dan stabilitas 95% yang masuk kategori excellent. Angka 40 FPS ini bukan berarti FPS tertinggi, tetapi median FPS, dari FPS tertinggi dan terendah. Angka stabilitas menunjukkan rata-rata FPS yang bisa dihasilkan terdekat dengan median FPS.
Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja Pocophone F1 untuk bermain game berat masuk kategori sangat baik, tidak terjadi lonjakan dan penurunan FPS yang drastis.
PC Work 2.0
Test ini menggambarkan kinerja smartphone untuk pekerjaan standar sehari-hari, seperti berkirim email, browsing, edit foto/video, membuat dokumen, dan lain sebagainya. Seharusnya dengan skor yang baik untuk bermain game, pekerjaan “standar” ini juga bisa dilahap dengan mudah.
Ini hasil dari Pocophone F1 dengan skor 7477 yang tinggi.
Untuk perbandingan data kita bandingkan dengan reference phone SD845 dari Qualcomm yang menunjukkan Pocophone F1 ini masih bisa didorong untuk bekerja lebih optimal.
Daya Tahan Baterai
Kapasitas 4000 mAh baterai buat Xiaomi bukan kapasitas yang istimewa, karena banyak device mid-end nya sudah memiliki baterai sebesar ini. Pocophone juga mengadopsi baterai 4000 mAh dengan manajemen baterai yang ketat.
Jika kita membiarkan Pocophone F1 mengatur manajemen baterainya sendiri, 4000 mAh ini sangat cukup untuk digunakan seharian penuh tanpa kuatir. Semakin banyak standby, otomatis aplikasi di background akan ditutup untuk menghemat baterai.
Agar bisa dibandingkan, dilakukan uji dengan PC Mark 2.0 Battery, uji ini menyerupai looping PC Work 2.0 dengan kecerahan layar yang harus dikalibrasi di 200 nits.
Hasilnya Pocophone F1 bertahan 10 jam 16 menit, angka yang bagus untuk smartphone dengan kelas prosesor hi-end.
Sebagai perbandingan, ini hasil dari smartphone hi-end lain yang kebetulan sama memiliki baterai 4000 mAh.
Untuk pengisian baterai, Pocophone F1 juga sudah support untuk teknologi charging cepat, dan charger bawaannya sudah mendukung teknologi Quick Charge 3.0 dari Qualcomm. Bahkan tweet dari Pocophone mengatakan jika kita memiliki charger dengan teknologi Quick Charge 4.0, Pocophone F1 juga sudah mendukungnya, tetapi ini belum diketahui jelas apakah mendukung kecepatan QC 4.0, atau sekedar backward compatible charger QC4 ke QC3.
Dengan QC 3, charging Pocophone F1 berlangsung cepat, tetapi ketika hampir penuh dari 85% ke 100% proses charging ini melambat cukup lama untuk mendinginkan suhu baterai, sehingga untuk pengisian dari 20% ke 100% membutuhkan waktu 1 Jam 40 menit.
Sekedar mengisi daya dari low battery hingga kapasitas yang cukup (maks 85%), proses charging akan berlangsung cepat.
Untuk koneksi data dan telepon, Pocophone F1 mendukung dual SIM hybrid, jadi kita harus memilih jika ingin menambah micro SD card, hanya bisa menggunakan single SIM, dan dual SIM tanpa bisa menambah memory card. Dual SIM hybrid ini sudah mendukung teknologi Dual VoLTE.
Bonus: AnTuTu
Sulit memang melepaskan benchmark yang satu ini karena sering jadi patokan dan smartphone-smartphone Tiongkok, dan senantiasa angka skornya dibandingkan sebagai yang terbaik bila semakin besar.
Pocophone F1 saat launching juga menggunakan benchmark ini sebagai acuan, bahkan melakukan ujicoba 6x untuk melakukan test liquid cooling nya.
Ini hasil benchmark yang diberikan sebagai dasar standar Pocophone F1, yang kalau kita perhatikan saat dicoba real oleh banyak pengguna dan reviewer, jarang mendekati angka ini.
Bukan berarti angka ini tidak bisa di dapat, tetapi test tersebut mungkin saja dilakukan dengan berbagai persiapan yang ideal, termasuk suhu yang ideal.
Tetapi setidaknya dalam test yang saya lakukan benchmark AnTuTu versi 7 ini sudah sesuai dengan harapan dari referensi Qualcomm Snapdragon 845, yang mengatakan 260-270 ribu angka AnTuTu, angka yang ideal yang bisa di dapat dari Snapdragon 845.
Kamera
Karena menjadi area yang paling visual dan mudah dipamerkan, kamera menjadi bagian yang penting untuk vendor dan para pengguna smartphone. Smartphone dengan spesifikasi hi-end dan hasil kameranya hanya standar, senantiasa bisa membawa smartphone hi-end ke kategori jauh lebih rendah untuk dipandang baik.
Sementara kebalikannya, smartphone mid-end sekalipun dengan hasil kamera yang baik, akan lebih mengundang banyak perhatian.
Nah sekarang di mana letak kategori kamera smartphone Pocophone F1? Apakah sejajar dengan para smartphone hi-end dengan kemampuan kamera yang sangat bagus, atau disejajarkan dengan smartphone mid-end dengan harga serupa?
Satu dua tahun yang lalu, walaupun sering di-gembar-gembor saat launching tentang kehebatan kamera Xiaomi dan spesifikasi sensor kamera yang digunakan senantiasa terlihat hebat, pada kenyataannya, kamera smartphone Xiaomi jarang dilirik sebagai salah satu yang terbaik diantara banyak vendor dengan hasil kamera yang hebat.
Tetapi tahun ini, sepertinya Xiaomi mulai berhasil meramu dengan lebih baik antara hardware dan software post processing kameranya untuk lebih menonjol, bahkan di smartphone-smartphone mid-end nya yang terjangkau. Nilai skor yang baik juga didapat oleh hi-end smartphone Xiaomi Mi 8, pada ranking DxOmark yang sering dianggap sebagai situs benchmark kamera.
Mari kita bahas sedikit tentang kamera Pocophone F1.
Kamera utama atau kamera belakang Pocophone F1 dilengkapi dengan dual camera, 12MP dengan pixel sensor besar 1.4 micron, f/1.9, dengan sensor Sony IMX386, dan kamera kedua untuk efek bokeh 5MP, sensor pixel 1.12 micron f/2.0, dengan sensor kamera ISOCELL buatan Samsung. Kedua kamera ini belum dilengkapi OIS atau optical image stabilization.
Kali ini banyak smartphone Xiaomi mengalihkan teknologi autofocus nya ke teknologi dual pixel, teknologi ini sama seperti yang sudah digunakan smartphone Samsung, terutama di smartphone hi-end sejak beberapa tahun ini.
Setiap pixel sensor kamera sebenarnya memiliki 2 bagian. Kedua bagian pixel ini bekerja seperti sepasang mata, masing-masing menangkap bagian area yang sama dan sedikit berbeda, dimana area yang sama ini berarti fokus, dan area yang berbeda ini tidak fokus. Dengan menggunakan semua bagian pixel sensor untuk mendeteksi mana bagian yang ditangkap sama, maka didapat fokus yang cepat, termasuk perpindahan fokus, misalnya dari objek di depan ke objek di belakang.
Seperti trend sekarang, kamera Pocophone F1 juga mengacu kepada kemampuan AI (Artificial Intelligence) untuk mengenali scene, kemudian mengatur kontras, warna, dan melakukan post processing yang dianggap terbaik untuk scene tersebut.
Pendeteksian AI scene ini bisa bisa dinyala-matikan, dan logo pengenalan AI scene seperti gambar makanan, pepohonan, akan muncul jika terdeteksi di logo tempat menu AI yang sama, hal ini berbeda dengan kebanyakan smartphone lain yang menempatlan icon logo scene AI di posisi lain.
Pengenalan scene AI di Pocophone F1 masih hit and miss, terkadang cepat mengenali objek yang dipotret adalah makanan, terkadang tidak mengenali sama sekali.
Saat hari pertama Pocophone F1 diperkenalkan, poss processing kameranya kadang bermasalah, misalnya seperti gambar di bawah ini. Tetapi dalam waktu cepat, team Pocophone mengeluarkan update untuk perbaikan.
Setiap OS memang biasanya ada glitch, yang terpenting vendor menyadarinya dan segera melakukan pembenahan. Walau hardware kamera senantiasa ditonjolkan oleh banyak vendor, dari sisi lensa, sensor, megapixel, tetapi software memegang peranan sangat penting.
Salah satu kunci hasil foto yang bagus sekarang ini yang mulai banyak dimengerti konsumen adalah HDR (High Dynamic Range). Teknologi smartphone kamera yang dulu agak kesulitan, karena keterbatasan kemampuan prosesor untuk bekerja dengan cepat menyatukan dua atau lebih foto yang berbeda area kontras, sekarang ini dengan SoC seperti Snapdragon 845 yang memiliki dual ISP dan DSP yang powerful, HDR bisa langsung dijalankan secara realtime.
Menu HDR pada Pocophone bukan lagi menu yang harus dipilih ketika kita ingin mengambil foto dengan kontras terang yang cukup ekstrim, tetapi sudah seperti kebanyakan smartphone hi-end, menu ini berdiri sendiri bisa dinyala-matikan atau dipilih auto, dimana kamera akan mendeteksi scene yang akan difoto dan mengaktifkannya secara otomatis bila merasa dibutuhkan. Foto dengan HDR yang baik juga memberikan kesan ruang yang lebih dalam, tidak flat.
Contoh foto di bawah ini bagaimana Pocophone F1 mengambil gambar di dalam ruangan yang lebih temaram, mengarah ke jendela dimana sinar matahari masuk dengan lebih kuat. Biasanya tanpa kemampuan HDR, bagian jendela ini akan terlihat terlalu terang dan tidak dapat menangkap objek di daerah yang lebih terang.
Dalam hal kemampuan HDR, kamera Pocophone F1 bisa dikatakan baik, sampai perbedaan kontras terlalu besar untuk bisa menangkap kedua bagian ekstrim yang terlalu berbeda.
Untuk pencahayaan yang cukup, hasil foto yang bisa ditangkap Pocophone F1 baik, termasuk foto-foto di dalam ruangan dengan penerangan lampu. Detail yang ditangkap juga baik, termasuk untuk foto-foto jarak dekat. Proses sharpness juga cukup agresif untuk menampilkan detail yang lebih.
Karakteristik dari Pocophone F1 yang sedikit agresif adalah melakukan adjust AWB atau white balance, cenderung ingin memutihkan bagian yang tampaknya terang, misalnya dinding yang sedikit abu, bulu anjing yang tidak benar putih, bahkan cahaya matahari.
Misalnya scene di bawah ini, diambil saat matahari sore sudah menjelang berganti ke malam, dimana sinar matahari sudah kekuningan. Pocophone F1, cenderung menangkap cahaya dan membuatnya menjadi putih untuk gambar yang lebih terang. Sebagai perbandingan, saya pasangkan hasil kamera smartphone lain yang bisa menangkap suasana sore hari dengan lebih baik.
Proses AWB yang ingin membuat tampil putih lebih bersih akan membuat foto terasa cool atau lebih dingin, biasanya akan membuat warna-warna yang kita ingin tampil lebih pop-up akan terlihat sedikit lebih pucat, termasuk di area-area yang kita ingin ambiennya terasa lebih hangat, seperti di cafe, foto malam hari di area yang banyak lampu, dan lain sebagainya.
Warna yang dihasilkan kamera Pocophone F1, tidak terlalu agresif untuk dibuat pop-up, bahkan misalnya saat AI scene sudah mengenali objek makanan yang biasanya dibuat lebih kaya warna agar terlihat lebih membangkitkan selera.
Sebagai pembanding kita menggunakan scene AI yang mirip yang diambil dari brand lain yang lebih agresif. Tetapi persoalan warna ini tidak bisa diperdebatkan apakah yang lebih pop-up lebih baik, karena bersifat subjektif, sebagian orang senang dengan warna-warna yang lebih pop-up, sebagian lebih senang dengan warna yang natural.
Ini contoh hasil AI lain yang mengenali scene langit dan membuatnya lebih biru, dan membuat rumput tampil lebih hijau.
Efek bokeh sepertinya sekarang sudah menjadi kewajiban, dan dual kamera pada Pocphone F1 memang didesain untuk itu. Pocpohone F1 termasuk smartphone yang mencoba lebih mengeksplorasi efek bokeh lebih jauh. Setelah foto selesai diambil dengan mode potrait, fokus bisa dipindah dari objek di depan ke background, kemudian level blur masih bisa ditambah atau dikurani.
Tidak cukup sampai disana, masih ada lagi tambahan efek light trail untuk membuat blur di bagian belakang ditambah efek bergerak dramatis, yang hasilnya bisa disimpan sebagai video atau foto. Juga ada efek 3D lighting seperti yang diperkenalkan iPhone X. Hanya efek 3D lighting ini sepertinya masih jauh dari sempurna.
Untuk foto lowlight atau malam hari, kamera Pocophone F1 dengan pixel sensor yang besar juga sanggup menangkap detail cukup baik, walau dibanding smartphone hi-end lain, noise pada Pocophone F1 masih sering lebih kentara. Tetapi berbeda dengan smartphone-smartphone mid-end yang kebanyakan menyerah di kondisi lowlight, Pocophone F1 cukup bisa dinikmati hasil fotonya walau dalam kondisi temaram.
Penggunaan menu HDR untuk foto lowlight biasanya bisa menekan noise menjadi lebih terkendali, tetapi berefek pada detail yang lebih kabur. Sementara tanpa HDR, detail lebih jelas tetapi noise meningkat. Karena tidak memiliki OIS, sebaiknya pada penerangan yang temaram, tangan kita harus dilatih lebih steady saat mengambil foto, agar detail objek tidak tampak blur.
Untuk Video, Pocophone F1 sudah memiliki EIS (Electronic Image Stabilization), agar saat kita bergerak sambil merekam video tidak terlalu banyak guncangan. EIS ini bekerja pada resolusi video 1080 30 fps.
Walau mendukung resolusi 4K 30fps, EIS tidak bisa bekerja pada resolusi besar ini, gambar akan mudah bergoyang (shaky), walaupun pilihan menu EIS tetapi bisa diaktifkan.
Secara keseluruhan, bisa dikatakan kamera Pocophone F1 berkualitas bagus, walau belum sampai pada taraf istimewa, seperti yang dihasilkan dari pertarungan kamera smartphone kelas atas. Untuk mereka yang terbiasa dengan smartphone mid-end, akan sangat senang melihat hasil kamera dari Pocophone F1 yang bisa dikatakan all rounder.
Kamera Selfie
Kamera Selfie Pocophone F1 beresolusi 20 MP f/2.0 dengan sensor 0.9 micron. Sensor kamera depan ini sudah mendukung teknologi super pixel, atau pixel binning, dimana saat foto lowlight, pixel sensor yang cenderung berukuran kecil, akan dikelompokkan dalam 4 pixel menjadi 1 pixel besar untuk lebih banyak bisa menangkap cahaya.
Seperti device-device Xiaomi pada umumnya, pada Pocophone F1, bagian selfie ini juga mendapat sentuhan banyak fitur, dari pengaturan 5 level beauty, background blur, grup selfie, hingga merombak bentuk muka agar terlihat lebih tirus, mata lebih besar, kulit lebih cerah dan licin.
Fitur-fitur tersebut lebih cocok untuk kaum wanita, tetapi setidaknya, saat level beauty dipilih tingkat 0, hasil selfie kamera Pocophone F1 masih bisa diterima untuk wajah pria standar, yang masih menampakkan bekas kumis, kulit yang tidak mulus, yang seringkali sekarang ini dibanyak smartphone selfie, level 0 sekalipun tetap membuat wajah lebih halus.
Ini contoh hasil selfie dengan beauty level 3.
Catatan (Hampir) Akhir
Dari pengamalan mencoba banyak smartphone termasuk mengikuti perkembangan smartphone flagship dari awal, pertanyaan kita mungkin sama, apakah Pocophone F1 ini layak disebut flasghip killer, bahkan flagship killer-killer.
Pertanyaannya berbalik lagi, mengapa saat ini harga smartphone flagship semakin mahal, tetapi tetap banyak orang berebut membeli? Apa yang mereka cari? Betulkah semua orang hanya mempedulikan kecepatan, dan fitur-fitur lain tidak penting? Mari kita coba menyelami para pembeli smartphone hi-end premium.
Jika kita bicara gengsi dan gaya, kedua “fitur” ini tidak ada dalam spesifikasi, tetapi sangat bernilai untuk sebagian pembeli smartphone premium. Harga kedua komponen ini tidak terukur dan tidak bisa langsung disediakan vendor, hanya bisa didapat brand dalam waktu yang lama dengan menghadirkan konsistensi produk yang baik, purna jual, dan kepercayaan lebih dari penggunanya.
Pengguna smartphone flagship berkantung dalam senantiasa berharap biaya yang mereka keluarkan, sepadan dengan produk yang mereka terima, berharap produk dibuat dengan desain dan bahan terbaik dan semua fitur tersedia, baik yang bisa mereka lihat dan rasakan langsung, seperti kualitas layar, bahan body, berat, ergonomic design, kualitas suara, teknologi terkini, hingga fitur yang tidak mereka gunakan setiap hari, tetapi ketika mereka butuh, fitur itu ada.
Tahan air walaupun mungkin tidak pernah mereka bawa berenang atau mandi, wireless charging walaupun mungkin perangkat charger-nya masih di dalam dus, koneksi data yang cepat, walau operator kita belum sanggup, NFC walau baru dipakai untuk mengecek saldo e-money, dan lain sebagainya. Pokoknya mereka berharap fitur-fitur tersebut ada dan memberi mereka kenyamanan atau rasa aman.
Golongan ini berharap tidak ada flaw, walau hanya flaw kecil-kecil yang mungkin untuk sebagian orang tidak penting dan boleh diabaikan.
Misalnya kita ambil contoh beberapa flaw kecil pada Pocophone F1.
Widevine CDM / DRM
Ketika Pocophone F1 keluar, orang barat sana yang teriak soal Widevine, digital right management, bahwa device ini tidak memiliki standar Widevine CDM L1, sebagai perangkat yang dipercaya untuk bisa memutar layanan film / video streaming dengan resolusi tinggi yang aman untuk penyedia dan pembuat konten.
Widevine ini seperti kunci yang dipercaya penyedia konten bahwa pemilik kunci L1, devicenya bisa dipercaya tidak memiliki flaw agar layanan streaming yang diputar tidak bocor dan bisa di-copy. Layanan ini seperti film atau video streaming berbayar seperti Netflix, Google Movie, Hulu, Amazon, dan lain sebagainya.
Pocophone F1 hanya memiliki kunci Widevine L3. Hal yang sama seperti dulu dikeluhkan pada perangkat OnePlus. Sebenarnya Pocophone F1 tidak sendiri, hampir semua smartphone brand Tiongkok hanya memiliki kunci L3, termasuk smartphone hi-end seperti Oppo Find X, Huawei Honor V10, Mi 8 EE, dan lain sebagainya. Dengan kunci hanya L3, streaming film dari layanan tersebut tidak bisa sampai resolusi HD, Full HD, HDR, apalagi 4K, hanya mentok di 520p.
Entah mengapa kunci widevine-nya hanya L3, padahal sertifikasi ini tidak berbayar, dan brand global seperti Samsung murah seri J sekalipun dan Nokia mid-range, memiliki kunci L1.
Ada yang mengatakan di layar smartphone, streaming 520 sudah cukup, tetapi untuk mereka penggemar menonton yang lebih serius, bisa jadi resolusi 520 akan terasa kurang detail dan tajam.
Contoh gambar di atas memperlihatkan resolusi movie HD di smartphone bawah lebih detail, misal pada rambut, freckles di wajah, dan kontur muka, yang tidak tertangkap di resolusi 520p.
Manajemen Baterai yang Ketat
Manajemen baterai yang ketat sepertinya memang sudah karakteristik dari smartphone Tiongkok. Di satu sisi memberikan kebebasan pengguna untuk mengatur, mana aplikasi yang boleh berjalan di background, mana yang tidak. Berbeda dengan smartphone hi-end brand global, manajemen baterainya tidak ketat, dalam artian apa yang memang seharusnya berjalan di background, seperti email, chat, update, tidak perlu di set manual untuk berjalan.
Manajemen baterai pada Pocophone F1 begitu ketat, bahkan ketika kita sedang install game yang besar, update firmware, dan ditinggal di background, dimana kita berharap nanti beberapa saat kemudian kita nyalakan sudah selesai, ternyata malah di pause dan device hibernate. Bahkan beberapa kali benchmark yang cukup lama harus diulang, karena otomatis ditutup ketika sedang berjalan. Banyak aplikasi yang harus kita set manual untuk tidak sengaja ditutup. Saat baterai masih banyak sekalipun, layanan seperti GPS ditawarkan untuk ditutup.
Karakteristik seperti ini bisa menjadi hambatan bagi mereka yang terbiasa menggunakan smartphone hi-end global, seperti orang-orang yang sangat sibuk tidak selalu otomatis membuka smartphonenya, tetapi berharap ada notifikasi jika ada pesan penting, yang ternyata tidak berbunyi, karena setelah beberapa saat smartphone tidak disentuh, smartphone masuk ke posisi hibernate.
Bagi pengguna akut yang sedikit-sedikit menyalakan smartphone untuk mengecek, karakteristik manajeman baterai ketat ini kemungkinan tidak terlalu dirasakan.
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Jika dikumpulkan flaw yang kecil-kecil ini memperlihatkan liga yang berbeda, antara smartphone flagship hi-end dan flagship affordable. Ada bagian yang memang tidak bisa dipenuhi dan harus dimaklumi berbeda pada kedua kelas smartphone tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, game berat akan berjalan dengan baik, bahkan sangat baik di Pocophone F1, tetapi bermain game sekarang ini bukan hanya sekedar lag atau tidak lag, sudah menjadi satu kesatuan antara rendering yang bagus secara visual, permainan yang lancar, suara yang powerful, dan kontrol yang responsif.
Contoh gambar di atas memperlihatkan sedikit perbedaan, dan saya masih belum mendapat jawaban mengapa dalam setting grafis tertinggi yang sama, Pocophone F1 tidak menampilkan kerumitan rendering seperti smartphone di bawahnya.
Catatan Akhir
Untuk siapa Pocophone F1 ini? Apakah bisa menarik mereka yang terbiasa menggunakan smartphone hi-end premium untuk berpikir ulang bahwa smartphone hebat tidak perlu mahal?
Sepertinya saat ini belum sampai kesana, Pocophone F1 ini mungkin akan melahirkan kategori pengguna baru, mereka yang memang melihat smartphone lebih banyak hanya dari sisi spesifikasi, terutama kecepatan beradasarkan SoC yang digunakan smartphone. Pengguna smartphone mid-end akan sangat tertarik untuk pindah ke kategori smartphone ini, apalagi mereka yang sangat suka bermain game berat, dan tidak mementingkan gaya atau gengsi.
Kelompok ini memang akhirnya terbangun setelah brand Tiongkok terus menerus tanpa kenal lelah mengedepankan spesifikasi SoC, besarnya RAM, sebagai bagian terpenting dari smartphone, dan mengabaikan hal lain.
Dengan harga “hanya” 4.5 juta rupiah, kita bisa mengatakan Pocophone F1 ini sudah memenuhi janjinya, menggunakan hardware yang bagus, performa yang tidak kendor, kamera yang bagus di kelasnya, yang sudah meliputi banyak ekspektasi dari sebagian orang.
Lagipula dengan harga yang lebih terjangkau, kita akan lebih mudah maklum dengan flaw di sana dan di sini. Dengan harga yang lebih terjangkau pula, setidaknya banyak orang yang dulu merasa tidak bisa memiliki smartphone hi-end, sekarang bisa mencicipinya, walaupun mungkin tidak sepenuh pengalaman smartphone flagship sesungguhnya.
Dengan kehadiran Pocophone F1, mungkin membuka lagi riak untuk banyak brand lain bertarung dengan membuat kategori smartphone yang sama, affordable flagship.
Well played Xiaomi, well played…
Selamat malam kang Lucky…. Tlg tnya dengan harga pocophone F1 5 Jt di banding dengan mi8 5.7 jt milih mana ya kang?
Terima kasih
Berserta alasannya
Mending Mi8, layar lebih bagus, range warna lebih baik, kamera lebih bagus, optical zoom, body lebih premium, dual GPS, NFC, desain lebih presisi.
Oh yaa mi 8 apa sdh pake usb 3.1?
Kalau msh usb 2.0 kan bottleneck seperti poco ini..
Terima kasih
kalau info disini https://forum.xda-developers.com/mi-8/help/usb-3-1-t3798981 katanya sih usb2.0
Sayangnya Mi 8 masih USB 2.0
Ulasan yang menarik bro Lucky. Mau nanya, kalau secara versi OS yang digunakan, antara F1 vs Mi8, mana yang lebih ‘enteng’, user friendly dan lebih sedikit bloatware nya ? trims.
Hampir mirip, hanya saja di poco bisa ada appdrawer, seperti google biasa.
MIUI biasanya lebih berat karena membawa banyak fitur tambahan. Apa yang “tidak sempat” diupdate di OS, biasanya mereka tambahkan menjadi bagian MIUI, krn lebih mudah untuk sekian banyak tipe smartphone yang dikeluarkan
Poco ini kalo ama MiA2 dan Zenfone 5z, kamera depan & belakangnya bagus mana, om Lucky?
Sebenarnya harus dibandingkan langsung, foto objek yang sama, suasana yang sama bersamaan, dan saya belum sempat mencobanya langsung.
Tapi pengalaman saya menggunakannya terpisah, saya suka dengan kamera dari Mi A2.
penjelasan yang sangat detail, saya suka tiap-tiap bagiannya dibahas secara mendalam,menambah pengetahuan saya sbg orang awam, tingkatkan terus, thanks
Terima kasih sudah mampir dan membaca 😀
Mantap !! ane baru beli pocophone… cari cari tahu layar nya sudah gorila atau belum. ketemu deh sama tulisan kang lucky. Jelas, Rapi dan Detail banget ulasan nya. Lengkap…. !
Sip, next time kita bahas yang lain ya, terima kasih sudah mampir dan membaca.
Mas Lucky, mau tanya, kalau liat fiturnya kayanya lebih bagus Mi8 ya, tapi yang menjadi pertimbangan Mi8 ga ada liquid cooling dan baterainya lebih kecil, pengaruh banyak ga ya? karena saya mau pakai untuk gaming, tapi ada untuk foto” jg. Thanks – Irvan
Saya belum sempat coba Mi8, tetapi kalau baca di uji GSMarena, iya sepertinya Mi8 tanpa liquid cooling berpengaruh besar terhadap performa untuk main game dalam waktu yang cukup lama.
https://www.gsmarena.com/so_whats_up_with_the_xiaomi_mi_8_benchmark_scores-news-31992.php