Xiaomi 11T Pro, Flagship Kok Gini Sih?
Xiaomi 11T Pro
Baru-baru ini Xiaomi me-release lagi device kelas flagshipnya, Xiaomi 11T dan Xiaomi 11T Pro.
Device ini juga salah satu device awal yang tidak lagi membawa nama mi dalam penamaannya, tetapi langsung Xiaomi.
Xiaomi sekarang merasa namanya sudah dikenal secara global, termasuk di negara-negara barat, yang dibuktikan pada kuartal lalu sempat menempati market share global di peringkat kedua mengalahkan Apple.
Yang menarik pada tahun ini Xiaomi juga rajin mengeluarkan banyak device kelas atas atau flagship, tidak sekedar device terjangkau yang selalu menjadi andalan dan seolah-olah menjadi trademark-nya.
Berbeda dengan device yang terjangkau, dimana penggunanya menjadi pengguna dengan jumlah terbanyak yang tidak terlalu terikat dengan merek, tetapi lebih berat ke harga, device flagship ini selain membutuhkan spesifikasi dan teknologi terbaru, juga membutuhkan kepercayaan terhadap nama brand.
Mudahnya ini seperti mobil, brand sekelas Mercedes atau BMW akan langsung dipercaya pengguna kendaraan kelas atas, dibanding mungkin mobil buatan Toyota, walau spesifikasi dan fiturnya sekelas, bahkan lebih.
Lebih mudah memang smartphone kelas atas ketika membuat device murah untuk segera diterima, dibanding brand yang dikenal biasa membuat device terjangkau, kemudian mencoba mengambil pasar kelas atas. Biasanya membutuhkan waktu.
Sepertinya ini yang sedang dilakukan Xiaomi dengan me-release banyak device kelas flagship sekarang ini, termasuk membawa masuk ke Indonesia, agar segera bisa mendapat kepercayaan pengguna kelas atas untuk memilih brand Xiaomi di kelas flagship sekalipun.
Lagipula kelas flagship ini seperti kelas bergengsi, yang bisa menjadi etalase kemajuan teknologi smartphone yang dimiliki brand.
Strategi Xiaomi untuk membawa ponsel flagship, pertama fokus pada chipset. Seperti Xiaomi Mi11 di push untuk menjadi device pertama yang menggunakan chipset terbaru dari Qualcomm saat baru diumumkan, Snapdragon 888.
Demikian akan dilakukan lagi oleh Xiaomi pada chipset Qualcomm Snapdragon penerusnya, Snapdragon 8 Gen 1 dan Mediatek Dimensity 9000.
Penggunaan chipset flagship ini yang menjadi andalan Xiaomi untuk merelease banyak tipe smartphone flagship, yang sebagian diramu dengan harga lebih terjangkau dibanding flagship brand lain.
Walau terlihat kelasnya sama, sama-sama flagship, tetapi seringkali pada flagship Xiaomi ada bagian atau fitur yang tidak benar-benar kelas flagship. Ini wajar sebenarnya, sebagai salah satu strategi untuk memangkas harga, walaupun Xiaomi juga punya kelas flagship yang benar-benar lebih lengkap.
Ada yang beda di seri Xiaomi 11T Pro ini, saya pribadi baru menemukan “keanehan” ini, yang bukan kebiasaan Xiaomi.
Mari kita coba bahas dalam review.
Performa yang aneh
Xiaomi 11T Pro keluar dengan spek top, chipset android terkencang saat ini, Snapdragon 888, RAM besar 8GB atau 12GB LPDDR5, Internal Storage 256GB UFS 3.1.
Di atas kertas, spesifikasi per bagian dengan teknologi terbaru ini akan membuat device wuzz wuzz atau kencang.
Apalagi Xiaomi kita kenal selalu mem-push kemampuan performa nya saat di benchmark, untuk menghasilkan performa optimal dan skor yang hebat.
Dibagian benchmark ini memperlihatkan keanehan, Xiaomi 11T Pro seperti bukan dibuat Xiaomi. Hasilnya cukup mengecewakan.
Skor AnTuTu Snapdragon 888 itu biasanya semua di atas 700rb, bahkan device-device serius pengejar antutudiyah bisa mencapai 800rb an skornya.
Sampai sekarang beberapa device Xiaomi dengan Snapdragon 888 juga saya coba, selalu skornya di atas 700rb.
Terkadang Xiaomi saat launching memperlihatkan skor AnTuTu yang bisa dicapainya, walau kemudian saat real kita coba, skor ini agak sulit dicapai. Seingat saya saat launching Xiaomi 11T Pro, Xiaomi tidak memamerkan hasil skor AnTuTu nya. Mungkin mereka juga menyadari harus ada yang dibereskan di sektor performa di Xiaomi 11T Pro ini.
Skor AnTuTu saya coba beberapa kali pengujian, hasilnya hanya 600rb an, 649.652, 651.506, 678.709.
Saya pikir mungkin Xiaomi sedikit trauma dengan performa dengan device Snapdragon 888 pertamanya, Xiaomi Mi 11, dimana saat awal Xiaomi tidak berhasil menjinakkan performa Snapdragon 888 yang menghasilkan panas yang tinggi, sehingga banyak ditemukan mi11 overheating, yang kemudian sudah diperbaiki secara software oleh Xiaomi.
Dari pengalaman AnTuTu itu saya mencoba membuat perkiraan, Xiaomi bermain ketat dengan manajemen suhu agar tidak terjadi overheating lagi, membiarkan skor benchmark, yang terkadang juga bukan menjadi rujukan real saat device digunakan.
Sumber penghasil panas utama dari chip Snapdragon 888 adalah chip grafis GPU nya, Adreno 660. Jadi benchmark berikutnya untuk memastikan manajemen suhu Xiaomi bejalan bagus adalah dengan melakukan stress test pada GPU.
Pada aplikasi 3DMark ada bagian stress test yang dinamakan Wild Life Stress Test, untuk stress test lebih extreme sebenarnya ada bagian yang dinamakan Wild Life Extreme Stress Test.
Tapi dalam test ini digunakan Wild Life Stress Test standar saja, memimik ketika kita bermain game cukup berat dalam waktu yang lama. Stress test ini sebenarnya looping sebanyak 20 kali dari perhitungan test skor Wild Life, yg setiap bagian loop berlangsung 1 menit, sehingga keseluruhan test berlangsung 20 menit.
Pada loop ke 12 atau 13, Xiaomi 11T Pro akan mengalami overheating dan pengujian otomatis berhenti.
Berapa kali pun saya coba ulang, hal yang sama terjadi konstan, overheating pada loop belasan. Kondisi ruangan standar, cenderung sejuk, walau bukan dengan AC.
Ini agak lebih parah dibanding Xiaomi Mi 11, karena device ini kadang pada pengujian yang sama, bisa overheating, tapi terkadang bisa lewat dan menyelesaikan testnya, walaupun dalam kondisi panas dan device kurang nyaman dipegang.
Pada pengamatan suhu CPU secara internal dengan aplikasi, saat test Wild Life dijalankan, suhu CPU mulai dari setiap cores berkisaran 38-41 derajat celcius. Dalam 1 menit saat benchmark Wild Life selesai Suhu CPU sudah melonjak ke 52-53 derajat celcius.
Saat pengujian stress test, suhu CPU dimulai dari 32-35 derajat celcius, dan saat over heating suhu CPU berkisaran 57-58 derajat celcius.
Saat di test dengan infrared thermometer, dari luar body, suhu tertinggi yang tertagkap 49 derajat celcius.
Hasil benchmark 3DBench Wild Life di 5888, tidak ada penurunan di hasil benchmark GPU, angka tersebut sesuai standar dari Snapdragon 888.
Analisa
Jadi apa yang menyebabkan skor benchmark AnTuTu lebih rendah dari biasanya?
Ada 4 bagian yang di test oleh AnTuTu benchmark. Dan ini hasil dari Xiaomi 11T Pro
CPU 143.656
GPU 304.232
Memory 112.680
UX 118.141
Total: 678.709
Sebagai perbandingan, ini hasil AnTuTu benchmark dari Xiaomi Mi 11
CPU 207.708
GPU 305.367
Memory 133.387
UX 152.292
Total: 798.754
Terlihat dari keempat bagian test tersebut skor CPU Xiaomi 11T Pro terpaut jauh, hanya seratus ribuan, dibanding rata-rata skor CPU Snapdragon 888 di 200 ribuan.
Sementara dari GPU dan bagian lainnya tidak ada perbedaan mencolok.
Jadi sekarang kita tahu bahwa masalah skor AnTuTu dan performa yang dikurangi Xiaomi di Xiaomi 11T Pro adalah memberi limiter pada CPU.
CPU Octacore Snapdragon 888 dibagi dalam 3 cluster
1 core Cortex-X1 @2.84GHz
3 core Cortex-A78 @2.42GHz
4 core Cortex-A55 @1.8GHz
Saat benchmark CPU seperti pada bagian awal AnTuTu atau Geekbench, CPU yang paling cepat performanya harusnya berjalan paling utama, jadi di Snapdragon 888 ini adalah Cortex-X1, CPU untuk performa tinggi.
Tapi ternyata secara schedutil, Xiaomi jarang sekali mengaktifkan CPU Cortex-X1, sehingga bisa dikatakan CPU pada AnTuTu adalah kebanyakan hasil kinerja Cortex-A78.
Demikian juga pada berbagai aplikasi, Xiaomi berusaha tidak mengaktifkan CPU tercepat ini. Alasan pastinya tidak tahu, tetapi kemungkinan untuk efisiensi daya dan menghindari panas berlebih.
Tapi mengetahui hal ini, bisa jadi Xiaomi hanya sedang mempersiapkan firmware baru yang bisa bisa menggunakan kemampuan Snapdragon 888 agar kinerjanya optimal dan tetap irit daya.
Harusnya bagi mereka yang kuatir dengan masalah ini bisa tenang, karena masalah ini bisa diselesaikan dengan update firmware.
120W Hypercharge !
Sepertinya teknologi charging cepat ini yang menjadi daya tarik teratas dari Xiaomi 11T Pro.
Charging smartphone yang biasanya di atas 1 jam, sekarang di klaim Xiaomi hanya 17 menit untuk mengisi baterai dari 2% hingga full 100%.
Xiaomi 11T Pro ini menjadi device pertama yang membawa teknologi pengisian cepat 120W ini.
Segera setelah diumumkan banyak pro dan kontra. Ini wajar karena pemahaman teknologi pengisian cepat baterai masih simpang siur. Kabanyakan orang takut mengenai bahayanya pengisian dengan daya sebesar ini, apakah panas, apakah baterai akan cepat rusak, dan apakah akan mudah meledak, dan jangan-jangan bahkan listrik di rumah bayarnya menjadi mahal.
Untuk membackup teknologi ini, Xiaomi menyertakan sertifikasi dari TUV Rheinland bahwa pengisian cepat ini aman dengan adanya 34 titil fitur keamanan.
Klaim Xiaomi lagi untuk mereka yang takut baterai menjadi cepat rusak, setelah 800 cycle, yang kurang lebih 2 tahun pemakaian, baterai baru akan ada penurunan. Saat itu kapasitas baterai tidak lagi bisa diisi 100%, tetapi sekitar 80%, nilai rata-rata baterai smartphone setelah digunakan 1 tahun..
Benarkah?
Charging cepat tidak akan merusak baterai.
Pada proses charging, akan ada 2 fase. Anggap baterai itu seperti busa yang kering. Ketika dimasukkan ke permukaan yang ada genangan air, maka dengan cepat air tersedot masuk ke dalam busa, sampai pada suatu titik busa sudah basah semuanya. Ini fase pertama.
Fase kedua fase yang lebih sulit, ternyata genangan air masih ada, maka busa yang sudah basah tidak akan semudah pertama kali bisa menyerap air. Ini fase kedua, yang sering disebut fase stress pada baterai.
Makanya ketika baterai smartphone kita mulai habis dan kita fast charging, dengan cepat akan segera naik kapasitasnya. Tetapi saat sesudah 80% terisi, pengisian akan menjadi jauh lebih lambat, walau hanya mengisi 20% baterai agar menjadi benar-benar penuh 100%, sama dengan analogi busa tadi.
Smartphone modern sekarang sudah dilengkapi dengan Power Management IC. Hardware dan software akan memantau dengan tepat panas baterai, apakah device sedang digunakan atau tidak sambil di charge, sehingga bisa mengatur arus yang masuk dengan tepat agar baterai tidak rusak.
Dengan adanya PMIC ini maka, selama tidak ada kesalahan dalam sirkuit atau hardware komponen baterai, maka charging cepat sekelas 120W pun tidak akan merusak baterai.
Sebagai pembanding, kita lihat mobil listrik, kapasitas baterainya ribuan kali smartphone, dan sama-sama juga memiliki charging cepat. Sampai sekarang baterai mobil listrik sekelas Tesla baik-baik saja dipakai tahunan.
Rahasia Hypercharge Xiaomi
120W hypercharge berjalan optimal saat tegangan 200-220V, sementara jika digunakan di Amerika Serikat yang sebagian tegangannya masih 100-110V, maka optimal fast charging nya di 96W.
Dalam proses charging cepat, walaupun di layar akan tertulis 120W Max, sebenarnya daya yang dikeluarkan charger menurun secara gradual dengan semakin terisinya baterai.
120W kira-kira hanya digunakan saat mengisi 20% kapasitas baterai awal, kemudian sampai mengisi kapasitas baterai 40% , daya yang dikeluarkan 100W, demikian seterusnya menurun gradual, sampai saat akhir charger hanya mengeluarkan 7.5W daya.
Tapi hebatnya hypercharge ini tidak melakukan trickle charge, juga tidak melambat di 20% akhir, proses charging tetap terlihat ngebut sampai 100%, sementara kebanyakan proses fast charging melambat dekat dengan 100%.
Ini karena ketika charging sampai 100%, sebenarnya proses charging belum selesai, walau petunjuk baterai sudah menunjukkan 100%. Kalau kita biarkan masih tetap dicolok charger, makan proses charging akan terus berlangsung sampai 8-10 menit kedepan, baru baterai benar-benar penuh. Jadi klaim 17 menit ini di penggunaan real akan sulit dicapai, lebih tepatnya mendekati 30 menit, waktu yang tetap cepat juga untuk proses charging.
Sepertinya ini dilakukan Xiaomi bukan semata-mata untuk mempersingkat pencapaian kecepatan charging yang di klaim 17 menit, tetapi juga berharap pengguna mencabut charger saat mencapai 100% untuk menghindari proses stress pada baterai.
Harap diingat, bukan hanya Xiaomi, tetapi semua klaim vendor smartphone mengenai kecepatan charging berdasarkan percobaan mereka di lab, dengan kondisi dan suhu terjaga.
Jadi klaim seperti charging hypercharge bisa 17 menit dari 2% ke 100% karena kondisi di lab dimana tegangan stabil, suhu terjaga, dll. Sementara realnya kita gunakan bisa jadi berbeda.
Juga test 800 cycle baterai ini dilakukan di lab dengan suhu dan kondisi terjaga, sementara penggunaan real akan di lapangan akan berbeda, suhu panas di luar, ruangan tanpa ac, bahkan suhu yang ekstrim dingin, akan lebih cepat memperpendek cycle baterai.
Tapi bagaimanapun hypercharge ini perkembangan teknologi pengisian baterai yang baik, yang akan membantu saat kita sibuk, bangun pagi lupa charging, atau akan pergi keluar kantor ternyata baterai sudah mau habis, dan kondisi lain sebagainya, akan sangat terbantu dengan charging yg sangat cepat.
Di dalam Xiaomi 11T Pro terdapat 2 baterai @2500mAh untuk pengisian menjadi lebih cepat, karena kedua baterai ini, yang jumlahnya 5000 mAh bisa diisi bersamaan, sehingga seperti layaknya mengisi baterai 2500 mAh saja, lebih cepat penuh.
Charger dan kabel yang digunakan juga khusus, jadi kalau kabelnya kita ganti dengan kabel lain, akan tetap charging, bahkan fast charging, tetapi tidak bisa 120W hypercharge. Makanya kabel yang disertakan color coded, ada warna orange nya untuk membedakan dengan kabel lain dan penampang kabelnya juga lebih besar untuk memperkecil hambatan arus.
Sebagian orang juga takut dengan daya sedemikian besar ketika charging ditinggal tidur, maka kalau terjadi overcharge, dan device akan rusak.
Smartphone sekarang ketika baterai penuh, akan menghentikan proses charging. Jadi overcharge tidak akan terjadi.
Semua ini akan aman selama tidak ada bagian sirkuit yang rusak atau salah.
Jadi jangan takut menggunakan charging cepat, lebih baik melihat benefitnya. Setelah terbiasa menggunakan charging cepat yang tidak perlu ditinggal semalaman sambil charging, kebiasaan charging akan berubah, dan hati akan lebih tenang tidak terlalu kuatir akan device akan kehabisan baterai.
Layar OLED A+
Saya pernah ditanya petinggi Xiaomi saat diskusi, bagian hardware mana yang menjamin akan membuat device menjadi flagship.
Saya bilang layar bagus. Apa alasannya katanya, kok bukan SoC?
SoC flagship, untuk memotong harga device, bisa jadi akan menggunakan layar bukan kualitas terbaik.
Tetapi layar sekelas OLED terkalibrasi, akan sayang digunakan untuk device bukan flagship, karena seringkali harga layar tersebut lebih mahal daripada SoC.
Kali ini angkat topi untuk Xiaomi, yang membawa device flagship dan kemudian layar OLED terkalibrasi dengan harga smartphone di kisaran 7jt saja. Memang sekarang setelah banyak yang menggunakan dan ada banyak pabrik, layar OLED pun menjadi lebih murah harganya.
Layar OLED yang digunakan Xiaomi 11T Pro mendapat rating grade A+ dari displaymate, karena memenuhi beberapa kriteria test.
Xiaomi tidak bilang panel layar OLED apa yang digunakan, tetapi kalau kita baca laporan Displaymate konfigurasi pixelnya Diamond pixel, bisa diperkirakan ini layar AMOLED buatan Samsung.
Layar ini memenuhi beberapa standar color gamut, seperti standar yang digunakan LCD atau percetakan, yaitu sRGB,
DCI-P3 standar color gamut yang digunakan di cinema
Vivid Mode, sRGB yang lebih wide dan kontras lebih tinggi, dll.
Kualtias layar juga melewati uji lain, seperti ketepatan warna saat dipengaruhi cahaya ambien sekitar, kejelasan saat sudut pandang diubah, dll.
Layar Xiaomi 11T Pro sendiri berukuran 6.67”, full HD+.
Support refresh rate kekinian 120Hz dan Touch Sampling Rate hingga 480 Hz.
Mendukung format Dolby Vision sekaligus HDR 10+.
Layar 10bit dengan 1 miliar warna, untuk gradasi warna yang sangat baik.
Dan diberi perlindungan kaca Gorilla Victus yang lebih tahan jatuh dan goresan.
Yang patut diperhatikan dari angka-angka spek layar, salah satunya touch sampling rate. Dengan 408 Hz tidak berarti layar sangat lebih peka terhadap sentuhan di semua keadaan. Tetapi biasanya membutuhkan aplikasi yang mendukungnya, misalnya game-game tertentu. Jadi pada game yang mendukung, touch sampling rate tinggi baru bisa dirasakan kegunaannya.
Secara kemampuan dan spek, layar ini memang pantas untuk digunakan flagship phone. Saat digunakan juga terasa warna-warnanya enak dilihat, pop up, dan kecerahan yang cukup.
Enak digunakan untuk menonton film2 HDR yang sekarang banyak di Netflix, ditambah sudah mendukung Dolby Atmos untuk tata suara dual speaker.
Apa yang kurang dari layar ini adalah tidak tersedianya in-display fingerprint. Jadi posisi pembuka sidik jari tetap ada di samping, bukan bersama layar.
Saya menduga ini salah satu cara Xiaomi memangkas harga agar flagship ini lebih terjangkau. Karena in-display fingerprint membutuhkan area yg lebih bisa ditembus cahaya dan dibaca kamera.
Tapi hal ini bisa diabaikan karena side fingerprint Xiaomi 11T Pro ini juga cepat, dan yang penting kita bisa menikmati layar OLED yang berkualitas.
Kamera
Kamera utama Xiaomi 11T Pro terdiri dari 3 lensa:
108MP kamera wide angle
Ukuran piksel 0,7μm, Super Pixel 9-in-1 2,1μm
f/1,75
8MP kamera ultra-wide angle
FOV 120°
f/2,2
5MP kamera telemakro
f/2,4
AF (3cm-7cm)
Kamera sekarang bergerak tidak hanya untuk gambar diam, tapi sudah banyak meng-explore membuat video. Demikian juga di Xiaomi 11T Pro ini, bahkan sudah support perekaman 8K 30FPS. Juga support video dengan HDR10+
Secara hardware kekurangan kamera di Xiaomi 11T Pro ini untuk sebuah flagship adalah kamera utamanya tidak punya OIS.
Ini tidak berarti foto yang dihasilkan akan banyak blur, karena AI, Software dan ISP sekarang memegang peranan penting, untuk memberikan hasil akhir yang juga bagus.
Xiaomi senang memudahkan penggunanya dengan memberikan efek-efek video, yang biasanya para kreator harus kerjakan dalam banyak take dan pengeditan.
Kali ini efek-efek yang disediakan disebut cinemagic, atau mode di kameranya movie effects.
Sepertinya melihat demo videonya , efek-efek ini menarik, tetapi saya tidak bisa membahasnya karena tidak bisa mencobanya.
Entah mengapa saat di klik fitur movie effectnya, unit akan melakukan download terlebih dahulu, tetapi downloadnya tidak pernah berjalan tetap di 0%, demikian juga di long exposure.
Untuk kamera still, secara garis besar hasil kameranya juga bagus untuk detail, HDR, sharpness, kecepatan fokus, dan masih jelas pada lowlight.
Pada bagian kamera ini memang saya tidak sempat mencoba lebih jauh, mungkin nanti lain kali bisa dibuatkan bagian terpisah, dan ini beberapa contoh hasil kamera. Maafkan objek-objeknya tidak spektakuler, tetapi kiranya bisa cukup mewakili.
Penutup
Dengan harga 7Jt an, sebenarnya kita bisa mengabaikan berbagai kekurangan yang tidak terlalu esensial pada sebuah flagship.
Kekuatan Xiaomi 11T Pro ini ada di flagship chipset Snapdragon 888, Layar grade A+ dengan dual speaker yg di tuned oleh Harman Kardon sekaligus memiliki tata suara Dolby Atmos, dan teknologi hyper charging 120W.
Walau dalam hasil test seperti AnTuTu yang skornya di bawah sesama flagship, bahkan lebih rendah daripada flagship dengan chipset di bawahnya seperti Snapdragon 870, tetapi saat digunakan real bermain game, performanya tetap bagus, dan tidak panas untuk game cukup berat seperti PUBG, hanya sedikit hangat.
Saat review ini ditulis, Xiaomi 11T Pro juga mendapat update ke MIUI 12.5.2 yang utamanya perbaikan perfoma.
Tetapi update ini tidak membuat AnTuTu benchmark menjadi lebih baik skornya, sama saja masih di 600rb an.
Kemudian saat di stress test ulang di 3D Mark Wild Life, loop yang dilewati hampir saja bisa selesai, sudah melewati loop 17 dari batas 20 loop. Waktu di cek dengan infrared thermometer suhu malah lebih tinggi bisa sampai 52 derajat, dimana sebelumnya di 49 derajat akan overheating.
Tetapi ternyata Xiaomi 11T Pro sepertinya harus membuat update lagi yang lebih baik, untuk menundukkan GPU Adreno Snapdragon 888, karena sebelum selesai semua loop, over heating tetap terjadi.
Dari suhu yang bisa lebih tinggi dibanding sebelumnya, firmware MIUI update ini sepertinya menaikan batas suhu untuk performa GPU bisa lebih dipompa, tetapi belum bisa menundukkan efek panasnya Snapdragon 888.
Semoga update berikutnya lebih baik.
Bagaimanapun sebuah flagship smartphone yang ingin semuanya serba top notch spek dan fiturnya, tetap sampai sekarang masih harus dibayar lebih.
Tetapi kita harus berterima kasih kepada Xiaomi yang berusaha membuat semakin banyak orang bisa mencicipi seperti apa performa sebuah smartphone flagship, dengan segala ramuan spek dan harganya.
Semakin kesini terlihat semakin baik Xiaomi meramu flagship nya, harga semakin terjangkau, tetapi spek semakin baik.
Kita nantikan saja.
Sangat senang membaca blog seperti ini, aap adanya dan mudah dimengerti.