Shenzhen, China’s Silicon Valley
*Kali ini saya tidak berbicara tentang gadget, yang lebih sederhana saja, cerita pengalaman jalan-jalan, siapa tahu cocok jadi penulis traveling 😀
Bulan April lalu, saya diundang Huawei untuk menghadiri HAS 2018, Huawei Analyst Summit, di Shenzhen, China. Perjalanan ini berkesan, bukan saja untuk melihat teknologi masa depan yang sedang dikembangkan Huawei, tapi mengenal lebih dekat siapa Huawei dan melihat kota Shenzhen sebagai wajah baru China.
Shenzhen akan menjadi cerita pertama dalam tulisan yang akan saya buat menjadi 3 bagian, berikutnya saya akan bercerita tentang siapa Huawei yang saya lihat, dan kemudian masuk ke cerita pamungkas tentang HAS 2018.
Cerita tentang Shenzhen di sini sebagai perjalanan pembuka, semoga ringan dan bisa dinikmati, juga oleh calon traveler lain, sebelum kita masuk ke dua cerita selanjutnya.
Perjalanan
Kita banyak mendengar cerita, bahwa pertumbuhan China seperti keajaiban. Orang-orang yang ke sana 10-15 tahun lalu dan kembali lagi, katanya akan ter-nganga, mereka tidak percaya kota-kota China bisa tumbuh sedemikian pesat menjadi sangat moderen. Dan kita akan melihat Shenzhen, salah satu kota yang dikabarkan paling maju di sana.
Dari Indonesia ke Shenzhen, kita bisa memilih pesawat yang langsung mendarat di sana, atau via Hong Kong. Rombongan kami, lebih tepatnya grup kecil, karena kami hanya berlima, saya, perwakilan Huawei Indonesia, dan 3 media dari Indonesia memilih lewat Hong Kong. Penerbangan dari Jakarta mendarat di Bandara Internasional Hong Kong yang sering disebut juga Chep Lap Kok airport, karena berada di pulau yang namanya sama, berlangsung kurang lebih 5 jam.
Dari bandara Hong Kong ada banyak cara untuk menyeberang ke Shenzhen, bisa lewat kapal Feri, Kereta Api, Bus, atau Private Van Limousine. Kebetulan kami menggunakan mobil van yang nyaman sekelas Alphard, pilihan ini ternyata umum bagi para pendatang, selain ukuran mobil yang besar bisa memuat penumpang dan koper, ternyata nanti sangat diperlukan saat melewati imigrasi China.
Perjalanan darat ini menjadi etalase “show off” pemerintah China saat penyeberangan antar pulau dari Hong Kong hingga Shenzen yang melewati 4 jembatan yang berdiri di atas laut. Jembatan pertama Kap Shui Mun Bidge, kedua Tsing Ma Bridge, ketiga Ting Kau Bridge yang menghubungkan antar pulau-pulau Hongkong. Ketiga jembatan ini berbeda desain, dan Tsing Ma Bridge ini jembatan gantung dengan span terpanjangnya, jarak antar tiang, dan panjang jembatan seluruhnya, lebih panjang dari Goldeng Gate Bridge di San Francisco yang terkenal.
Tiang-tiang jembatannya gigantik menjulang setinggi 200 meter lebih dan jembatannya sendiri berada 50 meter lebih dari permukaan laut agar kapal laut bisa lewat di bawahnya. Dari atas jembatan ini kita bisa melihat pulau-pulau Hong Kong, yang sebagian tepi pulau-pulau ini banyak berdiri apartemen yang menghadap laut, termasuk resort Gold Coast yang terkenal.
Jembatan terakhir Shenzhen Bay Bridge terbentang sepanjang 5.5 KM menghubungkan kepulauan Hong Kong dengan China Mainland. Jembatan ini membelah teluk Shenzhen.
Sesampai di China Mainland, kita masuk imigrasi Shenzen Bay Custom, pemeriksaan pertama seperti kita melewati gerbang tol, gerbangnya sangat banyak karena kendaraan yang melewati juga banyak. Lebih besar dari gerbang tol masuk Jakarta terbesar.
Di “gerbang tol” ini paspor dikumpulkan di supir dan diperiksa. Supir lewat switch di dashboard membuka semua pintu geser penumpang, hingga pintu bagasi belakang. Jadi ini salah satu tujuan kenapa menggunakan mobil kelas Alphard dkk, karena jika supir harus turun membuka satu persatu pintu, betapa repotnya. Setelah pintu kendaraan terbuka, terlihat ada banyak kamera mengarah ke dalam mobil, setidaknya lebih dari 5 kamera. Ada petugas juga yang turun dan mengarahkan pistol pemindai ke arah semua penumpang satu per-satu, pistol pemindai ini menggunakan infra merah untuk mengetahui suhu badan kita. Penumpang yang sakit bisa segera terdeteksi. Kita ingat dulu penyakit SARS pertama menjadi epidemik di provinsi ini, dan sepertinya pemerintah China tidak ingin lalai lagi.
Setelah pos pemeriksaan ini lewat saya pikir sudah clear dan kita bisa langsung menuju pusat kota, ternyata tidak. Tidak jauh dari “gerbang tol” ini kita harus turun dan membawa koper bawaan ke imigrasi seperti saat kita baru turun dari pesawat. Imigrasi dan loketnya besar dan banyak, dan orang yang melewatinya juga sangat banyak, ribuan. Puluhan mesin otomatis pemindai jari di setiap bagian tersedia, dan kita harus memindai kesepuluh jari kita di mesin tersebut sebelum antri melewati petugas imigrasi. Karena banyaknya loket dan kesiapan mesin-mesin otomatis, proses antrinya tidak lama.
Sama seperti di imigrasi banyak bandara, ada pemeriksaan yang cepat dan sedikit lebih lama, tergantung pertanyaan petugas, di sini juga sama tetapi cenderung semuanya cepat. Kemudian setelah melewati petugas, koper dan tas kita harus melewati mesin scan sekali lagi sebelum semuanya clear, nyamannya di imigrasi ini tidak harus buka jaket, meletakkan smartphone dan barang elektronik di tray, buka sabuk hingga buka sepatu, hanya scan koper saja.
Catatan yang mungkin penting, di gedung imigrasi luas dan besar ini, saya tidak menemukan WC atau kamar kecil sekalipun, baik sebelum atau sesudah melewati konter petugas, jadi tahan ya buat yang menerima panggilan alam :-). Sepertinya kamar kecil ini berada di bagian luar gedung lain dan tidak mudah dicapai dengan mudah, dan tidak disediakan di dalam karena arus penumpang yang melewatinya sangat banyak, hingga keberadaan kamar kecil mungkin akan membuat proses imigrasi ini lebih lambat.
Melewati pintu keluar, van kita sudah menunggu di tempat parkir yang tidak jauh, dan perjalanan dilanjutkan. Hal unik kendaraan van yang banyak berbasis di Hong Kong, setir-nya ada di sebelah kanan seperti di negara kita Indonesia, sementara memasuki Shenzhen, mereka seperti negara Amerika, setir di kiri. Jadi dalam waktu singkat sekitar 2 jam perjalanan dari bandara Hong Kong ke Shenzhen, aturan mengemudi berubah.
Shenzhen
Katanya kendaraan yang lalu lalang di jalan kota bisa menjadi barometer seberapa kaya kota tersebut, dan saat menapaki jalan di Shenzhen jarang sekali kita melihat mobil ketinggalan jaman. Mobil kelas atas seperti Tesla, Maserati, BMW, Mercedes, GM, lalu lalang di kota ini seperti mobil biasa. Jalan-jalan di kota Shenzhen lebar, mulus, dan memiliki trotoar yang juga lebar dan rapi.
Shenzhen adalah Silicon Valley-nya China. Di kota ini tempat berkumpul pemain industri ICT (Information and Communication Technology) besar China, seperti Huawei, ZTE, dan Tencent. Aksesoris smartphone yang berseliweran di pasar Indonesia, dari charger, casing, power bank, kabel data, dan lain sebagainya, kemungkinan besar di-impor dari kota ini. Semua smartphone baru, terutama flagship dari China brand, seperti Huawei Mate RS, P20series, Black Shark, Mi8, Smartisan R1 dan lain sebagainya kemungkinan besar bisa di dapat di kota ini lebih dulu.
Selain ketiga pemain besar yang kita sudah familiar namanya, di kota ini juga ada BYD, perusahaan besar seperti Tesla nya Elon Musk, yang juga membuat mobil listrik dan juga menjadi perusahaan pemasok baterai rechargeable terbesar dunia. Bahkan perusahaan riset yang memetakan DNA manusia-pun ada di kota ini, namanya BGI.
Sama seperti Silicon Valley, dimana teknologi berkumpul, berarti banyak orang pintar berkumpul dan investasi berkumpul, Shenzhen termasuk salah satu kota termahal di China. Saya juga melongo ketika pemandu grup kita yang gaul, fasih berbahasa Mandarin, Inggris dan Spanyol, menceritakan kalau harga tanah di Shenzhen sekarang sekitaran 200 juta rupiah per meter persegi. Kalau mau punya rumah di kota Shenzhen dengan ukuran untuk kelurga kecil di bawah 100 meter persegi, kira-kira kita butuh punya uang 9 miliar rupiah. Kabarnya harga properti ini sudah mengalahkan daerah sekitaran Silicon Valley Amerika.
Shenzhen dahulunya hanya sebuah kawasan pedesaan yang gagal di China, tanahnya sulit ditanami, dan sebagian penduduknya mencari nafkah menjadi nelayan.Tahun 1980, di era kepemimpinan Deng Xiaoping yang dikenal sebagai Bapak Arsitek Ekonomi China, kawasan ini diubah menjadi zona ekonomi khusus, mungkin seperti Batam kalau di negara kita, yang sedang diarahkan menuju ke sana.
Di Shenzhen museum kita bisa menapaki perkembangan kota Shenzhen secara khusus dan China secara umum, mulai dari asal muasal nenek moyangnya , era kerajaan seperti yang kita tonton di film-film kungfu, sampai China bisa diperdaya asing karena opium atau candu, hilangnya hak atas Hong Kong, hingga menjadi Shenzhen yang sekarang. (So boys and girls, sejarah menunjukkan drugs not cool 🙂 )
Buat yang tertarik melihat perkembangan sejarah kota ini, Shenzhen Museum sangat recommended, banyak diorama menarik bisa diikuti alurnya. Diorama ini dibuat dalam berbagai bentuk, kadang dari patung-patung kecil tanah liat yang artistik, kadang dibuat dengan ukuran asli dan patung yang mirip dipadu dengan layar film atau lukisan 3D di belakangnya, atau patung-patung perunggu.
Buat mereka yang suka dengan teknologi, sebelum masuk museum ada locker khusus yang tidak menggunakan anak kunci, kuncinya bekerja dengan scan bar code.
Karena berdekatan dengan Hong Kong yang saat itu masih di bawah pemerintahan Inggris dan lebih maju, pemerintah China menginginkan kawasan ini berkembang tidak kalah dengan Hong Kong, sebagai wajah China di bagian selatan. Dan sekarang hasilnya, kota Shenzhen selain terlihat lebih modern juga lebih tertata. Sisa-sisa “kota” Shenzhen jaman dulu masih bisa disaksikan, dibelakang hotel kami yang modern, masih terlihat flat jadul yang penuh berisi penghuni. Terkadang drama seperti orang saling teriak-teriak dengan tetangganya juga bisa kita dengar.
Kita di sini sering mendengar protes bahkan umpatan, ketika pengendara mengemudi seenaknya, apalagi kalau mengemudi mobil bagus tetapi malah sembarangan. Di Shenzhen pengemudi cenderung tertib, tidak ada yang melanggar lampu merah, tidak ada yang seenaknya menyerobot. Apakah standar orang China sudah mendekati orang barat? Padahal kita masih mendengar bahwa turis-turis China banyak sulit taat peraturan di banyak tempat di negara barat.
Ternyata memang pemerintah dan aturan juga yang menentukan bagaimana masyarakat bisa diajar untuk tertib dan mengubah kebiasaan. Di Shenzhen kamera pengawas ada di mana-mana, tidak hanya di lampu merah. Kabarnya setiap pelanggaran akan terekam dan mengalami sanksi. Ketika aturan ditegakkan dan pengawasan digalakkan, masyarakat cenderung lebih tertib. Suatu saat ini akan menjadi kebiasaan.
Kamera-kamera pengawas di kota Shenzhen ini pengenalannya sampai tingkat wajah. Saat kita sekarang masih senang-senangnya baru unlock smartphone dengan pengenalan wajah, kamera pengawas di kota ini sudah melakukannya di mana-mana. Kita akan membahas lebih lanjut teknologi yang sepertinya hanya di film-film fiksi Hollywood ini nanti di artikel berikutnya. Tetapi selama beberapa hari berkeliling di Shenzhen, saya dan anggota grup media sering berkelakar untuk bergantian duduk di depan di sebelah supir yang necis, katanya supaya muka kita bergantian direkam lebih jelas oleh kamera pengawas, masuk database kota Shenzhen :-D.
Dibalik rapi dan tertibnya kota Shenzhen, ada satu yang bisa kita amati dan bisa dianggap kekurangan, langitnya sering tidak biru. Ini terjadi juga di kota-kota yang padat di China seperti Beijing, kendaraan dan banyaknya industri menyumbang polusi. Untuk itu kabarnya pemerintah di sana sudah mencanangkan akan beralih seluruhnya ke kendaraan listrik dalam waktu dekat. Bus-bus di Shenzhen sekarang ini sudah menggunakan listrik sebagai tenaganya.
Cashless Society
Ingat ketika Google merelease android pay, Apple dengan Apple Pay, sejak beberapa tahun lalu? Kita menganggap orang barat akan menjadi masyarakat pertama yang akan berpindah dari uang kontan, ke kartu kredit, kemudian ke pembayaran digital dengan smartphone. Tetapi ternyata China yang menjadi cashless society pertama.
Bahkan prosesnya tidak serumit seperti seperti android pay atau google pay yang menjadikan smartphone sebagai pengganti kartu plastik kartu kredit dan masih membutuhkan mesin EDC, atau kadang kita kenal dengan mesin gesek kartu kredit. Di Shenzhen hanya dibutuhkan QR code, sama seperti mudahnya kita membaca QR code di desktop komputer dengan smartphone untuk bisa Whatsapp via komputer.
Pembayaran digital ini di Shenzhen sudah hampir meliputi segala bagian, dari membeli bensin, tiket MRT, bus, taksi, sewa sepeda, membayar belanjaan, makan di restoran, hingga kedai kaki lima pinggir jalan. Cukup nyalakan smartphone, pilih pembayaran digital yang akan digunakan, misalnya Alipay dari Alibaba grup atau lewat aplikasi Wechat, scan QR code, masukkan nominal, dan selesai. Resi transaksi akan dikirim secara digital ke smartphone kita.
Wechat ini aplikasi yang kita juga bisa kita install dan digunakan untuk chatting di Indonesia, aplikasi ini sebenarnya rip-off atau tiruan dari WhatsApp yang sudah umum kita gunakan. Hanya Wechat yang dikembangkan Tencent ini yang awalnya sekedar aplikasi untuk chatting, berkembang luar biasa lebih dari yang ditiru menjadi one stop app, di dalamnya ada news feed, daftar periksa dokter, musik, video, game, map, AR, mobile payment, dan banyak lagi.
Di negara kita fintech ini juga sedang mulai berkembang, hanya saja masih terbagi-bagi dan belum terintegrasi seperti pembayaran digital di China. Kita sudah membayar tol secara digital, tetapi tetap kita membutuhkan kartu plastik. Naik bus trans jakarta, kartu plastik yang lain, member dari supermarket untuk diskon, kartu plastik yang lain, padahal kartu plastik ini bisa ditiadakan dan diganti dengan smartphone saja. Kabarnya ini tidak lepas dari para pemain di bidang pembayaran digital ini yang melihat penyediaan kartu plastik juga memberikan tambahan keuntungan dengan perlunya biaya pengadaan kartu plastik ini.
Salah satu keuntungan menjadi cashless society ini untuk individu kemudahan dan kenyamanan, untuk pemerintah dan perusahaan meminimalisir kecurangan, mempercepat proses transaksi, mengurangi banyaknya orang/badan di tengah proses ini, meminimalisir penggunaan kertas, mengurangi uang rusak, dan lebih mudah diawasi.
Karena saya tidak punya akun uang digital ini, suatu saat saya iseng belanja di Miniso di pusat kota dan membayar dengan uang kertas. Sepertinya kasir sudah terbiasa orang membayar secara digital, sehingga tidak seperti kasir kita yang siap dengan semua pecahan mata uang, kasir miniso ini sepertinya tidak. Jadi dia bertanya ke rekannya, punya pecahan sekian? Tidak ada. Ke rekan yang lain, tidak ada. Sampai akhirnya ada rekannya yang membawakan entah dari mana pecahan uang tersebut. Ketika saya selesai transaksi dan melihat ke belakang, antriannya sudah panjang, dan saya merasa bersalah merepotkan dan menghabiskan waktu mereka yang berharga untuk mengantri 🙂
Jadi satu kelebihan cashless society ini meminimalisir kembalian receh yang terkadang sulit atau tidak tersedia, yang dulu kita di supermarket sering diganti permen kalau kasirnya tidak punya receh, tetapi besoknya kalau kita bawa permennya untuk pembayaran pengganti uang receh, malah tidak diterima :-). Transaksi digital ini juga demi antrian juga cepat, pembeli senang tidak capai antri, dan penjual juga bisa melayani lebih banyak pelangggan.
Bayangkan pedagang-pedagang kecil pinggir jalan, misal tahu gejrot, saat menyiapkan pesanan, memegang tahu dengan tangan, kemudian dengan tangan yang sama menerima uang, mencari kembalian, memegang lagi tahu, tidak higienis. Di negara kita, Gojek lewat gopay juga sudah mulai nih bekerjasama dengan pedagang kaki lima, walau area nya masih kecil belum semasif di China. Semoga nantinya berkembang tetapi tidak dengan layanan terpisah-pisah karena berkembangnya banyak bisnis fintech.
Atau saat mendekati Lebaran, kita melihat penjaja penukaran uang di sepanjang jalan, karena tradisi memberikan uang baru saat Lebaran. Di China sendiri pada tahun baru juga tradisi ini dikenal yang kita sering dengar diberi nama Ang Pao, diberikan dari orang tua kepada anak-anak, (atau anak yang sudah dewasa dan menikah kepada orang tua), sebagai perlambang permulaan rejeki musim semi dalam bentuk uang di dalam amplop merah.
Wechat sudah merubah kebiasaan ini menjadi amplop merah digital dipercantik dengan animasi, bisa dikirim dari grup, dari perusahaan kepada karyawan, dan lain sebagainya. Bayangkan jika kita juga menggunakannya saat Lebaran, bank tidak perlu mencetak uang baru, orang tidak perlu mengantri ke bank, tidak perlu ada penukar uang dipinggir jalan, meminimalisir kehilangan uang yang jatuh atau dicuri, tidak butuh waktu khusus memasukkan uang ke dalam amplop, dan lain sebagainya.
Masalah yang ditakuti dari pergantian sistem ini biasanya bertalian dengan keamanan, dimana ada uang, disana juga ada orang yang akan mencoba berniat jahat, misalnya dengan membobol sistem atau mengakalinya. Koordinasi pengembang fintech dengan aturan pemerintah ini yang sangat diperlukan untuk keamanan dan kenyamanan.
Terus pertanyaan kita pertama kali ketika sistem yang sudah berlangsung lama harus diganti dengan yang baru biasanya, “ah bagaimana mungkin bisa, kan banyak orang-orang kita yang gaptek?. Orang tua apa bisa menggunakan sistem digital ini?”. Gaptek atau gagap teknologi ini memang sering menjadi kendala seolah-olah tembok tinggi yang tidak bisa dilewati. Kemudian pertanyaannya, bukankah China sendiri sangat kental dengan tradisi ?, bukankah orang tua juga banyak di China ?, bukankah mereka juga ada pedagang sayur, tukang gerobak, petani, nelayan, dan mengapa mereka bisa? Seringkali hambatan ini hanya asumsi.
Lihat supir taksi kita yang marah-marah dengan keberadaan taxi online, tetapi sekarang sebagian supir sudah bisa memanfaatkan teknologi ini. Lihat abang-abang ojek yang beralih menjadi ojek online, bukankah mereka sebelumnya juga yang dianggap gaptek ?, bukan bagian dari kasta sosial pengguna teknologi, ternyata mereka bisa.
Sebelum ribut-ribut soal taksi online saya pernah ke Beijing dan beberapa kali naik taksi biasa dan taksi online. Pengemudinya kebanyakan orang tua yang sudah berumur. Tetapi di dashboard mereka ada 2 smartphone, satu menunjukkan peta digital, satu lagi untuk menerima order. Sepanjang perjalanan mereka asik bercakap-cakap dengan teman taksinya bertukar informasi melalui smartphone dengan aplikasi seperti walkie talkie. Taksi kita saat itu masih mengandalkan radio CB.
Di Shenzhen ini saya tidak sempat mencoba naik taksi biasa, karena tersedia mobil van. Tetapi saat saya kembali ke China ini, Uber yang dulunya jaya, sudah dibeli oleh Didi Chuxing , perusahaan taksi online dalam negeri karena kalah bersaing. Bayangkan perusahaan global besar, termasuk perintis taksi online kalah bersaing dengan perusahaan lokal.
Sambil makan bersama yang sering ditemani oleh pemandu yang memiliki pengetahuan yang luas, sering kita gunakan untuk ajang diskusi tentang apa yang sedang terjadi di China. Hal ini juga kita tanyakan, bagaimana negara China bisa mengubah “kegaptekan” penduduknya untuk menjadi lebih maju dan fasih dengan teknologi digital.
Menurutnya, pertama saat memperkenalkan teknologi digital, pemerintah harus andil besar di sini. Di China harga koneksi internet sangat murah tuturnya, smartphone juga murah. Jika murah, banyak rakyak bisa mengakses dan mencobanya, jika mahal tentu saja akan jadi penghalang. Masuk akal ya, jadi gaptek bukan tembok yang tidak bisa dilewati. Lihat saja di negara kita ketika jalan tol sudah dipaksa menggunakan pembayaran digital, pertama pasti ribut-ribut lah, tetapi setelah berjalan, ternyata supir-supir yang dianggap gaptek juga bisa menggunakannya.
Dalam perbicangan selanjutnya Ia juga bercerita, dulu masyarakat China juga rendah diri, mereka ketinggalan oleh saudaranya Taiwan, mereka melihat pemimpin Taiwan berpandangan maju, bertutur kata dengan baik, dan mementingkan pendidikan. Ketika Deng Xiaoping bapak Arsitek Ekonomi China memimpin, paham negara tertutup dibuka. China mengirim banyak orang belajar ke luar negeri dan meminta mereka kembali membangun. Kebijakan harus dalam satu koridor yang sama, dan penghalang seperti korupsi harus diberantas.
Sekarang kita melihat China memang sebuah keajaiban, dalam waktu singkat menjadi negara yang sangat maju. Menurutnya masyarakat China banyak berterima kasih kepada pemimpin mereka Deng Xiaoping yang bisa mengubah China menjadi maju, bahkan patungnya khusus didirikan di atas bukit Lianhuasan, yang bisa memandang ke arah kota Shenzhen, karena berkat pandangannya untuk mengubah Shenzen dari desa yang miskin sulit ditanami menjadi zona ekonomi khusus berdampak sangat terhadap kemajuan China di industri teknologi digital.
Karena berbincang-bincang sambil makan bersama memang mengasikkan, kita bertanya pula tentang hal-hal yang lebih mendasar. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap partai berkuasa (yang seperti Voldemort “who cannot be named” terlalu sensitif partainya kalau disebut di sini wkwkwk). Jawabannya begini, masyarakat di sini tidak begitu peduli siapa yang harus memimpin, semua di bawah partai, selama pemerintah bisa menjamin keamanan, bisa menyediakan pendidikan, dan lapangan pekerjaan, apa lagi yang harus kami persoalkan? Bukankah itu yang terpenting bagi kita masyarakat, memiliki pendidikan dan pekerjaan untuk bisa hidup dengan baik? katanya.
Bike Sharing
Disetiap lampu stop-an di negara kita, kita melihat motor menyemut di depan. Seperti kerikil yang menyempil di sela-sela batu besar, demikian motor di negara kita menyempil di banyak celah mobil.
Di Shenzen yang mungkin kurang saya jelajahi lebih jauh, fenomena ini tidak saya temui, tetapi di Vietnam juga sama dengan Indonesia dimana motor begitu menyemut. Dibanding motor lebih banyak sepeda yang lalu lalang di Shenzhen, dan uniknya sepeda ini model-model dan warnanya sama, kebanyakan didominasi warna biru, orange dan kuning. Ternyata ini adalah bike sharing yang cara sewa nya sederhana dan murah.
Sepeda ini khusus dibanding sepeda biasa, di dalamnya ada GPS, ada baterai yang bisa diisi dengan solar cell yang terletak di keranjang depan, atau dengan energi kinetik saat dikayuh. Gunanya baterai ini bukan untuk menjadikan sepeda bermesin seperti electric bike, tetapi lebih untuk mentenagai GPS dan kartu SIM di dalamnya untuk mengirimkan posisi. Sepeda ini dilengkapi dengan kunci di roda belakang dan terdapat QR code. Kita bisa menyewanya lagi-lagi hanya dengan aplikasi Wechat atau aplikasi bike sharing khusus, sesuai perusahaan yang menyediakan sepedanya. Bike sharing ini walau dijalankan oleh banyak perusahaan, Ofo dan Mobike menjadi yang paling luas dikenal.
Ketika aplikasi bike sharing dibuka, kita bisa melihat keberadaan sepeda terdekat dengan kita yang available pada map. Scan barcode dan kunci sepeda terbuka dan bisa dikendarai kemana saja. Setelah selesai, kunci ulang sepeda dan tinggalkan di trotoar dan langsung ada notifikasi sepeda selesai digunakan dan tagihan sewa dipotong dari saldo kita. Biaya sewanya murah hanya 1 CNY per 30 menit atau dirupiahkan sekitara 2200 rupiah. Jadi kalau kita menggunakannya selama 1 jam, berarti sekitar 4400 rupiah dan sesuai jarak tempah standar sepeda, sekitar 15 KM.
Pengguna juga bisa melaporkan jika sepeda yang mereka gunakan rusak lewat aplikasi, nanti perusahaan sepeda akan menjemputnya di tempat sepeda tersebut parkir. Biasanya setiap malam perusahaan tersebut akan menyisir lagi ke tempat-tempat sepeda ditinggalkan melalui data GPS, kemudian mengumpulkannya pagi-pagi di daerah di mana akan banyak orang membutuhkan, misalnya dekat stasiun, di komplek perumahan, dan lain sebagainya.
Bike sharing ini konsep yang menarik, di Bandung pun di kota saya tinggal ada, diprakarsai oleh Pemda, tetapi saya tidak pernah mencobanya karena prosesnya lebih berbelit. Sepeda ini ada shelter atau stasiunnya di beberapa titik, dan harus dikembalikan ke stasiun-stasiun sepeda tersebut karena sistem pengunciannya ada di stasiun, berupa docking. Untuk menggunakan sepeda pertama harus registrasi kepada petugas dan lagi-lagi diberi kartu plastik sebagai tanda pengenal, dan tidak disetiap stasiun sepeda kita bisa registrasi. Jam operasionalnya juga terbatas, dan jumlah sepedanya juga tidak banyak di setiap stasiun. Disediakan juga aplikasinya di play store bernama Boseh, tetapi melihat dari jumlah downloadnya selama setahun beroperasi, terlihat bike sharing di Bandung ini tidak banyak menarik minat.
Membandingkan bike sharing ini bukan berarti kita mengecilkan upaya rintisan di negara kita, tetapi supaya kita bisa melihat apa yang harus dilakukan supaya usaha ini berhasil.
Pertama tentu usaha rintisan ini takut dengan kehilangan sepeda sehingga harus berhati-hati agar tidak banyak hilang. Betul, usaha awal bike sharing di China juga mengalaminya. Ratusan sepeda hilang, dan sikap pelanggan yang seenaknya meletakkan sepeda di tempat berbahaya, atau meninggalkannya seenaknya bahkan menumpuknya sembarangan. Memang yang paling sulit adalah mengatur karakter masyarakat. Padahal karakter manusia ini yang menjadi salah satu tolak ukur negara maju, hal mudah untuk dibicarakan tetapi sulit dilaksanakan, membuang sampah pada tempatnya, mengantri dengan tertib, menghargai fasilitas umum, dan menghargai orang lain.
Jika program bike sharing ini bisa menjadi salah satu cara pemerintah mengajar masyarakatnya untuk menghargai fasilitas umum dan berkarakter lebih baik, harusnya tidak takut untuk menjalankannya. Resiko pasti ada, tetapi bisa dicari cara untuk mengatasinya.
Bike sharing ini menarik untuk menjadikan masyarakat lebih sehat, sekaligus mengurangi polusi. Untuk itu memang selain tersedia sarana bike sharingnya, harus tersedia jalurnya yang aman. Ini yang menjadi kendala di banyak kota di negara kita, jalan hanya diperuntukkan untuk kendaraan mobil dan motor, sehingga pengendara sepeda menjadi tidak aman untuk melaluinya.
Bandung juga beberapa tahun lalu sama dengan kota besar lainnya heboh soal sepeda. Komunitas sepeda berkembang, komunitas bike to work mendapat gaungnya. Jalan dibuat khusus jalur sepeda dengan warna khusus. Sama seperti kita membuka botol minuman bersoda, desisnya hanya berlangsung sebentar, buih-buih segera “menguap” , dan jika ditinggalkan dalam waktu lama saat diminum tidak beda dengan air gula yang diberi perasa, demikian juga dengan demam sepedanya. Sekarang ini pengguna sepeda tetap ada, tetapi lebih banyak hanya saat hari libur atau car free day.
Mengapa tidak bertahan lama, tetapi di China dan Belanda orang-orang naik sepeda selalu umum? Karena ini butuh usaha bersama dari pemerintah dan masyarakat.
Jalur sepeda di Bandung tidak pernah steril, warna jalur sepeda juga segera pudar, pengendara sepeda tidak dihargai pengendara motor dan mobil. Tempat-tempat umum hanya menyediakan parkir untuk motor dan mobil, mereka tidak peduli untuk sepeda. Jadi akhirnya lambat laun pengendara sepeda juga berhenti karena takut celaka atau sepedanya hilang.
Bike sharing mungkin membuat orang mau naik sepeda lagi, karena tidak harus berpikir panjang untuk mencari parkir dan mengunci sepeda di tempat khusus. Tetapi selain ada penyelenggaranya, juga harus ada kemauan pemerintah membuatkan jalurnya yang lebih aman, karena sepertinya selama ini seperti trotoar dirancang oleh pemerintah yang perancangnya tidak pernah mencoba berjalan di trotoar, demikian pula sepertinya jalur sepeda sering dibuat bukan oleh orang yang berpengalaman bersepeda di tempat umum, mereka akhirnya tidak tahu apa basic needs dari kebutuhan pejalan kaki dan pengguna sepeda.
Saya percaya kalau dibandingkan antara penduduk kota kita dengan orang Singapura saja, kemungkinan besar orang Singapura lebih sehat. Kendaraaan di sana mahal, pajaknya luar biasa, ongkos parkirnya luar biasa, tetapi kendaraan publiknya tersedia dengan biak. Setiap orang perlu berjalan ke halte atau berpindah dari stasiun MRT ke MRT dengan berjalan kaki. Setiap hari kebanyakan orang berjalan ribuan langkah. Trotoarnya juga nyaman, lebar dan bersih.
Sedangkan di kota-kota kita, cukup ke jalan depan rumah dan angkot bisa berhenti tepat depan rumah dan turun di mana saja. Siapa yang mau berjalan kalau naik angkot lebih nyaman? Trotoar lebar dan nyaman untuk pejalan kaki kah? Sayangnya lebih banyak untuk kenyamanan pedagang kaki lima, kalaupun tidak ada pedagang kaki lima, entah mengapa pemda di sini senang menaruh pot-pot jumbo, tanda himbauan, panel listrik, bola beton, dlsb, yang akhirnya area untuk pejalan kaki tetap kecil 🙂
Ketika kita menjadi orang tua dan mau mendidik anak dengan baik, jika mereka melakukan kesalahan atau malas apakah kita memberi mereka sanksi? Bukankah kita mengawasi mereka dan mengajar mereka untuk keamanan dan keberhasilan mereka kelak ketika harus mandiri?
Sebelum kesadaran itu menjadi tradisi dan kebiasaan umum, tugas pemerintah untuk mengawasi dan membentuk masyarakat. Kita boleh menganggap terlalu banyak aturan di Singapura, dan sepertinya polisi dan petugas keamanan di China lebih tidak kenal kompromi, kamera ada dimana-mana dari setiap persimpangan jalan, lampu jalanan, hingga di dalam bus, apakah tidak mengorbankan privasi? Tetapi ya ini dibutuhkan untuk mengubah kebiasaan masyarakat menjadi tertib, lebih aman dan nyaman, seperti cara yang digunakan oleh pemerintah kota Shenzhen untuk segera berbenah dan maju mengejar ketinggalan negara barat.
Sekedar aturan dan tindakan saja tidak bisa mengubah masyarakat, tetapi jika fasilitas sudah disediakan dan nyaman digunakan, masyarakat tetap melanggar, ya sanksi harus ditegakkan. Seumur-umur saya belum pernah lihat tong sampah punya panel tenaga surya dan memiliki lampu petunjuk untuk mengetahui keberadaaannya saat malam hari, dan tong sampah ini ada di Shenzhen. Selain tersedia bin khusus sampah organik dan non organik, tong sampah ini juga menyediakan tempat untuk mematikan dan membuang puntung rokok. Ternyata tong sampah ini walau sudah terlihat keren, di markas besar Huawei saya akan melihat tong sampah yang lebih ajaib lagi.
Pasar Elektronik Terbesar
Seperti kita ceritakan di awal, kemungkinan besar aksesoris smartphone atau komputer, bahkan smarthone BM yang beredar di Indonesia berasal dari Shenzhen. Pecandu elektronik akan betah berlama-lama berkeliling di Huaqiang Bei, ini kawasan pasar elektronik khusus di Shenzhen yang terkenal. Mungkin Indonesia punya Roxy, Glodok, dan banyak kawasan elektronik lagi di kota-kota di Indonesia, tetapi tidak ada yang sebesar dan selengkap Huaqiang Bei.
Mungkin kita pernah melihat Youtuber Strange Parts, yang membuat iPhone sendiri dengan membeli part nya di China, dan ini dilakukan di Huaqiang Bei. Semua komponen smartphone ada di sini.
Huaqiang Bei ini besar areanya dan terbagi-bagi dalam beberapa market. Ada area yang lebih khusus untuk aksesoris smartphone, ada area untuk PC parts, elektronik second hand, elektronik lain seperti televisi dan lain-lain. Hanya sebagian kecil area dalam waktu terbatas yang sempat saya kunjungi, dan itu saja sudah memberikan insight yang wow, ternyata begini cara industri elektronik di China berkembang.
Huaqiang Bei sendiri areanya tertata dan rapi, bangunan-bangunannya modern, tentu saja dikelilingi iklan berbagai macam produk. Di Area smartphone tentu iklan-iklannya smartphone. Sama dengan negara kita dimana Oppo dan Vivo sangat berani dalam iklan, demikian juga di area Huaqiang Bei ini. Huawei punya toko khusus di area ini, kita bisa melihat dan membeli smartphone terbarunya dari P20pro berbagai warna hingga laptop dan aksesoris lainnya. Harganya ya sedikit lebih murah kalau di kurs dengan harga di negara kita, dan tidak perlu flash sale :-).
Demikian juga ada counter-counter yang menjual mix smartphone China terbaru, atau counter khusus dengan brand tertentu, seperti Vivo, Oppo, Xioami, Honor, dan beberapa merk lain. SPG nya juga sama dengan di negara kita, ada brand seperti Huawei yang kita bisa dengan nyaman mencoba smartphone tanpa banyak “dikuliahi” SPG dan baru menjawab ketika ditanya, ada counter yang ngotot seperti di negara kita mendorong kita membeli produknya. Jadi intinya SOP untuk SPG brand ternyata sama saja di negara asalnya.
Saya sempat mengunjungi satu gedung yang isinya aksesoris smartphone, ukuran kiosnya tidak besar-besar, dan biasanya barangnya segmented. Jadi ada kios yang isinya tempered glass, ada kios yang hanya menjual kabel dan charger, ada kios yang khusus menyediakan aksesoris iPhone, Samsung, China brand, wireless charger, kartu memori dan lain sebagainya. Kios-kios “kecil” ini kebanyakan memperbolehkan kita membeli 1 pcs barang, tetapi utamanya mereka bermain grosir.
Ada kios-kios yang menyediakan hampir semua model tempered glass smartphone dan tablet, tetapi tidak memiliki merek. Jika kita mau, dalam pemesanan jumlah tertentu kita bisa membuat merek sendiri. Atau membeli dari mereka sekian ribu psc, kemudian membuat sendiri pembungkusnya di Indonesia. Nah kalau kita beli tempered glass di Indonesia ada berbagai macam harga, karena di Shenzhen ini juga tersedia berbagai kualitas, dan tergantung seberapa banyak importir mau mengambil untung. Makanya kita bisa membeli aksesoris smartphone tanpa merek di Bukalapak atau Tokopedia dengan harga miring.
Di kios wireless charger, kita juga bisa merakit sendiri wireless charger yang kita mau, tersedia berbagai bentuk dasar dan berbagai macam kualitas kumparannya. Kemudian kita bisa branding sendiri dan menjualnya. Demikian juga kabel data, powerbank, charger dan lain sebagainya.
Sepertinya pelanggan kios-kios di sini dari berbagai belahan dunia, walau jangan harap para pedagang ini fasih berbahasa Inggris, para pembeli yang harus bisa berbahasa mandarin kalau ingin menawar atau bertanya detail, atau jika urusannya harga, berbahasa kalkulator yang dimengerti semua orang :-D. Mudah ditemui orang-orang barat atau orang-orang India berbahasa mandarin sedang negosiasi dengan penjual di sini.
Kabarnya aksesoris yang beredar di kota-kota lain di China juga berasal dari area ini, dan karena banyak pembeli global, paling mudah menemukan aksesoris untuk smartphone global, seperti iPhone. Saya pikir mudah menemukan casing Xiaomi di sini, ternyata tidak, tetapi kita bisa bertanya dan petugas toko bisa mencarikan, tetapi untuk langsung melihat dari barang pajangan, menemukan casing iPhone dengan berbagai model sangat mudah.
Asli atau kawe? Itu pasti pertanyaannya dengan barang-barang yang dijual di sini. Untuk brand-brand aksesoris China yang cukup dikenal, mereka memiliki toko khusus di sini, ya dengan harga yang tidak semahal harga jual di sini, kira-kira sepertiga sampai sepertujuh harga di pasar kita. Untuk aksesoris seperti charger, earphone, kabel data iPhone, hampir semua kawe. Begitu juga dengan memory card yang dijual, banyak dalam tray yang satu traynya berisi puluhan memory card, yang kalau melihat harganya meragukan.
Jadi untuk belanja di kawasan ini kita juga butuh pengetahuan dan akal sehat, tetapi bagusnya, saat kita tanya, seringkali pedagang akan bilang kalau yang mereka jual adalah barang tiruan atau asli. Saya juga sempat masuk ke satu toko yang menjual aksesoris casing Samsung yang buatannya rapi dan bagus, bahkan packagingnya juga bagus, tetapi semuanya barang kawe. Jadi no wonder kita di Indonesia saat beli online juga tebak-tebak buah manggis, barang yang kita beli asli atau bukan.
Walaupun tiap kios terlihat tidak besar, kios-kios ini terkadang hanya menampilkan barang pajangan, tetapi penjualan mereka dalam kuantitas besar. Kalau kita lihat ke lantai atas yang lebih sepi, di lantai ini banyak berlangsung aktivitas pengepakan barang. Di lantai atas ini juga saya menemukan toko yang khusus menjual converter, dari HDMI ke VGA, analog ke digital dan lain sebagainya. Sepertinya asal kita mau berkeliling mencari, bisa menemukan barang yang kita perlukan.
Kalau hanya sekedar converter kecil seperti USB OTG, micro USB ke USB-C, barangnya dijajakan seperti permen di kios-kios saja yang ditimbang, walau mereka tetap menghitungnya dalam bijian. Saya iseng membeli 3 macam port yang sudah dibuat paket, harganya sekitar 10 yuan atau 22 ribu rupiah, kalau kita membeli banyak sepertinya harganya akan sangat jauh.
Kabarnya pabrik-pabrik aksesoris ini ada di sekitar kota Shenzhen, sehingga wajar harganya bisa sangat miring kalau beli dalam grosir. Saya sempat masuk ke sebuah toko charger, di toko ini ada charger QC 3.0, mereknya saya juga tidak pernah dengar. Waktu tanya harganya cukup kaget, hanya 20 CNY atau sekitar 44 ribu rupiah saja. Tetapi sayangnya tidak bisa dibeli satuan, harga tersebut harus ditebus sebanyak minimal 8 lusin.
Soal barang second di daerah ini juga banyak, modelnya seringkali lengkap, HTC yang lama, Lumia yang masih berbasis Windows juga ada. Menurut mereka banyak smartphone second seperti Lumia yang sudah jarang terlihat di pasaran di kirim ke Eropa, karena di sana banyak peminatnya. Barang-barang second hand ini bisa toko perbaiki dengan mudah karena kelengkapan sparepart. Pemandu kami iseng membeli Lumia demi kenangan saja, ternyata setelah digunakan sehari merasa kinerja baterai dan layarnya ada yang kurang beres. Besoknya kembali lagi dan menunggu satu jam, perbaikannya selesai.
Kalau sekedar ganti layar, di banyak kios-kios service di Indonesia juga bisa melakukannya, tapi di Shenzhen ini toko kecil seukuran 2 x 2 meter memiliki mesin untuk memisahkan touchscreen dengan layar, jadi jika kita punya iPhone layar depannya pecah atau banyak baret, scrap saja di toko service ini, tunggu sebentar, dan layar seperti baru kembali.
Masih banyak bagian dari kawasan Huaqiang Bei ini yang tidak sempat saya lihat, sebagian brand yang asesoris yang kita kenal di Indonesia seperti Remax, Baseus, memiliki toko khusus eceran di sini, dan koleksinya ternyata lengkap, dari kabel data, power bank, speaker, earphone, keyboard, bahkan hingga sepeda lipat dan self balancing scooter.
Kalau niatan jalan-jalan ke Shenzhen untuk mencari barang elektronik, sepertinya harus menyediakan waktu lebih banyak untuk mengitari kawasan Huaqiang Bei ini.
Kuliner !
Sama seperti makanan padang, Chinese food sudah menjadi makanan yang umum di Indonesia. Sama seperti masakan Padang di pulau Jawa punya rasa khusus yang beda dengan masakan yang sama di Padang aslinya, demikian juga kita akan berpikir bahwa Chinese food akan berbeda rasa di negara aslinya.
Sebelum ke Shenzhen saya juga pernah menikmati Chinese food di Beijing, dibanding Indonesia, masakan aslinya malah kaya rasa. Memang mungkin kita sudah terbiasa dengan makanan yang kuat rasanya, kadang orang-orang bilang banyak micin atau MSG, yang dalam penelitian terakhir katanya tidak berbahaya, dan selama ini banyak orang percaya hoax kalau MSG berbahaya.
Seperti Indonesia terbagi dari berbagai suku dan punya makanan khas, di China ternyata walau jenis masakannya mirip, ternyata berbeda karakter juga. Kabarnya di China ini, masyarakat yang berbahasa Cantonese, seperti kita lihat di film-film Hong Kong, adalah masyarakat yang dikenal sebagai jago masak, dan daerah China selatan yang termasuk Shenzhen ini banyak dihuni masyarakat Canton. Saya baru sadar kalau di Indonesia juga kadang kita lihat ada restoran dengan tulisan masakan Kanton. Ini mungkin yang menjadi ciri bahwa mereka mau dikenal sebagai Chinese food dengan aliran yang dianggap dari masyarakat yang lebih jago masak.
Makan bersama menjadi ritual yang penting di China, makanya banyak restoran mejanya bundar dan besar untuk menampung banyak anggota keluarga. Kemudian di banyak restoran, ada ruang-ruang khusus yang terpisah-pisah untuk para keluarga atau kolega untuk makan bersama.
Kami sempat diajak makan di resto yang katanya menyajikan masakan Canton yang otentik di Shenzhen. Di setiap tempat duduk ada 2 pasang sumpit, yang tradisi dulu sebenarnya hanya 1 pasang saja. Walau makan di meja, tradisi orang China mengambil sayur dan makan adalah dengan sumpit yang sama. Sumpit yang sama juga digunakan untuk mengambilkan makanan dari orang tua ke anak, atau sebaaliknya. Mungkin di kita yang terbiasa campuran cara makan China dengan tradisi barat, senantiasa sayur di tengah meja memiliki sendok tersendiri untuk mengambilnya, tidak bercampur dengan sendok yang kita gunakan untuk makan.
Di China tidak, selain makanan berkuah, makanan lain yang terhidang di meja diambil menggunakan sumpit yang sama. Nah sekarang ini tradisi itu berubah sedikit dengan adanya 2 pasang sumpit. Kabarnya ini karena daerah Selatan ini pernah terkena wabah SARS, sehingga untuk menghindari penularan, sumpit diberikan 2 pasang, satu untuk mengambil sayur, satu untuk dipakai makan.
Banyak yang unik yang bisa kita pelajari dari cara orang Canton memasak, misalnya bebek panggang. Di kita biasanya bebek ya disajikan daging menyatu dengan kulit seperti ayam, ternyata kalau masakan di sini tidak. Saat dipanggang, bagian kulit akan masak terlebih dahulu, dengan renyah yang pas, dan juicy. Jadi bebek akan dibawa dulu, kemudian dikuliti menjadi potongan-potongan kulit untuk dinikmati lebih dahulu. Setelah kulitnya diambil, bebek dibawa lagi ke dapur dan diolah lebih lanjut yang nanti keluar lagi dalam potongan daging. Dan memang cara masak yang terlihat lebih repot ini hasilnya beda, jauh lebih enak, susah melupakan pengalaman menikmati renyahnya kulit bebek yang pas ketika dimakan.
Mereka juga punya cara khas memasak ikan. Saya bukan penggemar ikan dan biasanya menghindari hidangan ikan. Tetapi karena penasaran saya mencoba apa yang berbeda dari masakan mereka, rasanya memang berbeda dengan cara orang-orang kita biasa memasak. Ikan ini digoreng, tetapi tidak kering. Dijelaskan kalau mereka punya aturan memasak ikan, pertama ikannya harus segar, jadi baru dipotong kemudian langsung diolah. Katanya butuh 7 menit saja untuk memasak ikan, dengan minyak panas yang dituangkan ke atas ikan.
Aturan lain lagi dari cara mereka memasak, setiap daging harus disajikan dengan sayuran. Mereka bilang ini kombinasi yang sehat, jadi memastikan setiap hari mereka memakan sayur yang cukup. Memang masakan Canton ini spesial, sayur-sayur yang tersaji sederhana tetapi rasanya memang enak.
Aturan lain yang berbeda dengan kita, dimana di kita nasi keluar pertama, di sini nasi selalu keluar belakangan. Biasanya nasi juga diolah menjadi nasi goreng. Jadi urutan makannya, nasi ini pelengkap akhir kalau mau lebih kenyang. Karena sudah dari awal makan daging dan sayur, biasanya kita tidak akan kuat memakan nasi banyak-banyak.
Memang jika kita pergi ke negeri lain, makanan menjadi salah satu bagian penting yang harus kita nikmati selain pemandangan atau atraksi. Dari makanan kita bisa mengenal kekayaan kultur mereka.
Bicara tentang kultur, karena setiap negara punya kebiasaan berbeda, hal-hal kecil seringkali jadi menarik jika diadaptasikan dengan kultur makanan di negeri orang, termasuk yang dilakukan perusahaan keripik kelas dunia Lay’s. Kita juga terbiasa dengan keripik dengan varian bumbu yang banyak macam, dari kentang rasa barbeque, hingga kentang mau berubah rasa menjadi jagung bakar bahkan indomie goreng, ternyata keripik Lay’s di sini ada yang rasanya seperti mentimun. What? Saya pikir kentang mau jadi rasa jagung bakar saja sudah seru, ini menjadi sayur mentimun. Tapi memang kalau dicoba ternyata enak juga hahaha, benar terasa mentimum.
Beberapa hari menikmati makanan berbagai rupa di Shenzhen ini memberi pengalaman menarik, dari makanan tradisional mereka, Chinese food, hingga makanan umum seperti pizza, yang uniknya kita sempat mencoba pizza duren dan pizza mangga.
Dari pengalaman pergi ke beberapa negara, apa yang selalu dirindukan dan dibawa orang Indonesia adalah sambal, dan terkadang indomie. Sambal seperti sambal ABC ini bukan hal yang umum di China, jadi untuk mereka yang memang harus punya rasa tambahan pedas, silahkan membawanya sendiri dan bawalah dalam bentuk sachet, karena kalau bentuk botol biasanya akan disita di bandara.
Roaming
Tidak ada Google, Tidak Ada Facebook, Tidak ada Whatsapp di China. Semua aplikasi ini sampai sekarang di blokir di China. Jadi email gmail, translate, google search, google map, dkk mililik google tidak bisa di akses di Shenzhen, sementara untuk di Hong Kong bisa. Demikian juga dengan Facebook dan Whatsapp. Ini yang kira-kira butuhkan untuk internet lebih nyaman di China.:
– Roaming data.
Tergantung operator dalam negeri apa yang kita gunakan, tersedia paket roaming data untuk di China, sesuai hari yang kita butuhkan, biasanya ada paket 3 hari, 5 hari, atau 7 hari dll. Paket roaming ini juga tidak mahal, biasanya 250 ribu untuk 3 hari. Silahkan cek ke masing-masing operator. Keuntungan paket roaming ini selain tidak usah repot cari kartu lokal, tidak perlu VPN untuk mengakses Google, Facebook, dan Whatsapp yang di blokir di China. Jeleknya cara roaming ini terkadang tidak konstan mutunya, kadang bagus dan menyambung, kadang tidak, dan ini bisa berbeda antar pengguna walau dari operator yang sama.
– Kartu Lokal atau MiFi
Pilihan lain menggunakan kartu lokal. Hanya ada 3 operator di China, China Mobile, China Unicom dan China Telecom. China Telecom ini biasanya untuk CDMA, jadi kita abaikan. Saya sendiri mencoba layanan dari China Unicom, operator no.2 terbesar, nomor 1 nya China Mobile.
Karena sudah disediakan oleh Huawei dan semua SMS dalam bahasa China, saya tidak tahu berapa besar data yang disediakan. Pada hari ketiga diperlukan top-up paket data yang harganya murah sekitar 30 ribu rupiah kalau tidak salah untuk 15 GB.
Kalau pergi dalam rombongan keluarga dan mau sampai China tidak perlu repot-repot mengurus roaming atau beli kartu lokal, kita bisa menyewa MiFi, atau portable Wifi. Walaupun saya tidak mencobanya di China, saya sempat mencoba layanan ini dari GAS, giveamazingservice.com untuk digunakan di Amerika. Kita diberi pinjam portable WiFi yang baterainya tahan untuk seharian, dan bisa digunakan beramai-ramai. Setiba di negara tujuan, cukup nyalakan dan kita punya hotspot pribadi.
– VPN, Virtual Private Network.
Untuk mengatasi blokir di China, bisa digunakan VPN. VPN ini akan mengubah IP address kita menjadi IP negara lain, sehingga bisa menghindari blokir great firewall di negara China. Layanan VPN ini ada yang gratis dan ada yang berbayar. Harap install sebelum berangkat baik untuk pengguna iOS maupun Android, karena aplikasi VPN ini biasanya dihapus dari app store China, dan Google play store tidak bisa diakses tanpa VPN di China.
Dengan VPN kita bisa mengakses layanan Google, Facebook, Whatsapp, dan aplikasi lain yang di blokir di China. Layanan VPN ini sangat banyak namanya, yang saya coba jalan di China Unlimited VPN (gratis 7 hari sesudah itu berbayar), dan Opera VPN. Opera VPN ini gratis dan stabil, sayangnya layanan ini dihentikan akhir April. Untuk berjaga-jaga silahkan install 2 atau 3 macam VPN untuk digunakan di sana.
Jika pergi dalam rombongan, sebelum berangkat install-lah aplikasi WeChat, dan buatlah grup jika diperlukan kalau kita berada dalam rombongan. Saat berjalan-jalan dan VPN tidak bagus, wechat ini jadi andalan untuk berkomunikasi. Menginstall wechat di China lebih repot untuk registrasinya, jadi lebih baik install di Indonesia sebelum berangkat.
– Microsoft Translator
Sebenarnya Google Translate kalau tidak di blokir juga sudah cukup, tetapi aplikasi Microsoft Translator justru bisa bekerja tanpa halangan di China, bahkan Huawei dan Honor menjadikan aplikasi ini untuk terjemahan utama. Dengan Microsoft Translator, huruf-huruf mandarin bisa langsung dibaca on the go, bahkan kita bisa meng-install dictionary bahasanya sebelum berangkat agar bisa diterjemahkan tanpa perlu online.
– Peta
Google Map baru bisa berjalan jika kita menggunakan VPN. Terkadang VPN ini membuat koneksi data lebih lambat. Untuk itu kita bisa install map offline dari pihak ketiga. Saya mencoba Shenzhen map offline https://play.google.com/store/apps/details?id=com.mobomap.appid1015 , map ini bagus walau terbatas hanya Shenzhen, untuk daerah lain kita harus men-downloadnya terpisah, misal Hong Kong map. Dengan map offline ini juga kita bisa melihat gerak kita di map saat berkendara.
– Uang
Kalau pergi lewat Hong Kong, dan main juga di Hong Kong, ke dua daerah walau sama milik China, mata uangnya berbeda. Di China kita akan menggunakan China Yuan (CNY) atau istilah lainnya RMB -renminbi, tidak perlu tukar atau bawa dari Indonesia. Kartu seperti BCA bisa mengambil CNY di ATM , potongannya 25 ribu rupiah, ambil sedikit atau banyak. Jadi kalau butuh uang banyak, ambil sekaligus saja, maksimal 2500 CNY.
Jika mata uang CNY ini masih bersisa saat ke Hong Kong, bisa ditukarkan di money changer yang banyak tersedia.
Penutup
Whew.. ternyata tidak terasa tulisannya panjang benar ini, semoga ada yang kuat baca hingga baris akhir ini.
Pengalaman saya tentang jalan-jalan di negeri China pasti masih banyak kekurangan, banyak yang jauh lebih tahu dan mempunyai pandangan yang lebih menyeluruh. Undangan perjalanan ke Shenzhen ini menarik, walau bukan jalan-jalan seperti ikut tour yang lebih banyak mengunjungi tempat-tempat wisata, tetapi buat saya memperhatikan Shenzhen bisa memberi pandangan bagaimana China bertransformasi dengan cepat, dari negara yang tertutup hingga menjadi negara kelas atas, dan membangun teknologi adalah salah satu cara untuk menjadi negara terdepan.
Dulu kita ingat pepatah, “belajarlah hingga ke negeri China”,… kemudian negara barat terlihat demikian maju sehingga pepatah itu seperti tidak relevan lagi. Tetapi sekarang dengan segala kemajuannya, mungkin pepatah itu bisa berlaku lagi. Semoga yang membaca cerita ini suatu saat bisa mampir ke Shenzhen dan melihat sendiri sudah sampai mana kemajuan negara China, saya juga berharap suatu hari bisa kembali ke kota ini dan melihat lagi lebih jauh. –end-
Mas Lucky, kalau boleh kasih saran, sebaiknya jangan terlalu banyak baris dalam satu paragraf. Biar gak bikin lelah bacanya om. Maksimal 4 baris, tujuannya supaya orang gak males baca, apalagi dari HP. Tips ini juga saya dapatkan dari seorang pemain internet marketing, katanya akan bikin orang males baca. Padahal tulisan udah bagus. Paragraf yang renggang bikin orang jadi nyaman baca, seperti contoh pas bagian ini.
“Jembatan terakhir Shenzhen Bay Bridge terbentang sepanjang 5.5 KM menghubungkan kepulauan Hong Kong dengan China Mainland. Jembatan ini membelah teluk Shenzhen.
Sesampai di China Mainland, kita masuk imigrasi Shenzen Bay Custom, pemeriksaan pertama seperti kita melewati gerbang tol, gerbangnya sangat banyak karena kendaraan yang melewati juga banyak. Lebih besar dari gerbang tol masuk Jakarta terbesar.”
Maaf om panjang.
Terima Kasih Oom atas inputnya, saya coba perbaiki.
pizza duren saya pernah coba tuh waktu di Shanghai, enak tenan…hehehe.
Di Spore juga ada kali ya Pizza durian. Enak mana oom?
waktu jaman nokia jaya2nya, hampir semua hape yang didisplay di konter hape, saya lihat palsu semua….apakah saat ini hape di Sz masih banyak palsunya? ini momok kan titip teman beli taunya palsu 🙂
as always selalu nikmat banget baca tulisan om lucky 🙂
sampai 4x baca berhenti saya, nagih baca terus untuk lanjut
thankx
Mantap om sharingnya!
Saya baca sampai akhir.
Cina memang luar biasa. Bagi yang bersedia mengakuinya. Itu baru bahas satu kota.
Sangat sedikit tulisan yang membahas sampai sedemikian mendetailnya.
Tahu perkembangan Cina biasanya dari artikelnya Abah Dahlan Iskan.
Makasih Mas. Artikelnya keren keren.